0. Sosok Dari Masa Lalu

6.1K 368 24
                                    

0

Dia kembali. Aku merasa biasa-biasa saja, karena sebenarnya kami adalah orang asing yang tidak saling mengenal. Itu menurutku. Setelah berada di kelas yang sama hanya selama sebulan dan dia pindah sekolah, kami memang tidak akrab. Bahkan, aku tidak pernah ngobrol secara intens.

Desus-desus yang terdengar, dia kembali dengan sebuah perubahan yang bagus. Menarik dan penuh pesona. Namun, aku masih merasa dia biasa saja. Sosok laki-laki yang ceria dan bisa mendekati orang dengan mudah. Sangat bersinar.

Ah. Introvert seperti aku ini tahu apa soal hubungan sosial yang baik dengan manusia lain? Yang aku tahu adalah selama masih bisa dilakukan sendiri, maka lakukanlah dengan sebaik mungkin. Ditolak karena merepotkan orang lain itu tidak enak. Sungguh.

Kala itu aku sedang duduk di depan kantor BK. Habis konseling. Biasa, sih. Konseling soal jurusan. Karena masih malas untuk masuk ke kelas, aku memutuskan untuk duduk di sana sambil menghabiskan waktu istirahat kedua yang panjang. Kebetulan, dia ada di situ.

Dia menyapa namaku dahulu. Bukan main aku terkejut karena ada orang asing yang tahu siapa diriku ini. Bahkan, dia mengajakku bersalaman.

"Halo! Masih inget aku nggak, Oui?" sapanya. "Loui, kan?"

"Iya. Siapa, ya?" tanyaku. Nggak yakin.

"Athan. Dulu kita pernah sekelas pas kelas sepuluh."

Satu ingatan tentang sosok cowok bermasalah dengan kehadiran di kelas dan akhirnya pindah setelah sebulan bersekolah, muncul. Konon, pindah karena perceraian orangtua dan dia ikut ibu.

Tapi, ya. Seingatku, dia itu punya postur seperti aku. Kecil, putih, dan berkacamata. Ciri khas anak Chinese bukan, sih? Hihihi. Dan sekarang, sepertinya dia masih sama. Hanya saja, dia tambah tinggi dan punya tatanan rambut yang sangat berbeda.

Jelas, sih. Dulu saat masuk SMA, semua anak laki-laki wajib punya rambut ala-ala tentara. Sementara sekarang, dia memiliki rambut jabrik. Lancip banget itu rambut. Kalau ada balon yang kena, pasti langsung meletus. Sementara itu, aku menggunakan gaya poni depan untuk menutupi kelebihan pada jidat yang suka disalah sangka sebagai lapangan basket.

"Aku pindah ke sini," ujar Athan. Dan aku sadar, aku terlihat pendek. Terlihat dari kedua bahu kami yang bersisihan. Milik dia lebih tinggi.

"Kok nanggung. Kelas dua belas kan baru sibuk-sibuknya urus persiapan ujian."

Athan tertawa. "Tenang aja. Jurusan IPS itu yang penting nalarnya dipakai aja sama paham ini-itu. Beres. Kecuali pelajaran wajib. Aku masih harus ngejar materi."

Aku mendapatkan informasi baru; jurusan kami berbeda. Dan tidak sengaja, pikiranku telah menghakimi Athan: anak IPS pasti banyak santai. Terlihat, sih. Dia bisa luwes banget ngobrol di depanku. Sementara itu, aku merasa canggung.

"Aku ke kelas dulu, ya. Udah mau masuk," pamitku.

"Oui?" panggil Athan sebelum aku benar-benar beranjak dari bangku depan kantor guru BK.

"Ya?"

"Nomor kamu nggak ganti, kan? Masih yang belakangnya enam-enam-sembilan?"

Aku terpaku saking terkejutnya.

Bagaimana tidak terkejut. Tidak banyak yang menyimpan nomor teleponku karena aku tidak pernah membagikan kepada siapa-siapa, kecuali dengan anak sekelas. Itu juga karena aku masuk ke dalam grup kelas. Dan sekarang, Athan yang hanya sesekali berinteraksi denganku tiba-tiba mengatakan hal tersebut. Sungguh..., aku sampai tidak bisa berpikir dengan benar.

"Kok...."

"Aku tungguin kamu pulang sekolah. Ada yang pengen aku obrolin mumpung aku inget."

Aku menghentikan otak untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan aneh yang pernah aku baca di novel. "Oke," jawabku. Lalu aku pergi ke kelas.

Sepanjang jalan aku hanya bisa bertanya-tanya sambil mengumpat jika aku merasa punggungku seperti tersayat akibat dilihatin melulu.

[]

Hai!

Karena ada yang permintaan untuk cerita setting anak sekolah, jadilah seperti ini.

Semoga bisa rajin update. XD

Xoxo

Moses

The DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang