1

6K 355 7
                                    

Tidak ada yang lebih baik selain termenung menunggu hujan reda di dalam cafe ini. Berlari keluar menembus hujan pun rasanya percuma.

Sudah terhitung 15 menit aku hanya berdiam diri di sini, memandangi jalanan di luar sana yang mulai ramai sejak hujan turun 5 menit yang lalu. Ditemani secangkir kopi hitam dan sepotong cheesecake yang sama sekali belum kumakan.

Hidup penuh kesibukkan rupanya melelahkan.

Tak apa 'kan sesekali aku menghabiskan sisa hari dengan termenung di sini?

Ku kira jika aku sibuk di kantor, aku dapat menghindari sesuatu di rumah. Ternyata semua itu hanya membuatku lelah saja.

Aku jadi teringat menit pertama saat ku bertemu dengan dia.

Entahlah, ku rasa ini sangat memalukan.

Aku bertemu dengannya di bandara, saat itu aku hendak menjemput adikku yang pulang dari Singapura, seminggu setelah hari kelulusannya.

Aku lama menunggu, hingga mataku menangkap sosok punggungnya. Dari belakang terlihat mirip sekali, tingginya, potongan rambutnya, gayanya berjalan. Jadi kuputuskan untuk menghampirinya, dan ku tepuk bahunya dengan keras.

Saat ia menoleh betapa malunya diriku. Itu bukan adikku!

Dia, bukannya marah tapi justru tersenyum ramah.

"Maaf, aku kira kamu adikku." ujarku tak berani menatap manik matanya, karena malu.

"Nggak apa-apa." balasnya masih dengan tersenyum.

"Sekali lagi maaf!" lalu aku pergi mencari lagi.

Lusanya aku bertemu lagi untuk yang kedua kalinya. Bukan di bandara. Tapi di rumah makan Padang seberang kantorku.

Waktunya makan siang. Aku bosan dengan makanan yang ada di cafetaria kantor, dan memutuskan untuk makan di rumah makan Padang bersama Risa, temanku.

Karena ada panggilan mendadak, Risa harus cepat-cepat menghabiskan makanannya dan kembali ke kantor meninggalkan diriku sendiri. Lagi-lagi hanya berdiam diri, mau ngobrol sama siapa? Orang gak ada temen.

Dan tiba-tiba, "Sendiri aja?" sebuah suara membuatku tersedak es jeruk. Suara laki-laki asing tapi sangat familiar di inderaku.

"Tadi sama temen." jawabku ala kadarnya. Memang benar 'kan? Hanya saja dia sudah pergi duluan.

"Masih ingat?"

Ya. Aku masih ingat betul wajahnya meski baru beberapa menit bertemu, dan tidak melihatnya selama 2 hari.

"Kamu yang aku kira adikku itu?" tebakku dan dia tersenyum. His smile makes me fall in love.

"Syukur deh, masih ingat." celetuknya, aku juga hanya tersenyum. "Katanya sama temen, mana?" tanyanya kemudian.

"Dia udah balik ke kantor duluan."

"Aku temenin ya?" tawarnya.

Sejak dulu, aku merasa tidak nyaman bersama orang yang tidak aku kenal. Barang sedetik pun di dekat orang asing, aku selalu tidak nyaman.

Tapi dia berbeda. Berada di dekatnya terasa nyaman, bahkan aku telah banyak mengobrol bersamanya. Dari situ, aku mengenal dia, dan beberapa sifatnya.

"Chan, aku balik ke kantor dulu ya! Jam istirahatnya udah selesai." pamitku. Tapi sebenarnya aku tidak ingin waktu cepat berlalu, dan kembali ke pekerjaanku.

"Aku antar ya?"

"Kantorku ada di seberang sini, gak perlu kamu antar."

"Yaudah, hati-hati nyebrangnya."

Aku tersenyum sebelum saatnya aku berdiri dan meninggalkan rumah makan ini. "Anggi, boleh minta nomormu nggak?" cegahnya seraya memegang pergelangan tanganku. Dia mengikutiku keluar juga.

Secarik kertas kecil ku keluarkan dari dompet, dan ku berikan kepadanya. Kartu namaku.

Dia tersenyum lagi, "Terimakasih, kapan-kapan kita makan bareng lagi."

Aku tidak berucap apa-apa lagi.

Karena kata 'kapan-kapan' belum tentu akan terjadi besok.

Dia? Bagaimana kabarnya ya?

*

"Lo tuh ngapain kesini segala?"

Setelah hujan reda, aku menuju ke rumah Risa naik taksi. Melepas penatku di atas sofa ruang tamunya.

"Gak boleh ya gue main ke sini?" tanyaku sinis.

"Bukan gitu, tadi gue tawarin kagak mau. Eh, tiba-tiba ke sini."

"Sebenarnya gue juga bosen gak ngapa-ngapain tadi. Gue butuh temen ngobrol."

"Lha, si Chandra lo kemanain?"

Please, jangan sebut namanya. Aku pingin lupain dia.

"Masih kerja, gue gak mau ganggu dia. Mending gangguin elo!"

Bohongku, sebenarnya dia ada di rumah untuk 2 hari kedepan, dan kembali bekerja 5 hari. Aku bersyukur atas itu. Waktunya di rumah hanya 2 hari.

"Enggak lo, enggak Chandra sama aja suka gangguin gue. Masa suami lo itu hampir tiap jam nelfon gue kemarin, dan cuma tanyain lo lagi ngapain, udah makan apa belum elonya. Gitu doang! Gila sumpah! Kalian sekongkol ya?"

"Dih, enggak! Gue kemarin kan lupa bawa hp." Bohongku lagi. Padahal aku bawa kemarin, hanya saja aku matikan seharian.

Segitu peduli kah dia denganku?

"Whatever lah, gue kesel pokoknya. Titik!"

"Eh, ada Anggi!" sapa Wahyu suami Risa, dia ikutan duduk di samping Risa, "tumben ke sini, Nggi? Ada apa?" tanya Wahyu.

Wahyu ini sangat lembut sekali, gak kayak Risa. Tapi justru itu mereka saling melengkapi. Gak kayak aku sama dia.

"Pengen ngobrol sama Risa."

"Oh, bener gak ada apa-apa 'kan? Cerita aja sama kita kalau lagi ada masalah, Nggi."

Satu lagi. Wahyu itu tipe laki-laki yang peka. Mungkin dia tahu dari tampangku yang lecek seperti kertas yang sudah berkali-kali dilipat, kena air lagi.

"I'm fine, makasih tawarannya. Kalau ada masalah pasti gue cerita, kok."

"Yaudah, kalian ngobrol-ngobrol sana. Gue ke ruang kerja dulu." pamit Wahyu.

"Bener yang diomong Wahyu. Kalau lo lagi ada masalah cerita aja, mungkin lo sungkan soalnya ada Wahyu. Sekarang tinggal kita cewek-cewek, kalau mau cerita silahkan."

Gak mungkin aku cerita sama Risa. Aku tidak ingin masalah ini di ketahui banyak orang. Cukup aku, Tuhan, rumah, dan Dia saja yang tahu.

Aku tidak ingin memberatkan seseorang, meski sejatinya aku ingin sekali mengeluarkan segala kekesalanku.

Tapi, yasudahlah.

Aku harus cepat melupakan kenangan bersamanya.

***


Wahyu as Kim Woojin

Critical Relationship; Bang ChanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang