06. Canggung

1.5K 187 17
                                    

Selamat berpuasa, bagi yang menjalankan puasa. Hehehehe.

Kalian nggak masalah, kan, semisal orang macem aku ini tiba-tiba minum di depan kalian? Konteksnya nggak sengaja gitu. Karena emang nggak biasa puasa. Hehehhe

(Ditabok)

Selamat membaca ya teman-teman aku <3

[]

"Mau makan dimana?" tanya Mas Edgar ketika kami sedang berada di atas motor. Niatnya hendak meninggalkan kecamatan ini menuju ke kecamatan sebelah yang lebih banyak kafe.

"Ke nasgor tempatku biasa makan mau nggak? Di sana porsinya lebih banyak dan enak, lho. Ada koloke juga, terus ada mie ada juga... apa gitu. Pokoknya enak. Kamu nggak akan nyesel makan di sana," tawarku.

Mas Edgar tertawa. Dari napasnya, aku bisa mencium aroma pasta gigi yang menyeruak. "Kamu tumben ngomong panjang banget."

Aku bisa melihat pandangan mata kami berpandangan lewat spion sebelah kiri. Mas Edgar terlihat geli dan aku bisa melihat wajahku panik. Pemandangan yang kontras untuk sebuah suasana yang harusnya bisa kubangun lebih baik lagi.

"Aku kalau ngerasa seneng, biasanya gini. Kalau aku nggak sadar, biasanya aku lompat-lompat juga, kok," infoku.

Mas Edgar tersenyum. Kalau belum tahu dia gimana, sih, aku bilangnya dia nyengir. Kalau Athan bilang, itu senyum orang mesum. Aku kini paham maksudnya.

"Kenapa, Mas?"

"Gemes aja sama kamu."

Aku masih merasa ada desir-desir aneh di dadaku. Bahkan, aku bisa merasakan jika pipiku juga panas meski udara di luar ini baru dingin.

Mas Edgar menggosok lututku ketika kami melewati daerah yang cukup sepi. Kanan-kiri kami berupa area persawahan yang menjadi perbatasan kecamatan. Di sini, belum banyak rumah dan lampu jalan menjadi teman selama perjalanan.

"Gimana sekolah kamu? Asik?"

Aku mau tidak mau tertawa garing. "Nggak ada yang namanya asik. Makin stress sama pelajaran kalau tahun terakhir gini."

"Kamu pinter, kok. Kamu pasti bisa ngelewatin semua lancar-lancar aja," ucap Mas Edgar.

Sepanjang perjalanan kemudian aku menjadi pendengar cerita yang baik. Mas Edgar benar-benar sangat senang bercerita. Apalagi itu hal-hal yang pernah menjadi kebanggannya selama sekolah dan kuliah.

"Terus kamu kalau kuliah mau ambil jurusan apa?"

"Sastra Inggris kayaknya," jawabku.

"Anak IPA kok ambil bahasa? Aku dulu IPS, sih. Terus ambil pariwisata gini cukup nyambung, kan, ya?"

"Aku masuk IPA karena gengsi, kok. Nilaiku yang bagus emang bahasa. Terus sastra karena aku pengen jadi editor gitu."

"Suka baca?"

"Iya. Aku suka baca. Lebih ke novel terjemahan sebenernya. Bahasanya lucu soalnya."

"Kalau suka sama aku?" tanya Mas Edgar yang mengejutkanku.

Aku hanya bisa tertawa sumbang. "Aku nggak denger, Mas. Anginnya tadi kelewat kenceng."

Tangan Mas Edgar yang mengelus lutut dan pahaku berhenti, kemudian mencubit paha bagian belakangku pelan. "Bisa aja kalau ngeles, ya?"

Alih-alih merespon, aku mengarahkan kemana harus kami menyusuri jalan dan membelah udara malam yang dingin ini. Dalam hati, aku juga tengah menduga-duga kalau Athan sudah siap-siap dan berada di sana.

Pas sampai, aku melihat motor Athan. Sambil senyum-senyum sendiri, aku menuju ke tempat Budhe biasa menerima pesanan. "Budhe? Nasi goreng nggak pedes satu, yang pedes satu. Terus teh anget dua," pesanku setelah berunding di jalan dengan Mas Edgar.

"Oui!" panggil Athan ketika aku masuk ke kedai yang tadi ditutup oleh terpal. Dia tengah menunggu pesanan dengan segelas air jeruk di depan. "Sini!"

Aku yang sadar jika Mas Edgar masih ada di belakang, menoleh. "Ada temenku. Makan bareng dia, yuk?"

Mas Edgar diam bagai patung. Kutarik lengan sweaternya agar ikut dengan langkahku dan duduk berhadap-hadapan dengan Athan.

"Ini Athan, temenku sekolah. Beda jurusan tapi. Than, ini Mas Edgar," basa-basiku. "Sendirian aja?"

Athan tertawa kemudian menyalami Mas Edgar. "Kita udah pernah ketemu, kan? Gimana kabarnya?"

Mas Edgar tersenyum. "Baik-baik aja. Nggak nyangka kalau kalian itu satu sekolah. Pacar kamu mana?"

"Nggak punya, Mas. Kan kemarin aku udah pernah bilang kalau aku nggak mau pacaran," ujar Athan.

Hening menguasai kami sampai akhirnya pesanan Athan datang. "Kalian udah pesen, kan? Mau makan sendiri tapi nggak enak."

"Duluan aja, Than," timpalku.

Sementara itu, Mas Edgar kini mulai membuka HP. Mungkin dia sedang bosan, atau mungkin sedang mengobrolkan sesuatu hal yang nggak aku tahu dengan orang lain.

Aku sendiri kemudian merasa aura di sekitar sini sedang tidak enak. Kediaman yang terjadi semakin membuat udara di sekitar kami dingin. Aku hanya bisa sesekali menengok ke arah mereka yang juga tidak bercakap-cakap.

"Kalian pernah kenal dimana?" tanyaku tiba-tiba yang membuat mereka serentak menoleh padaku dan berpandangan. "Serius banget kayaknya."

Athan ketawa. "Di aplikasi, lah. Kenal pas aku awal-awal pindah kemari."

Aku ber-ooh ria sambil menggukkan kepala. Kusadari telinga Mas Edgar mulai memerah. Kulihat, dia mulai menggosok telinga hingga makanan kami datang. Tidak ada yang banyak bicara kecuali aku dan Athan yang berbicara tentang sekolah.

"Mas Edgar kok diem aja?" tanyaku.

Dia tersenyum diplomatis. "Nggak, kok. Asik juga dengerin kalian ngobrol. Jadi berasa nostalgia jaman SMA. Sekarang pasti udah beda banget ya sistem pendidikannya?"

Obrolan kami kemudian mencair. Cukup senang karena perlahan-lahan ada aura hangat dan aku melihat jika kerangkeng yang mengunci suara Mas Edgar mulai hancur. Malah, dia kini yang sering menimpali omongan Athan. Sedangkan aku kini hanya diam dan memperhatikan. Apalagi kalau makan sambil ngomong bikin aku tambah lama makannya.

Ngomong-ngomong, ketika aku memperhatikan mereka, aku kemudian merasa ada yang janggal. Aneh gitu. Aku merasa jika aku terlampau jauh untuk kedua orang di sana. Aku seperti orang asing yang tiba-tiba datang di dalam lingkaran mereka.

"Udah selesai, dek? Abis ini mau kemana?"

"Aku... ada sisa waktu sebelum jam malam, kok. Terserah, sih. Kalau Athan mau kemana?"

"Pulang, deh."

Aku melihat ke arah Mas Edgar. "Mau ngobrol sebentar, dimana gitu?" tanyaku.

[]

Kami memilih alun-alun sebagai tempat pemberhentian kami. Karena aku gugup dan mulut masih ingin mengunyah, jadi aku memutuskan untuk membeli telur gulung. Mas Edgar nggak makan ini, sih. Dia katanya cukup kenyang. Dia memilih kopi.

Kami berdua cuman duduk-duduk gitu tanpa ada yang membuka mulut untuk ngomong. Lebih tepatnya, aku yang nggak berniat untuk memulai obrolan. Aku terlalu gugup untuk bertanya.

"Nanti kamu dicariin orangtua kamu kalau kemalaman, gimana?" tanya Mas Edgar.

Aku menggeleng. "Pas kamu beli kopi, aku udah izin kalau mau pulang telat, kok. Nggak masalah."

Mas Edgar menggangguk mafhum.

"Aku boleh tanya sesuatu nggak sama Mas?" akhirnya kalimat ini keluar juga dari mulutku.

"Tanya aja. Dari tadi aku udah nunggu, kok."

Aku nyengir mirip orang bego. "Tapi kamu janji nggak marah, ya?"

Mas Edgar terkekeh. "Kamu kayak mau tanya apa aja, sih, Dek. Tanya aja apa yang pengen kamu tahu mumpung orangnya masih ada di sini."

"Mas pernah tidur bareng Athan, ya?"

Mas Edgar tersedak, dong. Itu pertanda yang bagus untukku, sih, karena omongan Athan beneran jujur.

[]

The DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang