09. Sammy

1.3K 176 6
                                    

Sekarang, aku merasakan duniaku kembali seperti dahulu--ketika aku tidak mengenal Athan--setelah kejadian kemarin siang. Dia benar-benar menghindariku sekarang. Aku bersyukur, sih, meski memang terasa sedikit ada yang menyentil dada sebelah kiriku.

Aku dan Athan sudah tidak melakukan komunikasi selama lebih dari tiga hari. Dia benar-benar menjadi orang yang lupa dengan keberadaanku. Tiada obrolan lewat tatap muka langsung maupun lewat aplikasi obrolan. Ketika aku tidak sengaja berpapasan dengan dia di sekolah pun, dia langsung membuang muka.

Sebenarnya, ini juga yang aku inginkan. Setelah pertama meminta untuk dia menjauhiku, tapi Athan tidak melakukan, dia sekarang melakukan hal ini ketika aku sudah mengatakan apa yang kurasakan kepadanya. Aku menyesal.

Mungkin selama ini aku terlihat tidak terlalu bereaksi dengan adanya Athan di sekitarku. Ini disebabkan karena aku memang sengaja untuk menyembunyikan semuanya. Benar-benar membunuh perasaanku kepadanya karena aku masih dekat dengan Mas Edgar. Ternyata, semakin kami dekat, semakin aku merasakan hal yang berbeda dan lebih hangat di dalam diriku.

"Kok sekarang nggak bareng Athan lagi?" tanya Erik, salah satu teman sekelas yang sekarang sering bersamaku ketika pulang sekolah.

Kami berdua menyusuri jalan kampung yang memang banyak siswa dari sekolah kami gunakan untuk sampai di area jalan raya. Angkot hanya lewat ketika pagi karena banyak rombongan anak sekolah, setelah itu tidak. Inilah mengapa dulu seringnya Athan mengajakku pulang bersama dan kami melewati jalan tikus yang berbeda untuk cepat sampai ke rumah.

"Emang gimana?" tanyaku balik.

Erik menaikkan bahu. "Sejak dia dateng, kamu seringnya berangkat dan pulang bareng sama dia, sih. Terus sekarang udah enggak. Emang kalian berantem?"

"Mungkin karena beda kelasnya. Dia juga ada belajar kelompok sama temen-temen sekelas dia, kan? Dia butuh sosialisasi sama mereka. Kita masih main kalau ada waktu luang, kok. Mungkin dia sedang membentuk lingkaran yang baru, biar temennya nggak cuman aku doang. Dia... ekstrovert. Semakin banyak, maka semakin dia senang dengan keadaan itu. Beda sama aku yang temennya beberapa doang, kan?"

Erik bertepuk tangan pelan tiga kali sebelum menatapku dengan pandangan takjub. "Baru kali ini kamu ngomong panjang banget. Biasanya diem banget di kelas."

Aku meringis. "Kamu kayak baru kenal aja, sih. Mungkin karena aku nggak bisa ngimbangin obrolan anak-anak cowok di kelas."

"Gabung aja, kali. Lain kali kalau ada futsal, kamu juga ikut, yuk," ajak Erik.

"Aku nggak bisa olahraga, Rik. Itu yang jadi masalah, sih."

"Mungkin kamu emang alergi olahraga kali, ya? Pantesan kamu nggak tumbuh tinggi."

Aku hanya tertawa sambil mengangguk. Omongan Erik ada benarnya juga. Aku memang punya postur tubuh paling pendek sekelas. Mungkin satu angkatan yang cowok-cowok, sih, ya. Dari masuk SMA sampai sekarang, aku nggak tumbuh-tumbuh sebanyak mereka.

Kalau soal tinggi badan, Athan memang juaranya. Dia bertumbuh sangat banyak. Dia mengatakan jika selama SMA dia bertambah lebih dari sepuluh senti. Mungkin ini masa emas untuk tulangnya.

Tuh, kan... Athan lagi.

"Eh, itu bukannya Athan?" tunjuk Erik ketika kami sampai di area jalan raya.

"Iya. Kayaknya sama... Sammy?"

"Iya, itu Sammy. Mereka nggak sekelas, kan? Kok tiba-tiba Athan deket sama Sammy, ya? Nggak tahu apa kalau Sammy itu ngondek dan lebay banget orangnya."

Aku meringis. "Mungkin karena rumah mereka searah. Kalau sama rumahku kan beda jalurnya. Mereka pulang bareng terus dia nebengin Sammy, atau Sammy yang nebeng. Siapa tahu, kan?"

The DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang