Lanjut?
***
Mentari dengan pongahnya menunjukkan kedudukkannya yang sudah tinggi. Terbukti dengan pancaran cahayanya yang masuk melalui celah-celah jendela yang tidak tertutupi oleh gorden. Jam bundar berwarna coklat keemasan yang menempel pada dinding bercat biru langit itu, pun sudah menunjukkan pukul 8 pagi.
Dering gawai yang sejak tadi berdengung pun, sama sekali tidak mengganggu lelapnya tidur dua insan yang saat ini masih bergelung di bawah selimut yang sama, tanpa sehelai benang pun tersemat di tubuh mereka. Rasa hangat yang ditimbulkan karena pelukan hangat masing-masing insan itu, membuat keduanya merasa malas untuk membuka mata mereka barang sedetik pun. Kamar mereka yang tampak seperti kapal pecah pun tidak mereka hiraukan.
Asal nyenyak, pasti enak. Mungkin kalimat inilah yang menjadi prinsip keduanya untuk kompak tetap berpelukan menyelami keindahan alam mimpi mereka, yang barangkali baru mereka rasakan saat waktu sudah menunjukkan pukul dua tadi pagi.
Pergulatan mereka setidaknya membutuhkan waktu ... jika kemarin mereka memulai saat waktu menunjukkan pukul tujuh malam, dan berakhir pada pagi harinya, pada pukul dua, mereka sudah menghabiskan waktu hampir tujuh jam? Selama itu kah? Ya Tuhan, Sean benar-benar kehilangan kewarasannya. Laki-laki itu sama sekali tidak membiarkan Aderine beristirahat barang sebentar saja.
Barangkali selama beberapa bulan ini, laki-laki itu tidak bisa menyalurkan nafsu birahinya, sehingga sekalinya ia mendapat tempat untuk melampiaskan nafsunya, pria itu akan memuaskan dirinya sendiri.
Meski pekerjaan Sean sudah bisa disama-ratakan dengan CEO-CEO, yang dalam beberapa novel bergenre romance sering diceritakan jika para CEO itu merupakan penggila seks. Sean sama sekali tidak termasuk dalam jajaran laki-laki penggila seks, justru ia sangat anti dengan hal yang namanya Seks Bebas. Bukannya sok suci atau apa, Sean memang seperti itu. Dari kecil ia sudah didik untuk menjadi pria yang bermoral tinggi, yang menghargai wanita sebagaimana mulianya seorang wanita, dan selalu menjunjung nilai-nilai agama. Ia berpikir realistis, menurutnya tidak ada hal yang menguntungkan yang akan ia dapat dari seks bebas. Justru, tidak jarang ada orang yang terjangkit virus mematikan karena seks bebas yang dilakoninya.
Lagipula, melakukan seks bebas tidak membuatnya lebih kaya. Justru martabatnya akan hancur di mata Tuhan. Dia memang bukan manusia baik, tapi setidaknya ia mau menghormati wanita.
Selama ini Sean hanya berhubungan dengan dua wanita, pertama Rihanna dan kedua Aderine. Bahkan ia baru menyentuh Aderine beberapa jam yang lalu.
Sean semakin mengeratkan pelukannya pada Aderine, kakinya ia belitkan dengan kaki jenjang Aderine. Sementata kepala Aderine tampak menempel pada dada bidang laki-laki itu. Posisi tangannya masih bertahan, seperti posisi tangannya, saat setelah mereka memutuskan untuk beristirahat pada pukul dua dini hari tadi. Hebatnya lagi, rasa lapar yang tadinya menyerang Aderine seketika menghilang. Barangkali tergantikan dengan sensasi-sensasi aneh yang baru pertama kalinya gadis ... ups, wanita lebih tepatnya, itu rasakan.
Detik berikutnya, handphone Sean kembali berdering. Mau tidak mau, pria itu harus membuka matanya. Dengan gerakan malasnya, tangan pria itu berusaha meraih ponsel berlogo apel yang tergeletak di nakas.
"Halo?"
"Pak Sean, saya-"
"Hmm..." Sean balas bergumam sebelum suara di seberang sana menyahutnya.
"Bapak tidak lupa kan, jam sepuluh nanti kita ada rapat dengan Senggani Corporation?" Suara lembut di seberang sana sepertinya berusaha mengingatkan Sean. Sean kembali bergumam, lantas mematikan ponselnya, dan meletakkan ponsel pintar itu ke atas nakas.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Daddy Be Hubby [Terbit]
Romance"A-aku ingin kalian menikah." Aderine Jiyana, tidak pernah menyangka akan berada di posisi itu. Saat di mana, Ibu angkatnya yang tengah meregang nyawa, meminta dirinya untuk menikah dengan laki-laki berperingai dingin dan selalu bersikap datar pada...