The Knot 2

718 101 10
                                    

Layar televisi 32 inci itu terus menampilkan acara yang berbeda-beda. Si pemegang remot sengaja memindah salurannya secara terus-menerus karena bosan sekaligus kesal dan tak punya apapun untuk menyalurkannya.

"Udah kali, Dis, pilih satu aja! Pusing mata gue lihat tv dipindah-pindah gitu."

Dista, yang posisi duduknya terbalik; kepala menjuntai ke lantai dengan kaki bersandar di punggung sofa, mendengkus. Ia melirik kesal pada lelaki berambut gondrong yang duduk di sampingnya...dengan posisi normal. Akhirnya ia meletakkan remot itu di sofa.

"Sirik aja sih kamu, Tom!"

Tomi berdecak. "Bukannya sirik. Gue pusing. Sumpah deh. Kelakuan lo masih aja absurd ye?"

Dista mencibir. "Kan aku bosan."

"Kalau bosan ayok kita keluar, jalan-jalan. Apa kek. Bukannya mencetin remot tv. Lagian laki lo kemana sih?"

"Jangan bawa-bawa Dipta deh! Males!"

Tomi mendesah lelah. "Gue masih sangsi kalau Dipta punya affair."

"Kenapa sih? Kayaknya memang cuma aku ya yang punya tampang pantas dihina. Dipta serasa malaikat tanpa dosa tanpa cela."

Tomi tertawa. "Lo cewek soalnya. Janda pula. Well, sorry to say but society kita memang sekejam itu sama gender dan status lo. Ya walau nggak semuanya sih. Lo apes aja hidup di lingkungan yang orang-orangnya rada...gitu."

"Salahku di mana coba, Tom? Jadi janda kan bukan maunya aku juga. Salahin tuh laki-laki kelebihan hormon. Jadi aku tuh sakit, Tom. Dulu diselingkuhin, sama sepupu sendiri pula. Sekarang tunggu nasib dicerai."

"Kalau yang dulu, lo aja yang bego. Udah tahu cowok player, nekat aja bilang iya waktu dijodohin. Sok-sokan bilang mau berbakti sama orang tua. Bilang terlanjur cinta. Segala pengen ngubah dia. Pret!"

Dista mendengkus. Ia kesal tapi tak bisa menampik ucapan Tomi. Dista memang senaif itu dulu. Terlalu buta karena cinta. Terlalu bodoh karena lelaki.

"Terus kalau masalah nggak bisa punya anak? Memangnya itu salahku juga? Kamu nggak denger maminya Dipta kemarin ngomong apa sama aku, Tom. Kenapa sih selalu perempuan yang dipojokin? Bikin anak kan kerja dua orang tapi seringnya perempuan yang disuruh usaha lebih. Dari mulai jenis makanan sampai konsumsi vitamin, semua diatur buat mempersiapkan rahim. Mau inseminasi juga perempuan yang mesti tahan sakitnya, kramnya. Laki-laki apa kabar?"

Tomi tertawa lagi. "Kan gue udah bilang ini apesnya lo aja sih hidup di lingkungan orang yang begitu. Udahlah gue pulang ya? Mau packing, besok ada gawe ke Bali."

"Ikut, Tom."

"Mulut lo ikut! Gue kan kerja bukan liburan."

Dista berdecak. "Kamu ngefotoin orang prewed mulu. Kapan giliran kamunya?"

Tomi menggeram. "Lo lama-lama ngeselin ye. Udah syukur gue temenin. Dari siang nih gue di sini. Sampai sore begini dikasih makan juga nggak."

Dista tertawa. "Itu yang di meja apaan kalau bukan makanan?"

"Timbang keripik singkong sama teh doang. Di warung mang Ojo dapet pisang goreng gue." Lalu Tomi melirik ngeri pada Dista di sampingnya. "Lo nggak pusing, Dis, jungkir balik gitu?"

"Nggak. Aku butuh darahku mengalir ke otak biar tetep waras."

Tomi meringis, ngeri membayangkan jika kepala Dista nantinya akan membentur lantai. "Seriusan deh, laki lo kemana?"

"Nggak tahu. Dari pagi udah pergi. Nggak pamit. Nggak mau tahu juga kalau cuma bikin sakit hati mah."

Tomi baru akan menimpali ucapan Dista ketika derit pagar berbunyi nyaring. Diikuti dengan derung mobil yang diyakini Dista dan Tomi sebagai milik Dipta. Tomi bergegas pindah. Ia duduk di sofa tunggal di sebelahnya.

EstorieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang