02. Kok Athan Posesif?

2.7K 268 22
                                    

Aku ketahuan gay sama cowok biseksual. Seharusnya aku panik, cemas, dan ekspresi lambang kesedihan gitu. Mungkin bisa jadi aku depresi. Nyatanya, aku merasa lega. Banget. Akhirnya, aku menemukan orang yang bisa diajak cerita tentang cowok-cowok keren di sekolah dan host di Kitab Biru yang gak kalah hot.

Itu semua berkat Athan yang meyakinkanku jika dia baik-baik saja dengan kondisi yang aku alami. Kita, deng, ya. Kita oke. Dan kita sekarang baru makan bareng.

Perlu dicatat, jika Athan itu suka banget sama ayam goreng. Terlebih untuk kulitnya. Nggak tahu kenapa dia obsesi banget makan bagian itu paling akhir. Dan dia pakai saus tomat yang banyak.

"Habis ini main, yuk. Kemana gitu. Aku belum sempet main kemana-mana sehabis pindahan," ujar Athan dengan mulut penuh. Dia mengunyah dengan bersuara, ngomong-ngomong. Nggak ada jaim-jaimnya.

"Bukannya ini udah main, ya, Than? Kan kita udah motoran sampai ke sini itu dihitung main,"' ujarku.

Gelengan kepada Athan merusak keinginanku untuk segera pulang dan melemaskan badan dengan bermalas-malasan. "Ini cuma makan sore, kali. Main kemana gitu, kek. Aku kan belum pernah keliling daerahmu."

"Nggak hari ini, lah. Kan masih banyak hari yang akan datang. Kalau kamu mau jalan-jalan, aku mau nemenin," tawarku. "Aku capek. Pengen tidur aja rasanya."

Athan mengelap ujung bibirnya dengan tisu. Saat itu juga, aku tersadar kalau dia selesai makan. "Oke. Janji, ya, kamu mau nemenin kalau aku mau ajak kamu keliling?"

"Yang penting kabarin juga, sih, Than. Disamain jadwal biar nggak ada yang merasa dirugikan," usulku.

"Emang jadwal kamu padat? Udah punya pacar, ya?"

"Hmm..., gimana, ya? Pacar sih belum. Tapi, ini udah ada yang deketin, sih."

Raut wajah Athan terlihat terkejut juga takjub? Kepalanya bergerak pelan ke arah depan. "Orangnya kaya gimana?"

Aku menahan tawa. "Ntar malem mau ketemuan, sih. Jadi belum tahu aslinya kaya gimana."

Kernyitan di dahi Athan tampak lucu. "Kenal dari aplikasi, kan? Terus tukeran nomor WA? Pernah telepon atau udah video call?"

"Udah semua. Udah chattingan seminggu lebih, sih. Dan baru mau ketemuan nanti abis maghrib," jelasku.

"Yakin mau ketemuan sama dia? Usianya berapa? Dia kerja apa kuliah?"

"Dua empat. Dia kerja di tempat wisata yang baru hits di sana. Nggak tahu bagian apa, tapi kaya bangket-banget gitu. Aku nggak tahu," ujarku.

"Banquet? Kerjaannya mayan berat. Itu kalau nggak salah yang sering setting tempat. Jadi angkat-angkat meja sama kursi. Nata tempat buat pertemuan gitu di aulanya," jelas Athan.

Aku memberikan cengiran. "Nggak tahu, deh. Tapi dia punya anak buah, kok. Jadi, ya... nanti aku tanya kerjaan dia kaya apa."

Athan tidak menjawab lagi. Dia ijin untuk pergi cuci tangan. Sementara itu, aku menyelesaikan suapan terakhir dan menyusul cowok yang sekarang sedang menatap pantulan diri di cermin dengan khidmad.

"Udah ganteng, kok, Than. Jangan kelamaan ngaca. Nanti retak," candaku.

Athan memberikan seringai lewat cermin dan menaikkan kedua alisnya beberapa kali, seolah-olah dia tidak peduli dengan candaanku yang terdengar mengejek. "Bener, kan, kalau aku itu ganteng?"

"Gantengi itu relatif, sih. Kalau jelek itu baru mutlak," jawabku yang mendapat percikan air dari tangan Athan.

Kalau ini di tempat yang sepi dan hanya kita berdua, mungkin aku sudah balik balas percikin air ke Athan. Namun, berhubung ini tempat umun dan banyak orang, aku diam saja sambil menahan ketawa sampai kami kembali ke meja.

"Ngomong-ngomong, gebetanmu itu ganteng, nggak?"

"Mancung, sih. Kalau mancung itu ganteng, nggak?" balik tanyaku.

"Ganteng idungnya doang berarti," canda Athan yang membuat kami terbahak. "Kalau gantengan aku, kamu nggak usah ketemuan sama dia, lah. Aku belum puas ngobrol sama kamu."

Aku menggeleng. "Cowok itu pantang ingkar janji. Kami udah janjian lebih dulu daripada waktu aku disabotase kamu."

Athan ngambek. Bibir bawahnya dia majukan. "Iya, deh. Selamat bersenang-senang, ya."

"Makasih."

"Tapi, kamu beneran yakin mau ketemuan?" tanya Athan lagi.

Aku mengangguk. "Orang kita nanti cuma makan sama ngobrol aja, kok. Nggak akan lama jugaan. Jadi, ya... lihat aja nanti. Dia juga yang mau jemput aku, kok."

Athan menjentikkan jari. "Ini tips buat ketemuan sama cowok yang baru dikenal. Kamu jangan minta jemput di rumah. Lebih baik di minimarket atau tempat rame. Kalau kamu nggak suka sama wajahnya buat pertama kali, kamu bisa berkamuflase sama orang di sekitar."

Aku menggeleng. "Kalau itu aku kan udah tahu wajahnya. Masa kita nggak akan saling kenal?"

"Oh, iya juga. Ya, pokoknya kamu jangan ketemuan di tempat sepi. Di tempat rame gitu dan bisa minta tolong sama orang sekitar kalau kamu ada apa-apa. Dan bawa dompet sama uang secukupnya aja. Nggak udah lebay bawa-bawa tas sama perhiasan. Nanti takutnya kamu dirampok pas di jalan," nasehat Athan lagi.

Aku mengiyakan. "Kamu kayak pengalaman banget ya sama ketemuan sama cowok-cowok."

Athan terkekeh. "Bisa jadi. Dan ini kita termasuk ketemuan nggak sih?"

"Ini mah, namanya sabotase. Aku udah bilang, kan?"

"Jadi,kamu nggak seneng ketemuan sama aku?" tanya Athan dengan nada sedih.

"Aku seneng, kok. Soalnya aku nggak banyak temen, sih. Dan tiba-tiba kamu dateng dengan keakraban kamu. Ya, siapa, sih yang bakal nolak orang yang niatan temenan. Apalagi udah jadi stalker sejak jaman bahula?" ujarku.

"Pengen noyor tapi takut dosa," ujar Athan yang tidak aku tanggapi. "Udah kelar? Pulang, yuk?"

Aku setuju. Sambil bangkit, aku memasukkan dompet dan hape ke dalam kantong. Kakiku mengikuti langkah-langkah Athan yang tampak lebar.

Boleh beropini nggak?

Orang dengan kaki panjang itu kadang-kadang egois kalau masalah jalan. Langkah-langkahnya itu, lho, bisa biasa aja nggak, sih? Aku kan jadi terburu-buru kaya gini.

Ketika sampai di motor, Athan sudah memakai helm dan memberikan yang lain kepadaku. "Abis ini kamu mau ngapain?"

"Tidur bentar, terus mandi. Abis itu ketemuan, deh. Kenapa?"

"Numpang tidur boleh, nggak?"

[]

The DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang