"Bukan begitu, Rimba!" Bening berseru gemas melihat Rimba yang lagi-lagi salah mengerjakan soal gunggung susun. "Kamu harus susun angka-angkanya berurutan. Yang bawah ikut barisan atasnya."
Rimba membanting pensilnya ke atas meja hingga terpental jatuh ke lantai. Ia mendengkus kesal. Membuat Bening sedikit kaget.
"Udahlah aku nggak mau ngerjain ini! Kamu aja yang belajar sana!" Rimba berdiri dari tempat duduknya.
Segera Bening menarik sebelah tangan Rimba hingga ia terduduk lagi.
"Jangan pergi dulu!" Bening berseru sambil menahan tangan Rimba. "Kamu harus belajar! Minggu depan kita udah tes kenaikan kelas. Kamu mau nggak naik kelas lagi?"
Rimba menggeram kesal. Sudah hampir setahun ia dan Bening jadi teman sebangku. Mereka selalu bersama. Bersama karena keadaan yang membuat mereka demikian. Masih tak ada satupun siswa yang mau berteman dengan mereka. Yang berbeda hanya kini tak ada lagi yang berani mengganggu Bening. Nilai pelajaran Rimba juga mulai naik sedikit demi sedikit. Kedua anak itu saling membantu, saling melengkapi dan saling menjaga dengan cara mereka sendiri.
Sampai sekarang Rimba masih heran bagaimana ia akhirnya bersedia menjadi teman Bening. Memang tak secara langsung Rimba berkata bahwa dia bersedia berteman dengan Bening. Namun, setiap kali Bening membuntuti ataupun menasehatinya ini-itu, Rimba tak keberatan. Entah bagaimana Rimba jadi terbiasa dengan keberadaan Bening.
"Tapi ini udah jam pulang sekolah!" balas Rimba. "Semua teman-teman kita udah pulang." Kedua tangan Rimba terayun ke udara, seolah menjelaskan pada Bening bahwa kelas mereka sudah kosong sekarang. Rimba heran sekaligus kesal. Anak kelas 1 SD macam apa yang hampir tiap hari selalu tinggal di kelas bahkan setelah bel pulang sekolah berdentang.
Bening berdecak sebal. "Nggak apa-apa. Rumahmu dan rumah eyangku kan dekat. Jalan kaki juga sampai. Jangan khawatir!"
Kini giliran Rimba yang berdecak sebal. "Aku nggak mempermasalahkan itu-"
"Terus apa dong?" sahut Bening.
"Aku capek. Mau pulang." Rimba langsung memasukkan bukunya ke dalam tas. Kemudian ia beranjak meninggalkan Bening.
Bening mendengkus sebal sebelum mengikuti jejak Rimba. Tak lupa ia mengambil pensil yang tadi di lempar Rimba.
"Rimba, tunggu!"
⭐⭐⭐
"Tungguin sih! Jalanmu cepet banget."
"Kamunya yang lelet!"
"Huh! Sabar sebentar! Aku tadi kan piket dulu."
"Bodo amat! Kalau mau pulang bareng ayo buruan. Panas tahu nggak di jalan? Kamu enak tinggal bonceng. Aku yang gowes, kepanasan, keringetan."
Bening hanya cemberut menanggapi omelan Rimba. Ia langsung berusaha menyamai langkah Rimba. Mereka berdua akhirnya berjalan menuju parkiran sepeda.
"Aduh!" Bening memekik kaget karena saat berbelok seorang lelaki seumurannya menabraknya dari arah berlawanan. Belum lagi pantanya nyeri karena harus menghantam lantai beton.
"Maaf. Maaf. Aku nggak tahu ada orang dari sana. Sini aku bantu berdiri." Laki-laki yang tadi menabrak Bening mengulurkan sebelah tangannya pada Bening yang jatuh terduduk di lantai.
Bening mendongak dan menerima uluran tangan lelaki itu. Setelah kembali berdiri Bening menepuk-nepuk rok biru dongker selututnya. Membersihkannya dari debu. Sementara Rimba hanya mengamati keduanya dari samping. Dadanya berdetak tidak nyaman saat melihat lelaki yang tadi menabrak Bening mengamati Bening terus-terusan. Bahkan tanpa sadar ia menekan bibirnya hingga serupa garis tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Estorie
Short StoryEstorie Anglo-French word for story (noun); : a fictional narrative shorter than a novel; specifically : short story : the intrigue or plot of a narrative or dramatic work Work ini akan berisi kumpulan one shots atau cerita atau adegan random lainn...