Rutinitas, rapat itu benar-benar rutinitasku di awal bulan maupun akhir bulan. Hari ini rapat evaluasi kegiatan satu bulan yang lalu dan perencanaan kegiatan satu bulan ke depan. Sejujurnya hari ini aku ingin bolos rapat, sekali saja, kan biasanya aku juga rajin, bahkan yang paling rajin. Tapi aku benar-benar ingin pulang, badanku sakit semua karena lagi PMS. Bagi sebagian orang mungkin tidak menyakitkan tapi bagiku sangat menyakitkan.
Jujur, aku sempat panik karena merasakan sakit yang luar biasa saat hari pertama PMS. Bunda ikut panik karenanya, jadi aku ke dokter waktu itu. Tahunya memang biasa. Padahal aku sampai menangis dan membuat prajurit Ayah bolak-balik cari jamu dan obat buatku. Untunglah perutku ini masih sehat, bahkan kata dokter sangat sehat.
Dan sekarang, ah, aku ingin pulang. Tapi keinginan hatiku menahannya. Bagaimana tidak, Ketua OSIS di sekolah baruku ini gantengnya pakai banget, alamak, ganteng banget. Bagiku dia yang terganteng di sekolah ini, tapi bagi orang-orang lain lebih ganteng musuhku. Hah, ganteng dari sebelah mana? Coba dulu kulihat dari jarak 5 meter, sungguh tidak ganteng sama sekali. Apalagi harus mendekat, wajahnya justru semakin buram.
Dia anak kelas XI juga, setingkat denganku tapi dia anak IPS sementara aku anak IPA. Ingin sekali rasanya aku pindah ke IPS biar bisa sekelas sama dia. Tapi nyatanya tidak bisa, otakku tidak mudah menghafal rumus-rumus ekonomi dan juga menghafal bagian-bagian sejarah. Kepemimpinannya luar biasa, dia itu pokoknya luar biasa. Beda dengan si musuh beratku itu.
Ah, pokoknya Jogja itu istimewa sekali, kotanya langsung membuatku nyaman dalam waktu 2 hari, dan orangnya bisa membuatku terpana langsung detik itu juga. Bahkan aku bisa menambatkan hatiku padanya. Sungguh gila aku jadinya.
"Woy, sadar, woy!" Bentak Ipeh di telingaku.
"Ha?"
"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri? Habis lagi obatmu yang kemarin? Perlu aku antar ke dokter penyakit jiwa lagi?"
"Ah, enggak, yang kemarin masih kok. Ayahku juga katanya mau membelikan lagi obat penawar gila dengan dosis yang lebih tinggi."
"Wah, Ayahmu tentara tapi perhatian juga ya sama anaknya. Tahu loh anaknya kian lama kian parah itu kemiringan otaknya."
"Iya, Ayahku hebat, dia selalu mengerti aku."
"Ha ha ha."
Kemudian yang kupandang dari tadi, yang membuatku tersenyum sejak tadi datang menghampiri. Ikut duduk bersila di sampingku.
"Bicarain apa kok seru banget?" Tanyanya dengan suara yang serak-serak basah, terdengar menyentuh hatiku. Tidak macam musuhku itu, suaranya serak-serak becek, enggak ada ojek.
"Ini si Ara, kebanyakan diajak pindah-pindah sama Ayahnya. Jadi gila dia. Soalnya tiap kali pindah, dia tinggal itu otaknya seperempat, sekarang sampai Jogja sudah tinggal seperempat saja," canda Ipeh pada sang ketua OSIS.
"Jadi nanti kalau Ayahnya pindah lagi, habis itu otak. Ha ha ha," balas Dirga, iya namanya Ramandanu Dirgantara.
Aku ikut tertawa. Selain berwibawa, tegas, kepemimpinan yang bagus, dia juga suka mewalak tepat pada tempatnya. Itulah yang membuatku jatuh hati, entahlah kalau jatuh cinta.
"Tapi kita masih bisa sama-sama sampai lulus kan, Ra?" Tanya Ipeh tiba-tiba sangat serius.
"Entahlah, aku tidak bisa memastikan itu."
"Kenapa?"
Dirga langsung memukul kepala Ipeh dengan gulungan kertas tipis, "namanya tentara itu siap menerima panggilan tugas kapan pun!"
"Ya kan Ayahnya Ara baru kemarin pindah, setidaknya bisa lah di sini dua tahun atau selamanya gitu."
"Ah, kau ini tak tahu soal tentara lah, Peh! Kalau besok negara memanggil untuk ditugaskan di tempat lain, mau dikata apa juga Ara pindah lagi dengan Bunda, Adik dan tentu Ayahnya. Tapi, Ara, aku harap kamu lebih lama di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Byantara [Tersedia Di Shopee]
Teen Fiction[Sebagian besar part telah dihapus, nantikan versi cetaknya!] Ini kisahku sebagai seorang anak tentara. Hidup di rumah dinas yang cat dindingnya tidak boleh diubah, padahal aku ingin sekali merubah warna tempat tinggalku menjadi merah muda, tapi kat...