Kekosongan yang diisi dengan segala kebencian
-*-*-*-
Sesuai dengan apa yang telah di rencanakan oleh Natasha, akhirnya Natasha kembali menggunakan mantel panjangnya, kemudian memilih untuk menjinjing tas ransel hitamnya menuruni tangga yang akan membawanya sampai ke lantai bawah--wilayah toko Pierre.
Saat Natasha sudah memijak undakan terakhir, dirinya melihat Pierre yang sedang berdiri di balik etalase kaca berbentuk persegi panjang yang dalamnya terdapat deretan benda-benda perak. Pierre sedang berbicara dengan seseorang yang saat ini berdiri membelakangi Natasha.
Natasha mengernyit sambil menyampirkan tas ransel di pundak kanannya, kemudian melangkahkan kakinya lebih pelan untuk menghampiri Pierre. Sosok yang sedang berbincang dengan Pierre itu bertubuh jangkung dan kurus kering.
Natasha berhenti melangkah ketika mengingat siapa pria itu.
"Nah, itu Natasha." Pierre tersenyum lebar ketika menyadari kedatangan Natasha.
Si Crowd berbalik dengan gerakan yang sangat perlahan. Dan yang pertama kali Natasha lihat adalah kedua tatapannya yang selalu terlihat kosong. Tatapan Crowd membuat Natasha ingin sekali memukul rahangnya dan jika perlu Natasha ingin mengeluarkan kedua bola matanya, kemudian memotong kepalanya, lalu melemparkan potongan tubuhnya ke sarang serigala.
"Hei, Nath. Kau baik-baik saja?"
Natasha terbangun dari lamunannya yang penuh ambisi untuk memotong-motong tubuh Crowd, tapi Pierre sudah berulang kali memanggil-manggil namanya.
Natasha tersenyum, "Iya, Pierre."
Pierre tersenyum sambil mengangguk kecil, "Kau masih ingat dengan Crowd, 'kan?" Tanya Pierre kepada Natasha yang masih berdiri di tempat.
Natasha mengangguk, "Iya. Aku masih mengingatnya," kemudian, memberikan senyum simpul kepada Crowd yang hanya membalasnya dengan wajah datar dan tatapan kosong.
Sialan, umpat Natasha dalam hati.
Pierre berjalan--keluar dari balik etalase, kemudian berkata, "Crowd tahu dimana tempat orang yang akan mengantarmu ke Heaven City. Dan kebetulan dia setuju untuk mengantar dirimu kepada orang tersebut," Jelas Pierre.
Natasha ingin sekali memasang wajah terkejut pada saat ini. Tapi, dirinya memilih untuk tersenyum seolah itu semua biasa-biasa saja, "Oh benarkah?" Natasha beralih menatap Crowd, "Apa itu tidak masalah, Crowd?" Tanya Natasha dengan senyum ikhlas yang ia buat selebar mungkin.
Crowd menghela nafas pendek, kemudian membuang muka sampai akhirnya ia berjalan menuju ke pintu luar, "Aku menunggu di luar," Ucapnya singkat, padat, dan jelas tanpa menoleh ke belakang lagi.
Natasha mengatupkan bibirnya lantas mengusap wajahnya perlahan, "Astaga..." Gumamnya diiringi desahan panjang nan lambat.
Pierre mendekati Natasha, kemudian mengusap puncak kepalanya, "Jangan khawatir, nak. Dia memang seperti itu, tapi sebenarnya dia lah yang menawarkan diri untuk mengantarmu," Kata Pierre dengan nada lembut, kemudian Natasha menatapnya sambil tersenyum tipis.
Pierre teringat sesuatu, lalu tangan kanannya merogoh saku celana gobor yang di sebelah kanan untuk mengambil sesuatu, "Aku punya ini untukmu," Pierre mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin berwarna hitam mengkilat.
Kedua mata Natasha membelalak, "Apa ini?" Tanya Natasha.
"Kalung ini terbuat dari perak murni," Pierre menunjuk liontinnya, "Dan liontin ini terbuat dari campuran perak dan besi," Ucap Pierre dengan nada rendah dan sangat berhati-hati.
Natasha sampai mengernyit--menatap Pierre dengan tatapan yang sulit dimengerti, "Pierre, ini bukan liontin biasa, 'kan?" Bisik Natasha.
Pierre menatap ke sekeliling, kemudian berkata, "Gunakan ini, maka kau akan selamat dari pengaruh para penyihir."
Pierre menggapai tangan kanan Natasha, kemudian memaksa Natasha untuk menggenggam kalung tersebut, "Jangan jauhkan benda ini dari dirimu," Bisik Pierre, kemudian menghembuskan nafas sampai akhirnya kembali tersenyum seperti keadaan normal, "Sekarang pergilah sebelum matahari benar-benar terlihat dan memancarkan cahayanya lebih terang lagi," Pierre berucap menyemangati Natasha.
"Kau sudah hendak pergi, Natasha?" Nyonya Gipsy muncul dari arah lorong yang terhubung dengan gudang persediaan.
"Aku harus pergi. Sampai jumpa, Pierre, nyonya Gipsy. Terima kasih atas bantuan yang kalian berikan kepadaku," Ujar Natasha kepada Pierre dan Nyonya Gipsy.
Kemudian, Natasha berbalik dan menuju ke mobil sedan versi kuno berwarna hitam yang sudah terparkir di pinggir trotoar. Dari balik kaca mobil sudah terlihat rahang kurus milik si tua Crowd yang terlihat mulai bosan menunggu Natasha.
Dengan langkah berat--Natasha berusaha untuk mempercepat langkahnya dan segera memasuki mobil kuno tersebut. Entah apakah Natasha bisa mendapatkan perjalanan yang lancar tanpa hambatan ketika mendengar deru mesin mobil tersebut saat sedang dinyalakan. Deru mesinnya hampir sama seperti bunyi mesin kapal yang di paksa menyala--kurang lebih bunyinya seperti ada beberapa bagian yang lepas dan berjatuhan alias rontok. Di tambah lagi ada sedikit getaran yang membuat Natasha menghela nafas panjang dan sekilas menatap Si Crowd yang berada di kursi depan--kursi pengemudi dengan wajah datar nan dingin seperti biasanya tanpa mempedulikan apa yang terjadi pada mesin.
Ketika mesin benar-benar menyala meskipun tidak terdengar normal--Natasha memutar kedua bola matanya jenuh sambil berkonsentrasi menatap ke jalanan tanpa harus mempedulikan bahwa saat ini Crowd-lah yang mengantarnya ke sebuah tujuan penting dalam misi ini.
Si tua Crowd dengan kakinya yang terlihat kurus dengan balutan sandal jepit itu pun mulai menginjak pedal gas. Mobil pun bergerak memasuki kawasan jalan raya yang belum terlalu di padati oleh sebagian masyarakat.
Mobil berkendara dengan kecepatan sedang saat melewati jalan raya. Sesekali Natasha berpapasan dengan gedung-gedung pencakar langit yang terlihat rapat sehingga sulit rasanya cahaya matahari menembus secara maksimal. Terlebih lagi matahari juga belum sepenuhnya berada di atas.
Semakin jauh rasanya Natasha dari kota. Semakin laju pula mobil yang saat ini menjadi kendaraannya. Samar-samar cahaya matahari mulai terpancar begitu jelas.
Perlahan cahaya matahari tersebut terpancar lembut ke wajah Natasha yang saat ini sedang asik menatap gedung-gedung yang telah tergantikan dengan pemandangan laut biru yang indah jauh di depan sana. Cahaya matahari seperti meledak saat tidak ada yang menghalanginya menerangi jalan dan jembatan.
Natasha sudah berkendara cukup jauh dari kota dan sedang melewati jembatan besar yang merupakan perbatasan antara kota dengan sebuah desa kecil yang ada di seberang jembatan ini.
Natasha menghela nafas dalam. Jembatan tersebut cukup panjang dan membentang luas di atas lautan. Hampir empat tahun lamanya Natasha tidak pernah melihat pemandangan lautan seindah ini setelah tahu dirinya tidak bisa bergabung dengan orang-orang normal di sekitarnya. Di institut hanya ada hamparan pohon rimbun saja--jarang sekali bisa melihat laut secara langsung dan sedekat ini serta bisa merasakan tamparan lembut dari angin laut yang menyejukkan hati.
Sampai Natasha tak menyadari bahwa dirinya sudah dekat dengan ujung jembatan yang akan mengajak dirinya berpijak di tanah yang berbeda.
* * *
Hai...
Bye...
-P-
![](https://img.wattpad.com/cover/142333274-288-k768809.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Blood : Witch Hunter
FantasíaSebuah rahasia yang kembali terungkap. Natasha memiliki perasaan buruk setelah perginya Orlando ke sebuah kota terpencil yang diberi nama "Heaven City". Menurut rumor kota tersebut di serang oleh penyihir yang bersekutu dengan iblis. Dan pernyataan...