04. Ada Udang di Balik Bakwan

2K 226 40
                                    

"Mabar, yuk?" tawar Athan ketika kami tidak sengaja berpapasan di hall.

Ini jam istirahat ke dua dan aku menggunakan waktu ini untuk membayar SPP. Selain tidak desak-desakan, juga biasanya aku suka cuci mata ke guru BK yang ganteng di ruang sebelah. Biasanya, beliau duduk di meja paling depan sambil membaca buku.

"Hah? Mabar?" tanyaku ulang untuk mengkonfirmasi apakah aku mendengarkan Athan. "Aku nggak main game."

Athan memonyongkan bibirnya. "Ya udah. Nanti pulang mau bareng, nggak?"

"Kalau kamu main nggak masalah, kok. Helmku nanti aku bawa pulang."

Athan mendengus, menggeleng, dan menepuk pundakku. "Harusnya kamu protes kalau sebaiknya aku harus nganter kamu pulang. Kan, pagi tadi aku udah jemput kamu."

Aku mau tidak mau terkikik. Jawaban Athan sungguh tidak masuk akal. "Emang harus, ya, kamu nganter jemput aku?"

Sudah tiga hari Athan bertingkah aneh. Sejak aku bercerita tentang Mas Edgar dan responnya yang kurang menyenangkan, dia sering bertingkah aneh. Atau paling tidak, dia sering mengatakan hal-hal yang membuat otakku enggan merespon.

"Ya... aku mau tanggung jawab aja, gitu. Kalau udah jemput, ya harus nganter pulang. Kamu bukan jelangkung yang datang dan pergi begitu aja," jawab Athan.

Aku menatap mata Athan dalam-dalam sambil mencoba untuk menyelam dan mengartikan kata-katanya lewat tatapannya. Namun, aku tidak mendapatkan apa-apa kecuali ada kecemasan di sana.

"Kok bengong, sih?" protes Athan.

Aku menggeleng. "Gini, ya, Than. Kalau kamu sehabis ini mau main, mabar, apa nongkrong dimana gitu, ya, silakan. Itu hak kamu. Aku abis ini mau pulang aja, sih. Tugasku banyak."

"Terus kamu nggak malu bawa-bawa helm di angkot?"

"Biasa aja, sih, Than. Emang kenapa?"

Athan mendengus. Sebelum dia meninggalkanku, dia hanya bilang kalau nanti aku harus pulang sama dia. Dia mengancamku agar tidak protes.

Siapa yang mau protes. Aku bisa mengehemat uang angkot, kali. Bisa buat beli kuota. Paling nggak, bisa buat beli bensin. Masa aku nebeng terus sama Athan tanpa beliin bensin. Enak kali hidup aku, ya.

Jadi, dalam perjalanan pulang, aku memang bertanya apa bensinnya masih apa tinggal sedikit. Athan bilang tinggal sedikit dan aku memaksa jika kami harus ke POM dan mengisi dengan patungan. Motor matic kalau ngisi full nggak sampai tiga puluh ribu, kok.

"Yakin kamu mau pulang langsung, gitu? Nggak mau mampir ke mana dulu, gitu?"

"Rumahmu?" tanyaku balik.

Athan menolak. "Jangan ke rumahku. Aku kan males kalau pulang. Makanya, aku tuh pingin main dulu sampe sore, terus baru pulang. Lagian, nggak ada siapa-siapa di rumah. Bosen. Paling kalau udah suntuk, ngebokep mulu hawanya."

"Pulang ke rumahku aja, Than. Aku banyak tugas, ini. Nggak mau nunda-nunda."

Athan memberiku jempol. "Aku mau mabar juga. Ayo, dong... kamu ikut mabar. Masa kerjaan kamu cuman buka-buka sosmed aja sambil baca buku. Ngebosenin banget jadi orang."

Kupukul helm Athan pelan. "Mas Edgar nggak bosen, sih. Dia biasa aja. Kok kamu yang sewot," ujarku.

Athan mendadak diam. Dia tidak membalas. Malah, dia menambah kecepatan laju motor yang membuatku mau tidak mau menggenggam ujung jaket merah Athan agar tidak jatuh.

[]

Jadi, setelah aku bebersih dan mengganti baju, aku memberikan sesajen ke Athan yang udah betah tiduran di kasur sambil bolak-balik mengumpat. Air putih dingin sebotol sirup dan aneka jajanan. Athan suka rasa-rasa yang gurih, jadi aku bawakan beberapa keripik dan biskuit yang nggak manis.

The DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang