01. Dear, Athan

3.3K 310 38
                                    

[1]

"Halo? Maaf, ini siapa, ya?"

Setelah bel pulang sekolah terdengar, aku mendapat panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Aku takut. Tiga kali panggilan tersebut dilakukan, tapi tidak aku terima. Aku lebih sibuk dengan memakai sweater dan membenarkan letak kacamataku.

Ketika panggilan ke empat terjadi, aku merasa jika orang ini benar-benar ingin berbicara denganku. Seperti membutuhkanku segera.

"Buka We-A kamu, dong. Cepet. Aku nggak punya pulsa banyak," sahut suara cowok yang ada di seberang sana. Setelah itu, terdengar bunyi jika obrolan kami telah disudahi.

Ingin aku mengumpat saat itu. Namun, segera aku melakukan apa yang diinginkan cowok itu daripada dia malah menjadi-jadi. Setelah menghidupkan data seluler, ada sebuah nomor baru yang membanjiriku dengan beberapa sapaan.

Ini siapa, ya?

Setelah membalas pesan dari nomor baru itu, aku fokus untuk melangkah menuju gerbang sekolah. Pengen banget buat cepet-cepet pulang terus mandi. Agustus ini geraaah banget rasanya. Matahari nyengat nggak main-main. Nggak mau diajak bercanda sedikit. Bawaannya serius.

Cogan.

Cogan yang sekarang kepanasan di depan gerbang sekolah karena nunggu keong.

Jalannya bisa lebih cepet, nggak?

Setelah membaca balasan dari yang mengaku 'cowok ganteng' itu, sontak aku melihat ke arah depan gerbang. Seperti ada lampu sorot di siang hari, aku langsung melihat ke arah kerumunan anak-anak yang ada di bawah pohon mangga seberang jalan.

Di bawah pohon itu, ada beberapa anak yang pernah sekelas denganku ketika masih kelas sepuluh sedang mengobrol dengan.... Tunggu? Itu Athan, bukan, sih?

Tunggu sebentar.... Aku kok jadi alay gini. Sok-sokan kaget liat orang baru. Namun, aku emang kaget. Beneran kaget kalau dia beneran nunggu aku. Padahal aku nganggep kalau cowok itu hanya iseng.

Sebenernya Athan udah lihat aku, tapi aku yang ragu-ragu ke sana. Gimana, ya. Kan aneh aja gitu, tiba-tiba ikut ngumpul sama anak-anak yang nggak biasa aku ikut nimbrung obrolan. Apalagi, ketika cowok satu-satunya yang memakai pakaian bebas itu manggil aku, makinlah ini nyali ciut.

"Oke. Besok cariin aku bangku, ya, Gus," ujar Athan pada cowok paling tinggi di sana. "Yuk, Oui, pulang," lanjut cowok kacamata ini. Dia memberiku sebuah helm warna biru muda.

Beberapa anak yang lain pamit duluan untuk pulang kepada kami, sementara itu aku hanya tersenyum kaku sambil membawa helm. Athan mulai menghidupkan mesin motor metik warna merahnya.

"Yuk, pulang. Aku anterin," ujar Athan mantap. Dia bahkan menepuk-tepuk jok belakang.

"Nggak, ah. Aku pulang sendiri aja," tolakku. Aku tiba-tiba merasa nggak nyaman.

Athan mematikan mesin motor dan memandangiku lekat-lekat. "Ayo, udah. Kamu pakai ini helm terus duduk di belakang. Santai aja, aku udah punya SIM. Aku anterin kamu pulang sekarang."

Aku sadar kalau ada beberapa adik kelas yang memandangi kami dengan heran. Oleh karena itu, karena menghindari insiden drama nan memalukan, lebih baik aku menuruti apa yang diingini cowok ini.

Mesin motor kembali menyala dan aku sudah duduk manis di jok belakang. Ketika melihat dari kaca spion kiri, Athan memberiku sebuah cengiran.

"Yuk, kasih tahu arah rumah kamu."

"Pakai GPS aja, gimana?" tawarku.

"Emang kamu kira aku tukang ojol?" protes Athan. "Kamu tunjukin, lah. Sekalian biar kita bisa ngobrol di jalan."

[]


[01

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[01. Athan]

Kami sampai di rumah dengan selamat. Sekarang, aku meninggalkan Athan di ruang tamu untuk berganti baju sebentar di kamar. Kalau didengar dari sini, dia baru sibuk ngemil kentang goreng dengan bumbu balado yang biasa ada di meja. Dan aku sedang bergeming melihat tumpukan kaos yang ada di dalam lemari.

Aku memakai kaos yang kedodoran dan celana pendek. Baju kebangsaan ketika aku sudah lepas dari penat di bangku sekolah yang menuntut untuk berpakaian seragam rapi.

"Mau minum apa? Sori, tadi nggak sempet nawarin minum," ujarku pada Athan yang asik dengan hape dan kentang.

Cowok itu mendongak dan menatapku sambil berpikir. "Aku suka susu rasa pisang. Tapi aku yakin kamu nggak ada sekarang di rumah. Aku minum apa aja, deh."

Aku memberikan Athan air putih suhu ruangan. Dan hal itu tidak membuatnya terkejut.

"Rumahmu adem, ya," ujar Athan. "Rumahku di deket sekolah, ngomong-ngomong dan aku iri sama udara di sini. Jam segini masih dingin."

"Aku baru tahu kalau rumahmu deket sekolah. Dan kamu tadi ngotot nganterin aku pulang. Kirain rumah kamu sekitar sini," timpalku.

Athan menggeleng. "Suntuk banget aku di rumah. Nggak ada sodara sama temen. Terus tadi ketemu kamu di depan ruang guru dan kepikiran aja kalau pengen main ke rumahmu."

"Oh, gitu."

Hening kemudian menguasai atmosfer di sekitar kami. Aku bingung harus melakukan obrolan seperti apa dengan Athan.

"Oui?" panggil Athan. "Kamu nggak penasaran aku bisa simpen nomor kamu darimana?"

Seketika aku menepuk tangan sekali. "Bener! Itu yang aku mau tanyain dari tadi pertama ketemu kamu!"

Athan tergelak. "Kamu gemesin ya, ternyata," ujar Athan yang aku rasa nggak nyambung sama responku.

"Dapet dari siapa?" ulangku.

"Dapet dari Are. Udah lama, sih. Sejak sebelum aku pindah sekolah, itu aku udah punya nomor kamu. Dan nggak nyangka, ketika pas udah ganti hape dan pakai aplikasi, nomor kamu ada. Aku pengen hubungin sejak lama, tapi aku takut kalau kamu nggak nyaman sama aku," jawab Athan.

"Nggak nyaman gimana?" tanyaku setelah sepintas ingat dengan sosok Are yang sekarang ada di kelas IPA 4.

Athan dan aku duduk berseberangan. Dan tampak sekali di mataku jika cowok itu sedang tidak nyaman dengan kondisinya. Gelisah. Kakinya bergerak terus. Sesekali, dia membenarkan letak kacamata.

"Aku itu udah merhatiin kamu sejak lama. Sejak pendaftaran awal. Dan kamu di mataku itu gemesin. Nggak tahu kenapa, ya. Tapi, tiap lihat kamu itu rasanya pengen karungin kamu terus dibawa pulang."

Aku menelan ludah diam-diam. Cukup menakutkan apa yang keluar dari bibir tebalnya Athan. "Gemesin gimana?"

"Ya gemes aja. Nggak tahu kenapa. Apa karena aku ini biseksual dan suka lihat cowok imut-imut macam kamu, ya?" ujar Athan santai. Sesantai orang baru minum es degan di kala terik.

Sementara itu, aku nggak bisa ngontrol napas. Aku mendadak lupa gimana caranya hirup Oksigen lewat hidung. Sumpah. Baru kali ini aku lihat dan denger orang dengan sangat santai bisa mengatakan orisentasi seksualnya di hadapan orang lain macam aku.

"Dan kalau boleh jujur, kamu pakai aplikasi Tinder, kan? Soalnya dari tadi aku buka itu aplikasi, foto profilnya mirip kamu walau cuma kelihatan separuh wajahnya aja. Dan jarak kita sekarang nol kilometer, lho. Coba kamu buka hape kamu, deh. Aku udah chat di sana, tapi nggak kamu buka. Kita udah match, lho."

Mendadak, aku merasa suhu tubuhku turun beberapa selsius, sampai-sampai aku merasa jika aku sedang ada di Kutub Selatan.

Ada yang punya selimut? Aku pengen nenggelemin diri di sana.

[]

The DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang