13

987 195 1
                                    

Chandra

Pagi menyapa kembali, dan gue langsung mandi gak peduli ini belum jamnya subuh. Selesai itu gue memutuskan untuk pergi ke masjid perumahan naik motor, kayak biasa gue mengisi waktu kalau kebangun jam 3 begini. Nunggu waktu subuh dengan berzikir setelah itu berdo'a.

Gue selalu ingat bagaimana Naufal lahir tanpa nyawa yang melekat pada raganya. Dan ini cara gue melampiaskan kesedihan, lewat zikir dan do'a supaya Naufal diberi kemudahan di alam kubur dan di akhirat nanti. Semoga juga gue dan Anggi diizinkan Tuhan untuk menjaga Naufal kelak di akhirat.

Setidaknya jika tidak bisa di dunia, di akhirat kelak gue bisa menjaganya.

Gue tahu, setiap orang punya cara untuk melampiaskan kesedihannya berbeda-beda. Gue begini, dan Anggi mungkin dengan tidur di kamar Naufal, atau sengaja menyibukkan diri.

Kita butuh ruang sendiri-sendiri untuk melampiaskan sedih itu, dan kita tidak memberi ruang bersama untuk melampiaskannya bersama.

Gue sedih juga mengingat itu.

Anggi tanpa ekspresi langsung pergi ke kamar Naufal, menguncinya dari dalam. Dan gue saat itu mengikutinya bisa mendengar Anggi berteriak frustasi.

Tangan dan kaki gue gemetaran, hati gue juga sakit mendengarnya. Gue ingin masuk ke dalam dan memeluknya, membiarkan dia memukuli badan gue sampai dia capek sendiri. Tapi gue gak bisa.

This is my weakness, mendengar dia menangis sampai separah ini. Dan ini karena ketololan gue!

Yang bisa gue lakukan saat itu, cuma bersandar di pintu dan perlahan badan gue merosot duduk di lantai. Kepala gue tengadah ke atas melihati langit-langit, dan membatin meminta Anggi untuk membukakan pintu.

Jalan hidup gue udah mirip drama Korea ya? Mungkin dijadiin sinetron bakal laku besar kali ya?

Hah! Forget it, Chan.

*

Selesai salat subuh berjamaah, gue tancap gas menuju ke luar kompleks. Bukan pulang, karena ada satu tempat yang harus gue kunjungi lagi.

Makam Naufal.

Kemarin pas pulang gue udah ke sana, dan harus gue kunjungi lagi karena belum sempat gue bersihin kemarin.

Biasanya Minggu pagi tempat pemakaman ini sepi, tapi pagi ini di depan pemakaman ada mobil jeep biru tua, dan gue tahu itu mobil siapa.

"Pak Yuli!" panggilku.

Ya, itu mobil Bapak.

Pak Yuli menoleh dan tersenyum ramah kayak biasa, "Mas Chandra mau ziarah ke makam Naufal juga?"

"Iya, Pak."

"Bapak juga ada di dalam, Mas."

"Begitu ya, Pak. Saya masuk dulu."

Pak Yuli tersenyum mempersilahkan gue untuk masuk. Gak biasanya Bapak ziarah jam segini, sendiri pula. Biasanya masuk berdua sama Ibu.

"Assalamualaikum Mas Chandra!" sapa Mang Sulaiman penjaga makam yang sedang memotongi rumput liar di sekitar makam.

"Wa'alaikum salam, Mang."

"Kangen sama Naufal, Mas?" Mang Sulaiman memang sudah sangat akrab dengan keluarga gue, apalagi sama Bapak. Udah kayak saudara sendiri.

"Iya, Mang. Kemarin gak sempat bersihin."

"Bapakmu juga kemari, itu masih membersihkan makam orangtuanya."

"Ya, Mang. Saya permisi kalau begitu."

Gue pamit, dan berjalan menuju tempat Naufal di makamkan. Di situ Bapak tengah mengelapi batu nisan Naufal.

Entah kenapa mata gue terasa agak panas.

"Bapak!" gue mencium tangannya.

"Chandra," Bapak menyapa dengan wajah datarnya seperti biasa, lalu berujar "kemarin Bapak mimpi Naufal sudah besar, dia tumbuh jadi anak laki-laki yang tegas, dan pemberani."

Gue berjongkok, dan mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di atas makam Naufal. Bagaimana bisa mimpi Bapak sama seperti mimpi gue semalam, maka dari itu gue kebangun jam 3 tadi.

"Saya juga." sahut gue dengan suara agak bergetar.

"Sudah lama tidak dijenguk oleh Akungnya dia pasti marah."

Gue tersenyum, apa Naufal juga marah sama gue karena belum baikan sama Mamanya?

"Udah, Pak. Biar saya saja." pinta gue karena Bapak ikut mencabuti rumput.

"Halah, gak apa-apa. Bentar lagi selesai," tolak Bapak, "nah! Selesai sudah." ujarnya kemudian setelah makam Naufal bersih kembali.

Gue menatap batu nisan yang tertancap di antara dua sisi ujung makam Naufal. Hati gue gak pernah gak hancur rasanya setiap kali membaca tulisan yang tertera pada nisan itu. Naufal Rafif Baskara bin Chandrasa Adi Baskara.

Ini juga jadi kelemahan kedua gue setelah tangisan Anggi. Maafin Ayah gak bisa sering-sering jenguk kamu, dan belum baikan sama Mama kamu, Fal. Maaf.

Kita berwudu kemudian kembali lagi, gue dan Bapak duduk di tepi makam Naufal. Gue mengikuti urutan bacaan dari Bapak. Surat
Al-Ikhlas sebelas kali, Al-Qadar tujuh kali, Al-Fatihah
tiga kali, Al-Falaq tiga kali, An-Nas tiga kali, Ayat Kursi
tiga kali, ditutup dengan Surat Yasin.

Selesai membaca, gue mengangkat kepala, dan lihat mata Bapak basah. Beliau menangis. Baru kali ini gue lihat Bapak menangis.

Bapak menutup buku Yasin-nya, kemudian berdiri dan menepuk punggung gue, "Bapak duluan."

Gue mengantar Bapak hingga ke parkiran, gue cium tangannya sebelum beliau masuk ke dalam mobil. Dan pergi.

Teringat sesuatu, gue balik lagi dan mencari keberadaan Mang Sulaiman yang ternyata berada di masjid.

"Mang Iman." panggilku.

"Iya, Mas? Perlu bantuan apa?"

"Saya cuma mau tanya, Mamang tahu istri saya?"

Mang Sulaiman diam sejenak, mencoba mengingat-ingat sebelum berujar. "Tahu, Mbak Anggi 'kan? Dulu kan pernah ke sini sama Mas Chandra ziarah ke makam Kakeknya mas Chandra."

"Mang Iman pernah tahu istri saya ziarah ke makam Naufal?"

Mang Sulaiman menggelengkam kepala, "Belum pernah sama sekali, Mas."

***

Critical Relationship; Bang ChanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang