VENUS 1

142 6 2
                                    


Sudah 15 menit ia berdiri ditempatnya. Menatap novel ditangannya. VENUS. Kata itu tertulis jelas disampul depan novel tersebut. Ia teringat masa SMAnya. Sekarang tak ada lagi yang menyebutnya seperti itu. Perlahan ia membuka selembar demi selembar dan mulai membaca rentetan kalimat didalamnya.

🌠🌠🌠

"Ahh..." Victory meneguk secangkir teh ditangannya. Pagi ini udara sangat segar. Ia meninggalkan kursinya. Berjalan kedepan pagar balkon rumah kedua orang tuanya yang masih disinggahinya sampai saat ini.

"Hhuh... untung aja hari ini gak ada job" ujarnya. Menyeruput kembali tehnya sembari membalik badan menuju kursi santainya lagi.

PUAHH! Tiba-tiba saja Victory menyemburkan teh dimulutnya. Matanya melebar menatap kertas di depan pintu kamarnya.

"Sumpah! kok gue bisa lupa sih, kan gue ngeliburin diri hari ini gara-gara pengen ketemu ama mereka" ia menepuk dahinya. Segera meletakkan cangkirnya dan berlari kekamar mandi.

🌠🌠🌠

Zahara melemparkan badannya diatas kasur setelah melempar tasnya sembarangan.

Lelah sekali sekolah seharian tadi. Tapi itu semua tidak ada apa-apanya bagi Zahara. Akhirnya keinginannya tercapai. Sekolah di Jerman.

Ia meraih ponsel diatas nakas. Hari ini adalah hari yang dijanjikan 3 tahun lalu. Ya, reuni para manusia penghuni rumah Vaness. Tapi sayangnya ia tak bisa hadir.

"Jalan satu-satunya adalah dengan ini" katanya mengeluarkan laptop "video call"

🌠🌠🌠

"Yang ini bagus nggak mbak buat saya?"

Marcella mengangkat kepalanya. Berhenti menggerak-gerakkan pensil yang ia gunakan untuk menggambar sketsa desain wed-dress terbarunya.

"Em..." gumamnya memperhatikan ibu-ibu yang menenteng long dress berwarna peach. Diketuk-ketuknya pensil itu didagunya.
"Mungkin ibu lebih cocok sama dress yang disana"

Ibu itu menoleh. Melihat long dress berwarna ungu gelap disudut ruangan.

RRRR____

Marcella menahan ponselnya yang satu senti lagi akan terjatuh dari atas meja kerjanya.
"Permisi" ujarnya meminta izin untuk mengangkat telepon.

"Halo?" dahi Marcella berkerut "hari ini ya? Dimana? Sasa's cafe? Dimana tuh? Oh... oke oke. Tunggu gue ya!"

🌠🌠🌠

"Yaaah... tutup kak"

Sasa menahan tawa melihat sepasang adik kakak mungil berdiri kecewa didepan cafenya. Ia sengaja menutup tokonya hanya untuk hari ini. Menyediakan tempat untuk berkumpul bersama teman satu rumahnya saat SMA dulu.

Sasa meletakkan kepalanya malas diatas bartable. Bosan. Jari telunjuknya ia ketuk-ketukkan disana.

"Ah..." ujarnya lega setelah melihat mobil Rush berhenti didepan cafenya "siapa ya?"

Pintu depan kiri mobil terbuka. Sebuah kaki berwedges moca keluar dari sana. Berjalan kedepan mobil. Membuat Sasa semakin mengenal sosok itu. Vaness.

Pintu bagian pengemudi juga terbuka.

"Loh?" Sasa melongo. Ia kira Vaness bakal pergi bersama supir pribadinya, tapi ternyata... "Vero?"

Berbeda dengan Vaness yang ber-dress coklat plus topi lebar dan kacamata, style Vero tidak berubah sejak 3 SMA, terakhir Sasa melihatnya.

Dengan converse abu, jeans dongker, kemeja, dan topi yang pastinya berbeda dengan topi Vaness. Oh ya, satu lagi ransel dipundak kirinya.

Sasa berlari girang menuju pintu dan segera keluar.
"Hai cantiiiik!" serunya memeluk Vaness dan bercepika-cepiki melepas rindu.
"Woy bro!" lanjutnya menepuk lengan Vero "masih tetep aja, masuk yuk!"

"Aah, Sasa... gue udah nunggu-nunggu ini loh dari dulu" ujar Vaness. Memasukkan kacamatanya kedalam tas tangannya.

Sasa menghentikan langkahnya "nunggu apa?"

"Cafe-mu ini lah, jendol!" Vero menjitak kepala Sasa.

Sasa menekuk mulut dan mengusap kepalanya.
"Oh iya, tadi gue udah telpon Cella, kayaknya bentar lagi, Oti juga. Kalo Zahara..."

"Iye iye. Dia gak bisa kesini kan? Makanya suruh gue bawa laptop. Berat-beratin nih" cerocos Vero ditengah-tengah Sasa.

Vaness membanting pantatnya diantara kursi-kursi yang tertata rapi.
"Lyra?"

Sebuah motor tiba-tiba berhenti tepat dibelakang mobil Rush yang bertengger manis.

Sasa, Vero, dan Vaness langsung mengarahkan pandangan ke balik dinding kaca toko.
"KERAMAT!"

Gadis bermotor yang disebut Lyra tadi melepas helm-nya dan berjalan memasuki Sasa's cafe.
"Hai body!" sapanya pada tiga pasang mata didepannya.

Mata Vero, Vaness, dan Sasa berbinar.
"Ciye, bisa naik motor!"

🌠🌠🌠

"Ish, pokoknya gue mau itu!" teriak Zahara dibalik layar laptop. Menyentuh-nyentuh layar laptopnya.

Vero hanya tertawa kecil melihat tingkah Zahara yang mupeng dengan novel ditangannya.

Segera Victory menyambar novel tersebut dari tangan Vero "gak boleh, Ini buat gue! Lu sih gak minta sisa in"

"Ya, mana gue tau kalo Vero nulis" Zahara memanyunkan bibirnya. Tapi tiba-tiba tersenyum jail. Memamerkan deretan giginya yang rapi "eh, betewe kenapa judulnya Venus tuh?" tanyanya. Menaik-turunkan satu alisnya "hah? hah?"

"Ya... gapapa sih. Gue kan suka Venus! Venus planet maksudnya" sewot Vero. Salah tingkah.

"Venus planet atau Venus yang itu___?!" tanya empat pasang mata didepannya bebarengan juga sepasang mata didalam laptopnya.

Vero berdiri. Menggebrak meja.
"Eh, udah ya! Gak usah sebut-sebut biang kerok gue marahan ama Cella"

"Udah, udah. Woles Ver" Sasa menarik lengan Vero hingga terduduk kembali. Mengurangi emosi yang tiba-tiba keluar dari anak labil yang tidak ada berubahnya sejak SMA.

Zahara terkekeh "sensi amat si Vero, pms kali ya"

"Yaudah, yaudah" Lyra merebut buku itu dari tangan Victory "sini-sini gue bacain. Biar kita ngerti semua isinya" lanjutnya sembari membolak-balik beberapa halaman.
"Dengerin ya..."

🌠🌠🌠

to be continued__

Maaf mungkin agak slow update. Soalnya kudu diperbaiki dulu dari draft aslinya. Secara ini tulisan sudah ada sejak tahun 2015 dimana author masih sangat amatir dalam menulis.

Kasih semangat buat author biar gak lama-lama.

Vote dan comment kalian sangat berharga~🙇🙇

with love,
Dara Ishida😘

VENUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang