14

988 191 1
                                    

Anggi

"Istirahat dulu, Chan. Nanti lanjut kerjainnya!" suruhku pada Chan yang masih sibuk mengecat dinding kamar ini.

"Nanggung," ujarnya cuek.

Memang kamar ini sudah sepenuhnya tercat dengan warna biru laut beradu dengan putih, ada sedikit sentuhan biru tua. Dirancang oleh Chan sendiri.

Rencananya nanti mau ditempeli sticker bintang-bintang yang bisa menyala kalau gelap, dan gambar roket beserta tata surya. Langit-langitnya di cat putih sedikit diberi sentuhan biru muda.

Setelah ia tahu anak kita laki-laki, ia langsung mendekor kamar kosong yang memang sudah di rencanakan untuk kamar anak kita jika lahir nantinya. Setiap ia pulang kerja, waktu seharian itu ia gunakan untuk mengecat dinding kamar ini. Setiap dia ada kesempatan pulang, ia selalu menyelesaikan apa yang ia rencanakan.

Aku hanya mengingatkannya berulang kali untuk istirahat. Jawabannya selalu sama, yaitu 'nanggung'. Kalau udah capek banget, dia baru berhenti.

"Aku udah beli sup iga tadi di depan komplek, udah aku angetin tinggal kamu ambil nasi terus makan ya!"

"Kamu sendiri udah makan?"

"Udah, aku tunggu loh sampai kamu makan itu sup iganya!"

Dijawab hanya dehaman saja. Setelahnya ia istirahat, membersihkan diri dan menuju dapur untuk makan.

Chan berhasil mengecat semua dinding kamar dalam waktu 8 hari, separuhnya dikerjakan oleh temannya dan gambarnya aku yang buat. Hanya dua minggu kamar ini selesai didekorasi, semua sudah tertata rapi.

Dan di sinilah aku berdiri, di tengah-tengah kamar Naufal. Melihati sekelilingnya, membereskan pakaiannya yang berada di dalam laci, dan menatap kembali semua isi kamar yang dengan semangat Chan dekor ini.

Pada akhirnya ia tidak pernah memasuki kamar ini. Sama sekali. Aku tahu itu.

"Mbok, Chan kemana?" tanyaku tadi pagi selesai mandi hendak memberi makan Mini.

"Gak tahu, tadi pagi saya datang baru ada Ibu saja yang saya lihat. Tapi motornya enggak ada di garasi."

"Makasih, Mbok. Chan tahu kalau saya sering tidur di kamarnya Adek?"

"Saya enggak tahu, Bu. Yang saya tahu Bapak enggak pernah masuk ke kamarnya Adek."

Lupakan fakta bahwa dia ngotot mendekor kamar ini sendiri, dengan keringat dan tenaganya sendiri.

*

"Hallo, Felix?" ucapku dengan suara agak bergetar.

"Why, Nggi?" jawabnya dari seberang telfon.

"Lagi bareng sama Chan?"

"Kagak, kenapa emang? Ngilang ya tuh bocah? Emang dasar gak bisa silent bentar dia."

"Iya, motornya mau gue pakai eh ngilang aja gitu di garasi. Gak tahunya dipakai."

"Hhmm… maybe dia ziarah ke makam Naufal, Nggi. Biasanya gitu berapa minggu sekali, atau pas dia mimpiin Naufal, dan pasti pakai motor. Gue tahu itu karena Chan sendiri yang curhat ke gue."

Bahkan dia tidak menceritakan itu padaku.

*

Chandra

Kembali di rumah, gue cuma diam pas melewati dia gitu aja di depan tv. Hugo terus menggonggong pun gue gak peduli.

Hati gue kadung tersulut emosi.

Emang mending gak tahu apa-apa daripada tahu kenyataannya bakal kebangetan kayak gini.

Oh, Chan! Come on, sadar. Lo harus sabar, semua masalah gak seharusnya lo tambahin pakai emosi, Chan. Sadar dan sabar.

Lama-lama nih dada bisa gak berbentuk lagi gue elus mulu.

*

Anggi

Chan datang tanpa salam atau apa dia langsung ke dalam kamarnya. Heran. Dia kenapa?

Kenapa juga aku masih peduli?

"Mbok, saya pergi dulu. Jagain rumah, masak apa aja terserah yang penting Bapak suka." pamitku kepada Mbok Uyun seraya mengambil kunci mobilku.

"Sip, kalau boleh saya tahu Ibu mau kemana?"

"Saya ada janji sama teman. Saya tinggal, Mbok."

Mbok Uyun tersenyum, tidak pernah ia bertanya dengan siapa aku pergi. Hanya mau pergi kemana aku, dan itu pasti yang menyuruh Chan.

Sebenarnya aku tidak ada janji apapun dengan temanku, dan tidak memiliki tempat tujuan. Dan berujung mengelilingi kota saja, melihat dan terlibat secara langsung dalam kemacetan. Membuang jauh-jauh masa yang pernah ada saat seperti ini.

"Macet banget lagi," keluhnya sambil kebingungan mencari celah untuk menyalip, dan menyerah karena di depan isinya mobil semua.

Dia masih dengan stelan jas putihnya, aku dengan gaun putih khas pasangan pengantin. Ya, memang kita baru saja selesai melaksanakan acara resepsi di sebuah gedung, dan langsung pulang kerumah kita.

"Sabar, dong. Mentang-mentang di udara gak ada macet, kamu jadi gak sabaran gini nyetir mobil?"

"Aku gak sabar untuk malam pertama kita, itu doang!"

Aku tersipu mendengar jawabannya. Tidak sanggup membayangkannya nanti saat tiba di rumah baru. Arrgghh!

Dengan lembut ku gapai tangannya, lalu ku genggam erat dan ku cium telapak tangannya. Biar dia sedikit sabar.

"Bentar banget?" godanya. Emang dasar.

Ku cium lagi agak lama kali ini. "Situ aja? Mumpung macet nih?" kok nantang ya!

"Gak, nanti kamu keterusan!"

"Dih, emang kamu mau cium aku di mananya sampai keterusan? Di pipikan enggak sampai gitu."

Satu kecupan mendarat di pipinya tanpa aku beri tahu dia. Chan terdiam sejenak, terkejut mungkin?

Lalu beberapa menit kemudian ia menarik wajahku untuk mendekatinya, bibirku pun diciumnya. Ciuman pertama penuh kelembutan, penuh cinta, dan begitu menggairahkan.

First kiss di dalam mobil. Hanya ciuman saja, sudah bagaikan candu bagiku.

Seperti namanya yang selalu jadi candu setelah hari-hari kita sah jadi pasangan suami istri, selalu ku rindukan.

***

Critical Relationship; Bang ChanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang