3

1.5K 243 6
                                    

Anggi

Lagi-lagi aku terbangun dengan mata yang sangat susah ku buka, saking bengkaknya. Entah sudah yang keberapa kalinya aku seperti ini, mungkin yang ke-100 kalinya?

Aku tidak pernah menghitung.

Ku lirik jam weaker di atas meja nakas yang tengah menampakkan angka 05.45 WIB. Aku segera mandi, berpakaian, setelah itu mengambil air wudhu dan shalat subuh.

Aku hampir lupa jika ini hari Sabtu. Itu artinya aku akan terjebak dengannya. I don't have an escape plan today. Aku tidak tahu harus melarikan diri dengan cara apa kali ini.

Suara ngeongan Mini dan gonggongan Hugo di depan kamarku, terdengar seperti menyuruhku untuk segera keluar.

"Morning semua!" sapaku kepada mereka berdua. Si Hugo langsung mendusel-dusel tanganku yang mengelus kepalanya, sedangkan Mini berada di kakiku.

Mereka berdua selalu begini setiap pagi, minta dimanja. Mungkin kalian heran bagaimana alaskan malamute dengan kucing persia bisa akur, karena memang sejak si Hugo masih kecil mereka sudah bersama.

Entah untuk alasan apa aku iri pada mereka. Padahal mereka ini hewan peliharaan.

Hugo dan Mini ini hewan peliharaan miliknya, omong-omong.

"Pagi!"

Oh, jangan sapa aku. Ngapain kamu di dapur!

"Ibu nelfon semalam. Jam 8 nanti kita disuruh datang ke rumah, ada acara, si Genta mau ngelamar ceweknya." ujarnya seraya mengaduk kopi. Sudah ada dua piring berisikan pasta di meja pantry, dan juga dua cangkir kopi.

Pasti dia yang menyiapkan ini semua. Karena cuma ada dia pagi ini, Mbok Uyun juga datangnya masih nanti jam 6.

"Kamu gak ada acara 'kan?" dia bertanya setelah beberapa menit diam hanya menyesap kopi hangat. Ku jawab dengan gelengan, dia tersenyum.

Oh shit! Jangan senyum seperti itu, tolong. Jangan. Aku sakit lihat kamu senyum lebar seperti anak kecil yang akhirnya bertemu dengan ibunya, Chan.

Senyumanmu yang dulu menghangatkan, sekarang berubah menyakitkan untukku. Seakan hari ini kamu berkata "Kamu istri yang paling baik sedunia, Nggi."

Oke, aku tidak lagi percaya dengan omong kosong macam itu.

"Kok gak dihabiskan?" jujur, aku tidak selera makan. Apalagi berhadapan dengannya yang tersenyum terus seperti ini, membuatku gagal lagi membuang kenangan manis bersamanya.

"Udah kenyang, aku mau ganti baju dulu."

Sedikit mempercepat langkah aku memasuki kamar. Dan bersiap untuk menuju acara Genta melamar pacarnya. Itu artinya aku harus berakting di depan semua keluarga besar Baskara, keluarga Chan.

Ketika aku memoleskan lipstik di bibirku, aku teringat dulu saat Chan dan aku masih utuh. Setiap kali aku selesai berdandan, apalagi selesai memoles lipstik. Dia selalu menciumku hingga aku harus merapikan dandananku lagi.

"Chandraaa iiihh! Nyebelin banget!!!" amukku setiap kali dia berbuat begitu.

"Salah sendiri pakai lipstik di depan aku! Bibir kamu tambah seksi tahu gak, jadi pingin nyium bawaannya."

Lalu dia berlari memasuki kamar mandi, menghindariku yang pasti akan melemparkan bantal ke mukanya.

Menyebalkan memang, tapi inilah yang membuatku rindu akan kehadirannya di sisiku.

Setiap kali dia pulang, aku selalu menantinya di rumah. Memasakkan apa yang ia suka meski dia tidak pernah memintaku untuk memasakkan sesuatu. Intinya aku selalu memberikannya yang terbaik, sebisaku.

Sekarang sudah beda.

"Aku tunggu di bawah!" teriaknya dari balik pintu kamarku. Dan ku dengar langkah kakinya yang ragu meninggalkan kamarku yang tertutup.

Aku akan mempersiapkan diri untuk akting pagi ini.

*

Chandra

Satu langkah lebih maju untuk pagi ini. Gue membuatkan sarapan untuknya dan untuk gue juga. Dan dia memakannya!

Kalian gak tahu segimana senangnya gue pas lihat dia mau makan pasta yang gue masak, dan meminum kopi yang gue buat. Meski gak semuanya dihabiskan, tapi gue senang.

Gue merasa kalau dia masih menghargai gue sebagai suaminya. Karena sebelum-sebelumnya dia selalu pergi entah kemana, dan pulang sudah sore sekali. Meski hari liburnya.

Gue ngerasa kalau dia sengaja menghindar. Meski begitu, tiap subuh gue mau berangkat kerja. Anggi masih mau menyiapkan apa yang perlu gue bawa, segala macamnya dia siapkan. Gue kadang sampai bertanya-tanya sendiri, Anggi masih cinta gak sama gue?

"Aku tunggu di bawah!" teriak gue di depan kamarnya. Kenapa gue harus teriak? Karena ada si Mini ngeang-ngeong mulu di dekat kaki gue. Takutnya dia gak denger.

Sandiwara pagi pun akan kita mulai. Ibu sama Bapak, dan kedua adikku tidak boleh sampai tahu masalah ini. Jadi tiap kali gue diminta untuk pulang ke rumah orangtua dan Anggi diminta juga untuk ikut, kita memainkan peran masing-masing. Biar kelihatan kalau kita fine-fine aja.

Gak ada sekongkol dari kita, semua itu terjadi dengan sendirinya. Gue yang berpura-pura tetap ada di samping Anggi, tersenyum renyah, menggandeng tangannya, menjahilinya seperti dulu. Dan nanti Anggi juga seperti Anggi yang dulu.

Ggrrr… kata 'dulu' seharusnya tidak pantas dibicarakan untuk masa kini yang gue hadapi. Juga masa-masa yang akan datang nanti. Tapi kenapa gue masih saja enggan untuk bangun dari atas kasur yang namanya masa lalu, di mana gue tertidur nyaman di atasnya. Tertidur pulas, memimpikan masa-masa indah dulu.

Shit! Gue sebut mulu.

***

Critical Relationship; Bang ChanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang