The Knot 3

932 116 42
                                    

Dipta terbangun dari tidurnya dan mendapati rumah dalam keadaan sepi. Tak ada jejak yang mengatakan Dista ada di rumah. Kunci mobil Dista yang biasa di letakkan di meja riaspun tak ada.

Dipta mendesah. Ia memijat kepalanya yang pening. Pening karena bir yang ia tenggak semalam. Masalah dengan Dista ini benar-benar menguras emosinya. Ia ingin menyerah tapi enggan mengeluarkan gugatan cerai itu. Ia ingin melepas Dista tapi di saat bersamaan ia tak rela orang lain memiliki Dista. Pikirannya semakin kacau ketika Tomi tiba-tiba hadir dalam rumah tangganya.

Lelaki gondrong tukang foto itu sialnya punya peran penting dalam hidup Dista. Tak hanya bersahabat sejak kuliah, Dista dan Tomi sudah seperti saudara. Dipta ingat Tomi adalah orang pertama yang mengajukan diri menjadi tameng ketika Dipta berniat mendekati Dista. Mana Dipta tahu kalau Dista dulunya pernah menikah dan bercerai. Pantas Tomi begitu menjaga Dista. Lelaki itu saksi mata semua fase hancurnya hidup Dista. Ia membantu Dista bangkit dari keterpurukannya. Tak heran jika Tomi begitu protektif ketika ada seorang lelaki yang hendak mendekati Dista. Dipta pun akan melakukan hal yang sama.

Yang tidak Dipta sangka adalah kemungkinan bahwa Tomi memendam perasaan lain untuk Dista. Dan ia baru menyadarinya sekarang!

Dipta masih mengingat dengan jelas ketika ia mendapati Tomi mencium Dista malam itu. Di depan rumahnya! Dipta selalu sukses dibuat meradang mendapati istrinya hampir setiap hari mendapat panggilan video dari Tomi. Sebegitu cintanya Tomi pada Dista?

Dipta menyeringai sinis. Bukankah ironi namanya jika ia menyakiti Dista tapi tak rela jika ada pria lain yang menghapus tangisnya? Ya...mungkin dia memang sepengecut itu.

Dipta berjalan sedikit tertatih menuju kamar mandi. Ia mengguyur sekujur tubuhnya dengan air hangat. Berharap supaya lelahnya ikut hanyut juga dalam aliran air itu.

Ketika akhirnya Dipta keluar dari kamar, rumah benar-benar terasa sepi. Begitu sunyi seperti tak ada penguhinya.

"...setelah itu aku akan pergi dari sini..."

Ucapan Dista waktu itu menggema di kepalanya. Melihat keadaan rumah sekosong ini membuat Dipta membayangkan mungkin beginilah hidupnya nanti jika ia benar mengusir Dista dari hidupnya. Kosong. Sunyi. Sendiri.

Tanpa sadar tawa hambar meluncur dari mulutnya. Dipta bersandar di pintu karena tubuhnya sedikit oleng. Belum juga berpisah tapi Dipta sudah merasa kesepian seperti ini.

Langkah Dipta pelan menuju dapur. Benar-benar berhenti ketika mendapati ada sebuah koper kecil di samping sofa ruang tengah. Dipta mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur. Ia berjalan dan mengambil koper itu dan meletakkannya ke atas sofa.

Koper ini terlihat familiar untuknya. Waktu ia buka, kening Dipta mengerut mendapati baju-baju yang juga sama familiarnya. Ini milik keponakannya. Milik anak bungsu kakaknya. Milik Icha.

Tapi kemana bocah itu? Apa ia kemari bersama mamanya? Kemana mereka sekarang? Apa pergi bersama Dista?

Saat pikiran Dipta masih bercabang menduga ada kejadian apa, suara gerbang rumahnya yang dibuka terdengar. Lalu suara mobil menggerung memasuki garasi. Tak lama kemudian sosok Dista dan Icha tampak dari pintu depan.

"Om Dipta! Om Dipta udah bangun?"

Icha setengah berlari menghampiri Dipta. Sementara Dipta menaikkan Icha ke atas pangkuannya, Dista berlalu begitu saja ke dapur. Ada sekresek belanjaan di tangan kirinya.

"Icha kok ke sini? Sama siapa?"

"Iya. Tadi pagi ke sini sama mama. Icha bobok sini dulu."

"Oh ya? Memangnya mama kemana?"

EstorieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang