05. Pengakuan

1.8K 201 56
                                    

Halo, apa kareba?

Semoga sehat ya, teman-temankuh. Sehat mental dan sehat fisik.

Lagu baru yang asik itu apa, ya?

Punya rekomendasi?

Selamat membaca!

[]

Aku tahu kalau Athan suka sama aku. Hanya saja, aku nggak tahu kenapa dia berbuat seperti ini. Aku juga enggan untuk bertanya dan malah membiarkan dia berbuat sesuka hati. Dalam hati, aku membiarkan mulut pedasnya bicara ini-itu tentang apa yang terjadi dengan kisah asmaraku.

Dia bilang, proses pendekatanku dengan Mas Edgar terlalu hambar. Aku juga terlalu bodoh untuk selalu berpikiran positif tentang cowok yang mendekatiku itu. Sampai ketika, ada ucapannya yang membuatku marah besar.

Sore ini, kami makan bakso urat yang sudah kupesan lewat jasa daring. Pingin aja, sore-sore yang agak mendung gini makan sesuatu yang hangat. Mood biar agak baikan juga kalau makan. Pelajaran kelas tiga tuh nggak nyante.

"Kamu pacaran juga buat ngewe, kan? Ngewe aja sama aku nggak masalah, kali."

Darahku mendidih. Seketika, air yang ada di gelas berpindah ke seluruh tubuh Athan. Untung saja gelasku ini terbuat dari plastik. Benda ini nggak akan pecah meskipun sudah aku banting ke lantai sehabis itu.

"Than? Kamu itu ada masalah apa sama aku?" Aku mengatakan hal tersebut dengan nada geram. Tidak berteriak. Aku bisa merasakan jika suaraku bergetar dan dalam.

Athan yang tadi terkejut, mulai mengontrol emosi. Di tertawa dengan nada miris sambil melepas kacamata. Dia mengambil tisu dan perlahan membersihkan benda itu sekalian wajahnya yang basah.

"Aku cuman nggak pingin kamu kejebak."

"Maksudnya?"

Athan menghembus napas panjang. "Nggak semua orang yang kelihatannya baik-baik itu beneran baik. Kayak aku misalnya. Aku ini brengsek, lho."

Aku tidak mengatakan apapun. Mataku masih sibuk mengawasi Athan yang kini membenarkan letak poninya yang basah.

"Aku pernah tidur sama Edgar. Kami pernah one night stand. Itu terjadi sehari sebelum kamu ketemuan sama dia."

Darahku yang ada di kepala mendadak dingin. Peredaran darahku tiba-tiba terganggu dan semua mengumpul di kaki. Bibirku kelu. Bahkan untuk berkedip aku tidak mampu.

"Ini yang aku maksud. Sori banget kalau bikin kamu kaget, tapi kenyataannya emang begitu. Aku cuman nggak mau cowok baik-baik kayak kamu dimanfaatin tubuhnya aja, setelah itu dilepeh," ujar Athan. Kini dia tersenyum.

Mataku tiba-tiba memanas. "Bohong."

Athan menggeleng. "Aku masih simpan foto bukti obrolan kami sampai videonya, kok. Kamu mau lihat?"

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Pikiranku sekarang seperti benang kusut. Bahkan untuk beranjak dari tempat duduk, aku tak sanggup.

"Zaman sekarang kebanyakan gitu, kok. Terus aku cuman pengen bilang kalau yang namanya cinta di dunia kayak gini tuh tipis banget sama nafsu. Sedikit banget yang cuman pacaran tapi nggak ngapa-ngapain. Banter-banter paling bantuin coli dan nggak sampai anal," ujar Athan.

Aku mengangkat kedua tangan. "Makasih buat infonya," ujarku.

"Boleh pinjem baju ganti, nggak Oui? Aku nggak mau basah-basahan kayak gini terus."

Aku mengangguk, kemudian mengambil piring dan gelas di lantai. Kuletakan kedua perkakas tersebut di tempat cuci piring agak kasar sebelum aku melangkah menuju ke kamar. Kutinggalkan begitu saja Athan tanpa sempat kulihat lagi sosoknya yang masih duduk diam.





The DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang