18

1.1K 188 7
                                    

Chandra

Anggi selesai diperiksa, dan kini sudah berada di kamar rawat inap. Kata dokter stres ringan yang membuat Anggi bertindak seperti tadi, dia berusaha menyakiti dirinya supaya rasa sakit karena tertekan itu bisa hilang. Tanpa ia sadari berbahaya untuk nyawanya.

Untuk pertama kali seumur hidup. Jangan terulang untuk yang kedua kalinya, gue gak mau.

"Chandra!" panggil Mama, ibu mertua gue baru aja datang setelah Mbok Uyun memberi tahu kabar buruk ini.

Disusul dengan Papa dan Joni memasuki ruang inap ini. Papa yang gue lihat selalu bermuka garang menjadi lembut melihat anak perempuannya terbaring di atas ranjang, dan semua ini karena gue.

"Ma, Pa." ujar gue sambil menyalimi satu persatu. "Maafkan Chandra gak becus jagain Anggi."

"Anggi pasti tertekan sekali setelah kepergian Naufal." Papa berkata sangat lembut, "Papa maklum kalau kamu memang gak becus karena waktu kamu di rumah sama Anggi juga minim." kata 'gak becus' diucapkan penuh penekanan dari Papa.

"Pa, ingat ini di rumah sakit!" Mama menahan lengan Papa. Gue udah siap dapat cacian dari mertua gue, karena gue pantas dapatkan itu.

"Silahkan Papa marahi atau tampar saya, karena saya pantas dapatkan balasan itu dari Papa. Ini sudah konsekuensi saya." gue berlutut di hadapan Papa, "tedang saya juga tidak masalah." ucap gue lantang.

"Mas, Mas udah Mas berdiri!" Joni memapah gue untuk segera berdiri, dan gue menepisnya.

"Berdiri!" suruh Papa tegas. Gue masih cengo, "Berdiri!!!" ulang Papa, gue langsung berdiri.

Di luar ekspektasi, Papa justru nepuk-nepuk bahu gue. Mengisyaratkan supaya gue tegar hadapi semuanya.

"Selagi ada waktu, perbaiki semuanya, segera!"

*

Anggi

Kepalaku terasa berat sekali, pusing tidak karuan. Cahaya putih langsung menyoroti mataku, di mana ini?

Rumah sakit? Memang aku kenapa?

Kusapu pandanganku ke seluruh ruang ini. Ada Joni yang tertidur di atas sofa, dan dia yang tertidur dengan posisi duduk kepalanya ia telungkupkan di pinggir ranjangku.

Tangan kananku di pegang erat olehnya.

Kepalaku menjadi sangat pusing saat ku coba untuk mengubah posisiku menjadi duduk, membuatku mengaduh pelan. Dan dia terbangun.

"Jangan banyak gerak dulu!" perintahnya dan membantuku merubah posisi. Ia menyodorkan segelas air putih, ku minum sedikit.

"Kepalanya masih sakit? Aku panggil dokter buat periksa kamu ya?"

Aku menggeleng, paling efek tidur terlalu lama membuat kepalaku pusing begini. "Besok pagi aja." pintaku, dia hanya manggut-manggut saja.

"Masih dingin?" tanyanya tiba-tiba membuatku mengenyitkan dahi. Memang, aku merasa kedinginan tadi sekarang sudah tidak terlalu dingin.

"Udah gak terlalu dingin."

Wajahnya begitu cemas kulihat, ada rasa menyesal dari matanya. Sejurus kemudian, dia mendekatkan diri ke arahku dan duduk di tepi ranjang, lalu membekapku. Membawaku dalam peluk hangatnya yang sudah lama ku rindu.

Benci tapi cinta. Ya beginilah, you name it!

"Jangan gini lagi." dia menangis? "Kumohon jangan ada yang kedua kalinya untuk kejadian ini. Jangan kamu ulangi lagi."

Oh, ya! Aku baru ingat. Aku membenamkan diri di air dingin tadi, berharap rasa sakit itu hilang nyatanya tidak. Dan kesadaranku pun mulai hilang, dan semua hitam. Yang ku dengar suara dobrakkan pintu, dan suara Chan memanggil Mbok Uyun, tadi.

"Chan?" panggilku selembut mungkin. Dia menangis seraya membekapku. Aku tidak kuat untuk tidak mengelus punggungnya, keinginan hatiku mengalahkan keinginan otakku.

"Hhmm?" dia hanya berdeham, ku tahu dia masih menangis.

"Hey stop crying." pintaku, dia diam saja. Masih menangis, mirip bayi raksasa. Aku maklum kalau dia kurang kasih sayang 5 bulan terakhir ini.

Pelan, ku elus belakang kepalanya pelan. Aku selalu suka mengelus rambutnya, lemir dan tebal.

"Maaf, Nggi." bisiknya tepat di telingaku, merinding rasanya. "Kalau memang kata maaf tidak berlaku buat kamu, aku tunjukkan dengan perilaku!"

Ganti aku yang diam. Aku masih dendam dengan kata maaf dari sebuah kesalahan besar.

"Intinya aku bukan menuduh kamu. Karena itu juga karena aku yang kurang ada waktu. Maaf."

Berat hati untuk memaafkan kesalahannya. Tapi bukankah hidup terus berjalan? Hidupku tidak akan lancar jika aku memilih duduk diam meratapi masa lalu.

Haruskah ku maafkan?

*

Chandra

Gue bangun karena ada seseorang yang mengoyang-goyangkan lengan gue dengan tidak sabaran.

"Gue kira lo mati! Pindah di sofa sana!" ternyata Diva. Sialan!

Semalam Anggi bangun, gue tanya apa dia masih merasa dingin setelah itu kupeluk dengan erat tubuhnya. Menghantarkan hangatnya tubuh gue ke tubuhnya yang masih dingin padahal sudah di selimuti.

Gue gak bisa nahan air mata, apa yang ingin gue ungkapkan semua gue ucapakan setelah beberapa menit gue nangis kayak anak kecil. Setelah itu, masih dengan posisi yang sama kita berbaring di atas kasur dan tidur kembali.

Masa bodo sama Joni yang nanti kebangun lihat kita. Bodo amat.

"Masih pagi ngatain orang!" gue ngedumel sambil pindah duduk di samping Joni yang tidur sambil mangku Ardan yang juga tidur.

"Bang, enggak pulang dulu? Ambil barang yang diperluin, atau Abang mandi sana? Biar ganti aku yang jagain"

Gue gak tega, tapi Diva ini adik gue pasti gak ngapa-ngapain.

"Gue minta tolong jagain."

***

Critical Relationship; Bang ChanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang