11. After the Rain

1.3K 173 12
                                    

"Nggak mau!" tolakku tegas.

Athan masih bersimpuh dan memohon-mohon agar aku menyetujui apa yang dia inginkan. "Kali iniii aja. Kan kita udah lulus, masa kamu nggak mau ikut ngumpul bareng-bareng kita, sih? Sekaliii aja."

Ujian Nasional dan segala ujian perintilan emang udah selesai. Uh, ralat. Masa SMAku sudah usai. Bahagia, dong aku sekarang. Harus bahagia malah karena udah lepas buat pakai seragam sekolah. Hidup yang sebenarnya benar-benar ada di depanku sekarang. Takut, sih. Cuman, aku udah nunggu-nunggu buat ketemu hal yang lebih luar biasa dari yang sebelum ini.

Aku yang dulu masih terombang-ambing karena baper sama Athan, kini sudah kebal dengan segala tindak-tanduknya. Pun ketika dia sedang bermesra-mesraan dengan Sammy di depanku, aku tidak terpengaruh. Aku sudah berdamai sejak lama dengan hal ini.

Kelas tiga ini benar-benar aku maksimalkan untuk segala macam ujian yang harus dilewati. Beruntungnya, aku benar-benar fokus dengan hal ini dan memusatkan segalanya untuk belajar dan belajar. Hasilnya tentu memuaskan untuk ukuranku yang memang siswa biasa. Tinggal nunggu hasil pengumuman ujian terakhir. Aku berharap aku masuk ke universitas pilihanku yang sesuai dengan jurusan yang aku mau.

"Belum. Aku udah janji sama diri sendiri kalau belum resmi keterima di kampus ini, aku belum mau nongkrong-nongkrong," tolakku lebih spesifik.

Athan akhirnya menyerah dan berdiri. Sepertinya dia bertambah tinggi beberapa senti, deh. Apa aku yang makin pendek karena selalu bawa buku banyak, ya?

"Ya udah. Cuman, nih, ya. Kalau kamu terus-terusan ngurung diri buat belajar, kamu nanti stress sendiri, lho."

Aku menggeleng. "Kalau aku keterima, aku nanti beneran mau keluar nongkrong. Perjuanganku harus dibayar. Lagian, ngapain sih, tiap malam Minggu selalu nongkrong. Males aku, tuh, kalau harus jadi obat nyamuk."

"Enggak. Kamu aja yang ngerasa jadi obat nyamuk, padahal banyak orang di sana. Temen-temen Sammy nggak kamu ajak ngobrol, sih," gerutu Athan.

Bener yang dia omongin. Aku memang lebih nyaman untuk menjadi pendengar. Segala informasi yang telah keluar dari mulut mereka, seringnya aku dengar dan simpan. Seneng aja dengerin mereka ngobrol-ngobrol. Namun, hal itu terjadi ketika bulan-bulan pertama Athan sama Sammy jadian dan mereka sering ngajak kita keluar bareng.

Seneng, sih, punya temen dan lingkaran pertemanan yang baru. Hanya saja, aku memang masih ngerasa sakit hati di saat itu. Lalu aku memutuskan untuk tidak pergi untuk hal-hal seperti itu. Aku juga keluar, kok, untuk me time kalau memang aku pengen. Cuman jajan terus makan di kamar sambil nonton anime atau film yang udah aku download. Sengaja untuk memberi hadiah untuk diri-sendiri karena sudah enam hari belajar tanpa lelah.

Beri aku tepuk tangan, dong. Tekat aku kuat banget, kan?

"Gini aja... kalau aku beneran keterima di kampus ini, khusus buat kamu sama Sammy aku traktir nonton sama makan. Spiderman tayang bulan Juli setelah pengumuman, kan?" tawarku.

"Boleeeh. Tapi kita ngajak satu temen lagi boleh, nggak?"

"Temen? Siapa deh?"

"Adaaa. Dia tuh sebenernya udah lama naksir sama kamu, tapi dia takut sama malu. Kamu kelewat jutek kalau pas diem gitu."

"Idih, apaan, deh. Nggak suka, ya, kalau kamu kenal-kenalin sama orang yang nggak jelas. Aku nggak suka. Kalian berdua aja, deh. Uang aku mepet juga, kali, Than," tolakku.

Athan menggeleng. "Pilih malem ini ikut apa besok pas traktiran ketemu juga sama temen Sammy?"

Aku menghela napas sebelum memberikan dua jari ke arah Athan. "Tapi, temen Sammy nggak sex oriented kayak kalian, kan? Serem aku, tuh, kalau baru deket tapi udah sangean gitu."

The DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang