6. Kata Ayah dan Bunda

6.8K 608 35
                                    

Aku masih duduk di depan pintu saat Om-om tentara yang berjaga di depan rumah dinas sudah berganti. Om yang baru saja berjaga langsung kebingungan, menghampiriku dan menanyakan ada apa aku duduk di depan pintu. Aku jelas saja menjawab dengan jujur mengapa aku duduk di depan pintu dengan tubuh yang sangat tegap, khas tentara duduk bersila. Dan kalian tahu, Om itu hanya menjawab dengan tawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku hanya bisa istirahat lima belas menit kurang setiap kali adzan berkumandang, itupun sudah diancam Dik Dara bakal diaduin ke Ayah. Ponselnya tidak pernah lepas dari genggaman, bahkan aku yang sedang sholat saja di video, sebagai bukti kalau aku sholat tidak sambil memanfaatkan waktu istirahat. Alasan mengapa aku sering bertengkar dengan Dik Dara ya semacam itu. Dia tidak pernah mau berkongsi denganku. Dan dia lebih suka ketika aku dihukum, begitupun sebaliknya.

Dan sekarang, jam sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB. Sudah berapa jam saja aku duduk di sini, dikeroyokin nyamuk-nyamuk nakal yang jomblo. Iya, pasti mereka jomblo, kalau enggak jomblo mana mau mendekatiku. Dan punggungku sudah mulai kehilangan kekuatannya.

"Hayo, tegak! Kalau enggak, Adik telepon Ayah nih!"

"Iya, cerewet!"

Dik Dara juga kenapa enggak punya rasa lelah? Setidaknya istirahat kek, di kamar, ngapain gitu, belajar. Bukannya malah menungguku yang tengah di hukum begini.

Seharusnya ini laga sudah selesai, paling tidak Ayah langsung pulang. Ah, tapi siapa yang tahu, Ayah itu komandan, sudah pasti Ayah memantau prajuritnya, tujuannya kan begitu, bukan mau lihat sepakbola.

Dan Bunda, bukankah seharusnya Bunda pulang lebih awal dari Ayah, kabar yang aku terima, Bunda hanya menyambut Ibu Danrem yang melakukan kunjungan bersamaan dengan suaminya, Om Danrem. Masa' iya istrinya Danrem kunjungan selama itu? Apa saja yang dikunjungi, paling tidak kan hanya berbincang atau melihat program kerja Persit.

Jam sudah menunjukkan pukul 20.56 WIB dan Bunda baru pulang bersama dengan Ibu berpakaian Persit yang terlihat sangat cantik, macam Bunda yang selalu anggun dengan seragam hijau pupusnya.

Bunda terheran-heran ketika melihatku duduk bersila di depan pintu, begitupun Ibu yang datang bersama Bunda.

"Kakak ngapain di depan pintu begini? Bikin malu!" Gertak Bunda di dekat telingaku. "Salam dulu sama Ibu Danrem, Sayang. Ayo Adik juga!" Perintah Bunda dengan nada biasa dan begitu lembut, seperti biasa.

Aku langsung berdiri, pertama yang kuucap adalah syukur. Allah SWT menyelamatkan aku hari ini. "Selamat malam, Tante. Maaf saya kurang sopan. Ara, Tante," kataku sambil mencium punggung tangannya.

Tunggu, Ibu Danrem? Ha ha, aku bikin malu Bunda dan Ayah hari ini. Tapi bukan salahku secara langsung, Ayah yang menghukumku.

Ibu Danrem mengernyitkan dahi, lantas tersenyum pada Dik Dara yang menjabat tangannya.

"Maaf, Tante. Kakak lagi dihukum sama Ayah," katanya memperkeruh suasana. Tapi Dik Dara malah tersenyum bahagia. Sungguh polosnya kau, Dik.

Bunda mengangkat kedua alisnya, "Silahkan masuk, Mbak. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya," ujar Mama mempersilahkan Ibu Danrem masuk dan memberi pelototan tajam padaku.

Dik Dara? Dia hanya menjulurkan lidahnya padaku.

"Anak kamu lucu, Dik. Jika masih hidup, mungkin dia juga semenggemaskan itu."

Aku cukup tertegun dengan apa yang Ibu Danrem katakan, itu artinya anak Ibu Danrem benar-benar sudah meninggalkan dunia ini. Saat pertama kali datang ke Jogja, Bunda memang pernah bercerita jika Ibu Danrem kehilangan anaknya dimasa itu, makanya banyak program Persit lebih mengedepankan kesehatan dan anak-anak dalam beberapa tahun terakhir.

Byantara [Tersedia Di Shopee]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang