10. Sebuah Alasan

1.2K 172 15
                                    

Aku dengan sengaja berkemas-kemas terlebih dahulu sebelum bel pulang berbunyi. Setelah melakukan doa bersama, aku langsung bergegas keluar kelas dan menuju tempat parkir. Tujuanku hanya satu: menemui Athan.

Athan kemungkinan besar masih berada di kelas karena dia tipe yang malas pulang ke rumah. Mungkin, sekarang dia sedang berlama-lama juga karena Sammy bakal nyamperin di kelas. Terus mereka ngobrol-ngobrol sebentar sama gerombolannya, jalan pelan ke arah parkiran dan ngelihat aku yang udah duduk di atas bangku dekat tempat biasa Athan parkir.

Ada Sammy dan geng cantik, yang berisi tiga cewek dan Sammy, bersama dengan Athan sekarang. Mereka memperhatikan aku dengan tatapan mata sinis.

"Than? Bisa ngobrol bentar nggak?" tanyaku setelah Athan benar-benar dekat dengan posisiku duduk.

Athan memperhatikanku lumayan lama sebelum beralih ke Sammy. "Aku pulang sama Loui, kamu sama geng kamu dulu gimana?"

Sammy mengedik. "Nggak masalah. Sist, hari ini jalan, yuk? Kemana gitu? Bete, nih pulang cepet."

Sementara Sammy and the gank sibuk mau nentuin tempat mereka mau pergi, Athan menyodori aku helm. "Pulang sekarang apa mau kemana?"

"Aku cuman mau ngobrol bentar aja, kok. Nggak ada lima menit jugaan. Bisa? Tapi ke lapangan basket aja yang sepi," pintaku.

"Oh. Kirain mau ngobrol di rumah kamu."

Aku menggeleng sambil mulai berjalan ke arah lapangan basket yang bersebelahan dengan tempat parkir. Aku memilih untuk duduk di bangku yang berada di bawah pohon asam. Masih cukup terik, tapi lumayan bisa duduk dan terhalang dedaunan meski tidak banyak.

"Mau ngomong apa?" tanya Athan. Dia masih berdiri di depanku, enggan duduk.

"Kamu cerita apa aja ke Sammy tentang aku?" tanyaku tepat sasaran.

Athan menaikkan alis. "Emang gimana, sih? Kok tanya begitu segala?"

"Tadi istirahat kedua Sammy nemuin aku, dan intinya mau minta izin sama aku buat dia boleh deketin kamu."

Tampaknya Athan tidak terlalu terkejut. Wajahnya kemudian melihat ke arah Sammy yang ternyata masih ada di parkiran sambil memberi lambaian kepada Athan. Tentu saja cowok yang ada di depanku ini membalasnya dengan senyum.

"Terus, kamu ngasih izin nggak?"

"Itu hak kalian, sih. Terserah kalian mau ngapain itu bukan urusanku. Cuman, ngapain dia harus minta izin aku segala. Kamu emang cerita apa aja, sih?"

Athan kemudian memutuskan untuk ikut duduk. "Aku cuman cerita kalau kita pernah deket dan pernah saling suka. Terus sekarang enggak. Cuman, Sammy nemuin aku di aplikasi biru, terus mulai ngedeketin. Terus aku bilang kalau mau deketin aku, dia harus izin sama kamu. Itu aja."

Aku menepuk jidat. "Tanpa sengaja, kamu ngebuka identitas aku, dong, sama dia. Padahal aku nggak pernah nyenggol Sammy. Aku tahu dia juga belok dan aku nggak pernah ngobrol sama dia, meskipun di aplikasi. Kok kamu gitu, sih. Itu yang jadi masalah, bukan hubungan antara kamu sama dia."

"Sorry...," ucap Athan perlahan. "Aku kira kamu sama dia udah saling tahu dan dia kemarin juga nggak kaget pas aku nyebut namamu, sih."

Aku menghirup napas dalam-dalam. "Aku kelihatan banget kalau gay, ya?"

Athan tertawa. "Nggak juga, sih. Kamu cuman nggak seterbuka Sammy aja. Tapi, sebenernya di sekolah kita juga ada beberapa anak, sih. Ada yang kelihatan, ada juga yang nggak disangka-sangka. Sammy udah patroli, kok. Dan dia juga nggak akan nyebarin."

Aku diam dan memerhatikan Sammy. Ternyata, dia sehebat itu, ya, untuk mencari cowok-cowok belok di sekolah kami. Aku aja nggak pernah bisa tahu beberapa akun yang hanya memakai foto setengah wajah ataupun siluet. Aku masih terlalu takut untuk punya teman di dunia nyata yang sama-sama belok.

"Terus, kamu ngasih izin Sammy, nggak?"

Aku tertawa pelan. "Aku kasih maupun enggak, kayaknya dia cuman bakal jadi mainan kamu aja. Kamu kan nggak percaya cinta."

"Kok kamu jadi sinis banget?:

"Jadi gini," aku menatap mata Athan dalam-dalam sebelum melanjutkan, "kalau kamu disuruh milih, kamu bakal pilih aku atau Sammy?"

"Kok pertanyaannya jadi gitu?"

"Jawab aja, kek."

Athan mendengus. Dia melihat ke arah parkiran, dimana Sammy masih ada di sana. Sekarang, dia sendirian. "Sammy. Dia kayaknya lebih pengalaman di ranjang dibanding kamu."

Tanganku secara reflek memukul lengan kiri Athan pelan. "Gila. Kamu cuman mau manfaatin dia buat gituan?"

"Aku cuman nggak mau ngerusak kamu aja, sih," ujar Athan.

"Oh, jadi ini alasan kamu ngehindarin aku selama ini?"

Athan nyengir. "Aku sebenernya seneng banget kamu suka sama aku balik, tapi aku kemudian sadar kalau aku ini brengsek. Aku mending nyari yang sama-sama brengsek aja. Terus datenglah Sammy."

"Kok jahat, ya?"

Athan tertawa. "Udah, ah. Kamu emang sakit hati sama aku, nih?"

"Nggak, kok. Udah biasa aja, sih. Cuman kesel aja, sih. Kayak tiba-tiba ada yang hilang dari kebiasaan aja, terus aku mulai kembali kepada keadaanku sebelum ada kamu. Biasa aja, sih," jawabku.

"Syukur, deh. Aku sebenernya seneng banget kamu datengin aku tadi. Udah kangen ngobrol bareng sama kamu, sih. Terus untungnya kamu udah nggak terlalu sakit hati."

Aku cuman senyum. "Iya. Aku udah biasa aja, kok. Dan kayaknya Sammy nungguin kamu, deh. Soalnya kan aku cuman minjem kamu lima menit, dan ini udah lebih. Mungkin dia nungguin kamu,"ujarku.

"Terus kamu pulangnya gimana?"

"Biasa, lah. Emang tanpa kamu anterin, aku nggak bisa pulang?"

Athan kemudian bangkit dari bangku sambil menepuk-tepuk celana bagian belakangnya. "Kalau gitu, aku pulang duluan, ya? Aku sebenernya pengen ngegabut lagi di rumah kamu, tapi sekarang kayaknya belum bisa."

"Kan sekarang udah ada Sammy yang bakal nemuin kamu. Kamu masih bisa ke rumah kalau pengen main, kok. Ajak Sammy juga," ujarku.

Athan memberiku dua jempol. "Oke. Balik dulu, ya. Hati-hati pulangnya."

Ketika Athan mulai pergi menjauh, aku ikut bangkit dan memberikan lambaian tangan ke Sammy sambil tersenyum. Dia membalas untungnya. Kemudian, aku pergi ke toilet yang ada dekat di lapangan basket. Kuputuskan untuk masuk di bilik paling ujung dan menyalakan keran.

Jadi gini, ya, rasanya membohongi perasaan diri sendiri. Sakitnya aku rasakan sendiri aja, nih. Nggak bisa bagi-bagi sama siapapun karena aku yang membuat keadaan ini sendiri.

Aku masih baper, lho. Cuman mau gimana lagi, kan? Sekarang Athan udah deket sama Sammy dan dia bilang karena dia nggak mau ngerusak aku. Aku paham, sih, untuk alasan kayak gini. Cuman... ada sisi lain yang nggak bisa aku terima. Padahal, ketika kami dekat sebagai teman, dan terang-terangan dia sering ngegoda aku, tapi dia bisa tahan.

Apa mungkin, ketika sudah ada ikatan pacaran, seseorang yang biasa menahan apa yang menjadi kebutuhan biologis, mereka bisa lepas kendali?

Ini yang memang ingin aku hindari. Aku tidak ingin terlalu jauh untuk sebuah hubungan pacaran. Aku masih takut, tapi aku juga penasaran soal pacaran, sih. Rasanya gimana. Kayaknya... emang hal ini yang terbaik, deh. Aku emang nggak siap untuk sebuah hubungan kayak gini.

Nggak semua cowok gay mikir pacaran buat cuman seneng-seneng dan hubungan badan, kan? Meski nggak sedikit juga yang senengnya buat gituan aja. Kayak hetero juga gimana, sih? Ada tipe-tipe begini. Semuanya sama. Bukan karena cowok nggak bisa hamil, terus ngelakuin hal begitu dengan mudah, terus dengan segampang itu ngelakuin hal itu.

Nggak begitu. Hubungan seksual itu sama-sama beresiko. Itu aja, sih. Sex education beneran harus diadain biar nggak salah. Cuman, kalau udah nyangkutin LGBT, kayaknya bakal susah. Golongan tua masih tidak mudah untuk terima dengan keadaan seperti ini.

Terus aku nggak jadi nangis, dong. Aku malah mikir kejauhan kayak gini. Capek nggak, sih, kalau kamu jadi aku? Kebanyakan mikir dan bertindaknya ragu-ragu begitu. Ada yang bisa nabokin aku biar sadar nggak?

[]

Cheers!

The DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang