08. Confession

1.3K 170 7
                                    

"Alasannya apa? Kamu kenapa tiba-tiba minta aku jauh dari kamu? Karena aku pernah tidur sama Mas Edgar?"

Kalau semisal pertanyaan Athan ini terlontar di tempat umum, mungkin hal ini akan menjadi hal memalukan yang pernah kudengar. Beruntung, kami sekarang berada di rumahku dengan ditemani suara televisi yang menjadi musik latar kami mengobrol.

Sebenarnya aku enggan membawa Athan ke rumah lagi. Namun, karena tidak ada tempat kosong selain di sini, mau gimana lagi? Ke alun-alun, kok terlalu ramai. Mau ke rumah Athan, kok ada Ibunya. Akhirnya, setelah melakukan perdebatan, kami meluncur kemari.

"Aku masih bingung," jawabku yang memicu kembali pertanyaan. "Kalian kenapa bisa tidur bareng?"

Athan terbahak. "Kalau tidur ya merem, sih. Kami merem melek malahan kemarin-kemarin itu."

Kalau bisa membunuh lewat tatapan, mungkin Athan sudah mati detik ini juga. Sebel aku tuh kalau dijawab nggak serius begini.

"Aku sange, sih. Terus berhubung Edgar juga butuh kehangatan, ya kami janjian ketemu, terus ngelakuin hal gitu," jawab Athan.

"Tanpa ikatan pacaran?" tanyaku.

Athan mengangguk. "Kalau udah sange, mau gimana lagi? Lebih menantang, sih. Terus nggak terikat perasaan bikin lebih gampang aja. Yang penting tujuannya saling enakin dan gak bayar. Zaman sekarang udah banyak yang begitu, kok."

Aku tak bisa menutup keterkejutanku. Tenggorokkanku sekarang mengering dan susah untuk membalas jawaban Athan. Sumpah, aku nggak habis pikir.

"Kok kayaknya kamu kaget gitu, Beb?"

"Kamu udah jauh mainnya. Aku kaget. Banget. Terlebih, kok kamu berani, sih?"

Athan tertawa kembali. "Yang penting, mainnya aman. Jaga kebersihan, dan selalu pakai pengaman dan pelicin."

"Maksudku, kok kamu gak pacaran aja gitu? Daripada gini. Kamu nggak tahu, kan, kondisi orang asing yang kamu temui? Bisa jadi dia bohong soal kebersihannya? Status HIV dia."

Aku pernah membaca di sebuah blog yang mengatakan memang lebih baik menghindari orang asing begitu. Kan kita nggak tahu kondisi seseorang. Lebih baik mencoba untuk monogami. Itu kalau aku, ya, nggak tahu kalau yang lain. Kan, kalau berdua bisa cek kesehatan bareng biar saling bisa jaga dan percaya.

"Pacaran, ya? Sayangnya, aku udah nggak percaya apa itu cinta," ujar Athan sinis. Dia meneguk air es yang ada di gelasnya sampai habis.

Aku tiba-tiba saja bisa memahami hal itu ketika melihat latar belakang keluarga Athan. Keluarganya tidak harmonis. Mungkin, dari sanalah dia merasakan ketidak percayaan akan cinta. Bisa jadi, lho. Mungkin saja dia trauma dengan pengalaman yang pernah dia lalui selama in.

Ini hanya asumsi sementara saja, sih. Aku percaya cinta karena aki melihat orangtuaku memang terlihat saling mencintai satu sama lain. Meskipun, aku sekarang kondisinya nggak sama kayak mereka. Aku juga masih bertanya-tanya kenapa aku berbeda dari mereka.

"Cinta banyak jenisnya, kok. Kan di pelajaran agama udah dijelasin. Mungkin kamu cuma trauma, terus kamu melampiaskan dengan tidur sama orang asing?" tanyaku.

"Nggak tahu, sih. Nggak mau mikirin itu juga. Intinya, aku cuman tanya kenapa kamu pengen jauh dari aku. Gitu aja."

Aku terdiam sejenak, menimbang pernyataan mana yang harus keluar dari mulutku. Aku takut kalau terlalu menyakiti perasaan Athan.

"Aku cuman bingung. Aku ngerasa kalau aku emang harus ngejauhin kamu karena perbedaan cara pandang ini. Aku percaya jika cinta itu ada, sementara kamu enggak. Aku juga takut...."

Athan melirikku. "Takut apa?"

"Aku takut baper sama kamu," jawabku jujur. "Aku selama ini selalu nahan perasaan aku sama kamu. Segala bentuk perhatian kamu selama kita kenal ini bisa bikin aku berharap lebih sama kamu."

Athan membeku di tempat. Dia menatapku penuh selidik. Dia beringsut, kemudian menyentuh keningku. "Kamu emang agak demam."

Kutepis tangannya agak kasar. Sebal. Padahal aku sudah berani jujur sama dia, lho. Bisa nggak, dia itu serius barang semenit saja?

"Kamu nggak ngelindur, kan?" tanya Athan. "Kamu takut suka sama aku, apa kamu udah suka sama aku, tapi takut kalau aku ngelakuin hal aneh-aneh sama kamu tanpa dasar perasaan yang sama?"

Wajahku sudah mulai panas. Kalau ada cermin di depanku, aku yakin ini warna wajah sudah seperti pantat babon. Aku malu.

"Aku takut sakit hati. Aku masih percaya kalau di luar sana ada orang yang mau pacaran tanpa memedulikan urusan ranjang kayak kalian. Mungkin kita butuh, tapi hal itu bukan yang aku pengen buat saat ini. Terus, setelah denger jawaban kamu kayak gitu, aku tahu bagaimana aku harus bersikap sekarang," ujarku.

Athan tersenyum lemah. "Mungkin kamu ada benernya."

"Aku emang bener, kok. Siapa sih yang nggak kaget sama usaha kamu yang tiba-tiba punya nomer WA aku? Terus kamu deketin aku secepat itu, jemput dan main bareng hampir tiap hari. Bahkan, intensitasku sama kamu lebih banyak daripada sama Mas Edgar. Aku malah kayak PDKT sama kamu, dan aku mulai nyaman," sanggahku.

Athan hendak minum dan mengambil gelas, tapi sadar isinya telah habis. Matanya melihatku dengan pancaran yang tidak bisa kuterjemahkan.

"Mau aku ambilin air lagi di belakang?" tawarku.

Athan menjawab, "Boleh, deh."

Aku buru-buru bangkit dari sofa dan sedikit berlari ke arah dapur untuk mengambil botol air. Sambil tangan kiriku membuka pintu kulkas, tangan kananku memegang dada. Kurasakan, jantungku tadi sempat berdetak tidak beraturan. Bahkan, telapak tangan dan kaki ini terasa dingin.

Aku sungguh sangat berani ketika mengatakan semua itu kepada Athan. Entah apa yang sudah merasukiku tadi. Bahkan dengan Mas Edgar saja aku tidak pernah senekat itu.

Kalau aku bisa melihat diriku tadi dengan mata kepala sendiri, mungkin aku akan berdiri dan bertepuk tangan. Tidak pernah aku seberani dan selancar ini mengakui perasaan. Hanya saja, memang aku lebih berhati-hati sekarang. Apalagi Athan sudah bilang kalau dia nggak percaya sama yang namanya cinta.

Ah, iya. Aku emang lebih baper ke Athan, sih. Ini salah satu alasan kenapa aku menyudahi acara pendekatan dengan Mas Edgar. Aku ngerasa nyaman banget kalau deket sama Athan, dan kangen kalau aku jauhan sama dia.

Ketika hatiku menginginkan apa yang diinginkan, tapi keadaan yang ada ternyata seperti ini, mau gimana lagi? Aku sudah berhenti sekarang. Sesuai dengan janjiku kepada diri sendiri bahwa aku akan berhenti apabila hubunganku dengan Mas Edgar tidak berjalan dengan baik. Meskipun, hal ini disebabkan oleh karena perasaanku sendiri yang goyah.

"Nih airnya. Aus banget?" tanyaku sambil menyodorkan botol air mineral.

Athan menganggukkan kepala. "Thanks," ucapnya.

Sementara Athan kembali minum, aku menyibukkan diri dengan memindah-pindah saluran televisi. Tidak jelas acara yang ingin aku tonton sebenarnya, toh aku memang sudah tidak begitu suka dengan tayangan yang ada.

"Aku kayaknya mau pulang dulu, deh," ujar Athan tiba-tiba. Dia kemudian buru-buru bangkit dan mencangklong tas. "Makasih, ya, Oui."

"Kok buru-buru?" tanyaku. Sontak, aku juga ikut berdiri dan mengantar Athan ke depan rumah.

Sementara dia memakai sepatu, aku buka pintu gerbang. Setelah dia menghidupkan mesin dan menghilang dibalik tikungan di gang rumah, dia diam. Aku sadar setelah menutup kembali gerbang. Bahkan, sejak tadi dia tidak berani menatap mataku.

Nggak... aku nggak sedih, kok. Cuman rasanya agak sakit gimana gitu.

Emangnya, aku salah kalau ungkapin perasaan aku ke Athan ya?

Sebentar... kok sakit, sih ini dadanya?

[]

Hello~
Long time no see. Hampir 2 bulan aku mandek ngerjain naskah ini.
Selain sibuk kejar-kejaran makalah, uas, pacaran *eh*, aku juga sibuk main Twitter hehehe. Mohon maaf ya~.
Makasih buat yang masih ngebaca dan nagih ini naskah. Yaampun TT makasih lho~.
Semoga kalian selalu sehat yaaa~♡.

Xoxo
Moses

The DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang