Sore ini aku dan Dik Dara kedatangan tamu. Sebenarnya bukan niat hati bertamu sih, Dik Dara yang maksa biar mereka bertamu. Kalian tahu siapa? Om Dika dan Om Indra. Usai mengantarkan Ayah, mereka berdua ditahan sama Dik Dara, sebenarnya aku juga. Biar ramai saja rumahnya.
Memang kalian pikir rumah kami ini sering ramai? Enggak, lebih seringnya sepi kalau Ayah dan Bunda sedang ada kegiatan. Ramainya sih kalau malam, suara gelak tawa kami selalu menghiasi, belum lagi suara Bunda mengarahkan kedua putrinya belajar. Sekarang Bunda dan Ayah memang sedang sibuk dengan beberapa berkas. Aku tidak tahu itu apa, tapi mereka tidak mau di ganggu di dalam rumah. Jadi aku, Dik Dara, Om Dika dan Om Indra hanya bisa bercengkrama di depan rumah.
"Ha ha ha, jadi Om Indra mau ditinggal nikah sama mantannya? Kasian, Om," ejekku masih dengan cerita tentang Om Indra dari Om Dika.
Om Indra hanya diam dan pasrah saja. "Apalah daya yang cuma seorang sersan, Kak."
"Ha ha ha," kawannya itu tertawa paling keras.
"Kapan dia nikah? Diundang dong?" Tanya Dik Dara penasaran.
Mengangkat kedua bahunya. "Dia baru lamaran, belum juga pengajuan dan lain sebagainya."
"Loh, calon suaminya mantan Om itu tentara juga atau polisi?" Tanyaku sudah antusias sekali.
Om Dika menahan tawanya. Entahlah kedua Om-om ini semacam tahu banyak satu sama lain.
"Nanti Kakak juga tahu."
Sepertinya Om Indra sudah enggan membicarakan soal ini, soal mantannya. Aku bukan peramal atau dukun yang hebat tapi aku tahu, pasti ada luka yang Om Indra rasakan sayangnya dia juga tidak mau menceritakan. Hanya akan membuka luka semakin menganga jika dia bercerita.
Agaknya aku punya ide untuk mengalihkan pembicaraan kali ini. Dik Dara juga sepertinya mengerti, makanya dia diam dan terus memandang Om Indra datar.
Baru saja hendak kualihkan pembicaraan, ada Om ganteng lewat dekat rumah, berjalan kaki dengan seragam dorengnya.
"Om Reza, mampir, Om," tawar Dik Dara dengan wajah keganjenan macam biasanya. Dasar adikku ini menurun dari siapa ya? Mungkin Ayah.
Om Reza menghentikan langkahnya, menoleh dengan wajah seolah menatap musuh, sedetik kemudian tersenyum padaku dan Dik Dara. Aneh sekali.
"Om masih ada urusan, lain kali saja, Dik," ucapnya melenggang pergi.
Kulihat Om Indra yang paling jelas menyimpan raut wajah tidak menyenangkan. Aku bukan pembaca raut wajah seseorang yang ulung tapi itu memang jelas sekali.
"Ya iyalah, sibuk persiapan. Biarkan saja dia, Dik," ucap Om Dika begitu pelan.
"Persiapan apa?" Tanyaku.
"Nanti Kakak juga tahu."
Tidak Om Indra, tidak Om Dika, semua selalu menjawab dengan, "Nanti kakak juga tahu" memangnya apa?
Aku menghela napas panjang. Mungkin memang benar, bukan sesuatu yang bisa diceritakan, jadi biar aku tahu sendiri. Biasanya kalau soal persiapan tugas memang begitu, banyak yang dirahasiakan.
"Eh, Om btw Kakak dikasih laporan observasi masa sama Kak Byan," ucap Dik Dara yang sangat pintar sekali hari ini.
Memang tak salah dia itu akhirnya aku akui menjadi Adikku, nyatanya dia bisa melengkapiku. Aku mencari topik pembicaraan lain agar Om Indra seleluasa sebelumnya dan Dik Dara dengan tanggap mendapatkan topik pembicaraan yang menyenangkan.
"Eh, iya," Om Indra terbangun dari sikap menyeramkannya.
Sekarang semakin kuakui kepintaran Dik Dara mencari topik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Byantara [Tersedia Di Shopee]
Teen Fiction[Sebagian besar part telah dihapus, nantikan versi cetaknya!] Ini kisahku sebagai seorang anak tentara. Hidup di rumah dinas yang cat dindingnya tidak boleh diubah, padahal aku ingin sekali merubah warna tempat tinggalku menjadi merah muda, tapi kat...