17

1K 183 4
                                    

Anggi

"Tell me honestly, Babe!"

"Aku gak mau kita berantem di sini!"

Aku hampir saja menangis lagi. Lihat! Begitu cengengnya aku sekarang!

Chan diam kembali dan meminum es cedolnya, mencoba meredakan emosi.

*

Juna : sent you a picture (3)
Juna : yang tadi difotoin.

Kulihat pesan masuk dari salah satu aplikasi chatting di handphone milik Chan.

Kenapa bisa hpnya aku bawa? Karena dia yang menitipkan kepadaku soalnya dia lagi nyetir. Sudah jadi kebiasaannya, mau tidak mau aku harus menurutinya.

Juna : yg foto keluarga besok gw kirim.

Kuabaikan saja chat yang masuk itu, dan beralih melihat foto yang baru saja terunduh. Foto kita tadi.

Ada sesuatu dalam hatiku kala melihat foto ini, Chan yang tiba-tiba mencari kesempatan dalam kesempitan tadi. Ia mengecup puncak kepalaku, dan aku menggandeng tangannya.

Sama persis dengan foto pernikahan kita yang terpajang besar di ruang keluarga.

Senyum kita lebih tulus di foto ini daripada di foto yang lainnya. Entahlah, aku suka foto ini. Kesannya kita lebih hidup(?).

"Anggi." Panggil Chan, buru-buru ku keluarkan dari aplikasi galeri dan mengunci layar handphone Chan kembali.

"Aku minta maaf, aku gak bermaksud nyakitin kamu selama ini. Kamu boleh maki aku sepuasnya, pukuli aku sampai aku babak belur, aku tahu itu pantas aku dapatkan dari kamu! Tapi jangan diem-dieman kayak gini, ini gak akan bisa selesaikan masalah."

Come on, aku gak mau berdebat di tengah kemacetan ini! Aku gak mau bahas kesalahannya di sini.

"I admit, this is my fault! Ini kesalahan ku, andai semua kata yang menyakiti hati kamu bisa aku cabut, aku bakal cabut itu semua. Tiap hari di Jakarta aku berusaha memperbaiki kesalahanku sama kamu, mulai dari memenuhi semua kemauan kamu. Kamu minta kita pisah kamar, aku turutin, kamu minta waktu untuk sendiri, aku turutin..."

Mataku mulai memanas, aku tidak tahan lagi, "Kamu bukan Chan yang aku kenal lagi. Kamu berubah."

"Maksud kamu apa?"

"Dulu kamu sampai gak istirahat seharian ngedekor kamar Naufal! Sekarang apa?! Kamu bahkan enggak pernah masuk ke sana!"

"Kenapa jadi bahas ini?"

"Karena ini penting, Chan! Itu kamar Naufal, anak kita! Kamu yang ngedekor itu semua, tapi kamu gak pernah peduli..."

"Naufal udah meninggal, Nggi! Buat apa aku masuk ke situ? Mau beribu-ribu kali aku masuk dan diam aja sampai seharian penuh, tetap saja. Naufal gak akan kembali 'kan? Oke kamu bilang aku gak peduli? Aku selalu ke makam Naufal tiap dua minggu sekali setelah aku pulang kerja, aku selalu ngebersihin makam Naufal, mendo'akannya. Kamu gak pernah sama sekali mengunjungi makam Naufal, Naufal juga ingin Mamanya mengunjungi makamnya!"

Emosiku memuncak.

"Aku di sini, Nggi," tiba-tiba suaranya melembut, "Mungkin berat bagi kamu menziarahi makam Naufal, ada aku di sini menemani kamu. Kita bisa sama-sama ke sana, Naufal udah meninggal dan kita bisa..."

"Kamu gak perlu bilang berkali-kali anak kita sudah meninggal, Chan!" teriakku, aku tidak bisa menahan ini. "Aku tahu, anak kita sudah meninggal tanpa kamu harus bilang berulang kali! Aku tahu!!! Terus habis ini kamu bakal bilang lagi penyebab semuanya itu aku?!!"

"Bukan itu maksud aku, Nggi! Aku pingin minta maaf ke kamu, dan menyelesaiakan semua. Tapi kenapa jadi begini? Aku sayang dan cinta sama kamu, lebih dari apa yang kamu tahu. Jangan kamu minta kita mulai semua dari nol lagi, kita bisa perbaiki semua ini bersama."

Entah mengapa macet hari ini lama sekali.

"Aku juga cinta sama kamu, bahkan setelah kamu menuduh aku hari itu. Aku masih cinta kamu..."

"Kita sama-sama saling cinta, kenapa gak kita perbaiki kesalahan kita?"

"Aku belum bisa percaya sama kamu lagi."

Chan mendesah frustasi, "Gak percaya apa lagi, Nggi? Aku gak akan pernah selingkuh? Walaupun tiap hari aku ketemunya pramugari terus tapi hati aku tetap menginginkan kamu."

"Aku belum bisa percaya kamu gak akan nyakitin hati aku kayak gini lagi." ujarku tegas.

Chan bungkam, dan kembali fokus ke jalan raya. Ku lirik dia, matanya memerah.

*

Chandra

Rasanya gue pingin mati aja! Lagi-lagi gue bertindak tolol lagi, mana di dalam mobil.

Hati gue perih lihat dia diam-diam menangis seraya melihat ke arah luar kaca. Lagi, gue mendengar ucapan yang bikin gue sedih.

"Aku belum bisa percaya kamu gak akan nyakitin hati aku kayak gini lagi."

Gue gak bisa apa-apa.

*

Sampai di rumah, Anggi masih bersikap dingin, lagi. Rasanya kata 'lagi' gak seindah dulu kala.

Dia masih sesenggukkan, dan masuk ke dalam kamarnya. Kedengaran nih suara bantingan pintunya.

"Bu Anggi kenapa, Pak?" tanya Mbok Uyun yang mungkin kaget mendengar suara tadi.

"Gak papa, Mbok. Kebelet pipis paling." sejak kapan gue pinter ngeles begini kayak bajaj?

Mbok Uyun manggut-manggut, dan lanjutin pekerjaannya.

Gue gak jadi masuk ke dalam kamar gue dan segera berlari menuju kamar kita.

Perlahan menempelkan telinga di pintu biar kedengaran ngapain aja Anggi di dalam. Saat gue dorong dikit pintunya ternyata gak dikunci, entah kenapa gue jadi cemas begini.

Anggi gak ada di dalam.

Cemas ini makin menjadi saat terdengar suara air dari dalam kamar mandi, kayak air yang tumpah dari bak.

"Anggi! Anggi kamu di dalam?!!" tidak ada sahutan. Gue mohon jangan terjadi apa-apa.

"ANGGI!" gue teriak kencang seraya menggedor-gedor pintu kamar mandi ini, beberapa saat kemudian Mbok Uyun datang dengan tergopoh-gopoh.

"Kenapa Pak?" Mbok Uyun panik gue makin panik, gue yakin Anggi di dalam kamar mandi gak lagi baik-baik aja.

"Telfon ambulan, Mbok. Cepetan!" suruh ku. Mbok Uyun lari keluar kamar buat nelfon ambulan.

Gue mencoba mendobrak pintu. Satu... dua... tiga... empat... lima... enam... gak kebuka juga.

"Bangsatt!!!"

Brak!!!

Harus pakai misuh dulu baru kebuka ya?!

Dan benar aja apa yang udah ada dipikiran gue. Anggi gak lagi baik-baik aja di dalam.

Tubuhnya ia rendamkan di dalam bathup, sudah memucat dan mengigil karena air dingin yang terus mengalir sampai tumpah.

"Kenapa harus gini sih, Nggi?! Kenapa!" omel gue seraya mengangkat tubuh Anggi. Gue gak peduli basah yang pasti dia harus selamat.

"Mbok tolong ambilin handuk buat Anggi!"

Gue membaringkan tubuh Anggi di kasur yang udah di lapisi handuk, dan Mbok Uyun menghanduki tubuh Anggi. Setidaknya biar tidak basah.

"Mbok udah telfon ambulan?"

"Sudah, sebenar lagi sampai."

Gue makin panik karena tubuh Anggi bergetar karena mengigil kedinginan meski sekarang sudah di selimuti. Mana pucat banget.

"Pak, ambulannya sudah datang."

***

Critical Relationship; Bang ChanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang