Bagian 17. Arisan!

3.8K 279 92
                                    

Dari beberapa daftar hal-hal yang paling tidak kusukai, pergi pesta, kondangan dan sejenisnya merupakan sesuatu yang berada di puncak list. Tidak terkecuali arisan dengan embel-embel keluarga.

Sudah berjam-jam aku berada didepan cermin, mematut diriku sendiri yang masih saja terlihat seperti badut, walaupun sudah beberapa pakaian menarik yang menempel di badan ini. Rasanya seperti anak gadis remaja inferior yang akan mendatangi acara pensi dan sejenisnya untuk membuat laki-laki populer pujaannya terkesan, dalam kasusku laki-laki yang ingin ku buat terkesan tentu saja Marko.

"Gue gak mau pakainya" protesku.

"Shut up, diam sejenak. Jangan gerak" ujar Sherly tetap fokus dengan apapun yang sedang dia lakukan. Dengan hati-hati, perempuan itu mengepaskan lapisan plastik tipis yang ada di ujung jarinya dengan lensa mataku.

"Udah selesai. Taraaa" dia memutar badanku ke arah cermin. Aku membuka dan mengerjap-ngerjapkan mata yang sedikit terasa aneh. Meskipun penglihatanku sedikit lebih baik daripada tanpa menggunakan kacamata sama sekali.

"Aduh gue kok nggak nyaman ya" ucapku sambil memperhatikan dandanan yang seperti meneriakkan : hey dunia gue homo loh. Terlebih dengan softlens bewarna biru mencolok yang sedang melapisi mataku.

"Lo terlihat lebih keren, Felix" ucap Sherly sambil memberikan jempolnya. "Buat keluarga lo doang tapi" tambahnya dengan akhiran yang selalu tidak mengenakkan.

"Coba lu katakan, gue lama-lama berdandan seperti ini apakah Marko bakalan suka gitu? Gue rasa hal seperti ini tidak berlaku di dunia gay"

"Tentu saja, begok. Laki-laki itu mau homo atau tidak, tetep fisik yang utama. Kenikmatan buat Mr.Happy mereka akan selalu jadi prioritas. Liat lo yang lebih metroseksual, setidaknya akan membuat mereka berfikir dalaman lo juga bersih" ujar Sherly sambil menyisir rambutku. Aku hanya pasrah saja dengan apa yang akan dilakukan perempuan yang mempunyai sense yang berlebihan untuk seorang perempuan straight. Kadang-kadang aku merasa gagal menjadi homo karena dia.

"Sekarang kita akan sedikit agresif" lanjutnya dengan penuh semangat.

"Bukannya dari dulu saran lo lebih dari sekedar agresif, mematikan malahan" maksudku dengan dandanan ini saja, sudah cukup 'mematikan' untuk mentalku.

"Kali ini kita akan bermain halus" ucap Shery dengan ekspresi yang seperti mak lampir licik.

"Kayaknya gak perlu deh Sher. Gue rasa dia gak tertarik sama gue" Masih banyak dinding tak terlihat yang membatasiku dengan Marko. Seperti apakah dia homo juga? kalaupun iya, apakah dia tertarik kepadaku yang notabene homo grade-B ini, homo yang sekelas barang KW super yang hanya dibutakan oleh imajinasinya semata. Belum lagi sikapnya yang tidak menunjukkan rasa suka lebih.

"Atau kita gak usah pergi aja ya" tanyaku.

"Enak aja. Gue paling pantang kalau sudah nge-iyain undangan orang terus gak dateng" balasnya sinis "Lu jangan pesimis gitulah. Biasanya mangsa yang paling susah ditangkap itu adalah yang paling bernilai. Menurut gue kita hanya perlu memainkan ego-nya si Marko ini sedikit"

"Kedengarannya kok jahat sekali ya" balasku lagi. "awwww" si wanita menarik rambutku.

"Mana yang lebih jahat daripada PHP-in orang begok kayak elo" ujarnya. "Makanya gue dandanin lo supaya kece. Biar lo gak diremehin terus"

"Gue gak merasa diremehin"

"Tapi lo dilecehkan kan"

"Bukan sama si Marko juga"

"Iya, ini gue dandanin lo bukan buat si Marko juga" tambahnya.

"Terus?"

"Diam ajah, kenapa sih"

A Dude I Met OnlineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang