Aku masih disini...
Menunggu, tanpa kutahu apa yang mesti kutunggu. Tak apa, setidaknya kita masih menatap langit yang sama.
Namun kurasa, ada yang hilang. Hari demi hari ku lewati, berangkat ke sekolah, pergi ke kantin, membaca pesan, berjalan-jalan di sore hari, membaca buku, bernyanyi sambil mendengar lagu favorite-ku, dan banyak hal lagi. Rasanya ada yang kurang. Entah, aku tak mengerti apa yang hilang? Hal ini membuatku bosan, ada kala baiknya, tanpa kamu hidupku semakin tenang, tentram, dan tak ada lagi pertikaian yang membuat rumit dikepala. Semakin hari, luka yang kamu gores semakin pulih. Kurasa aku sudah terbiasa, tidak ada yang hilang. Mungkin, ini opsi terakhir, bahwa yang terjadi biarlah terjadi. Mau tidak mau, suka tidak suka apabila memang pahit nyatanya mengapa aku harus berbelit-belit untuk yang seharusnya hancur agar tetap utuh?"Senja?"seseorang memanggilku, menyadarkanku dari lamunan.
"Iya, Bin—" ucapanku terhenti. Aku menutup bibirku. Sial! Aku sedang tidak fokus belakangan ini.
"Apa? Tadi kamu panggil aku apa?"
Aku terdiam gugup, tak berani menatap manik matanya.
"Emm—"
"Senja, tadi kamu di suruh ke ruang guru sama Bu Andini" Salah satu teman sekelasku tiba-tiba saja menghampiri.
Aku mulai menatap Dion. "Di-Dion, aku ke ruang guru dulu ya."
Tanpa basa basi aku bergegas ke ruang guru.Tentang Bu Andini
Andini Sukma Putriani namanya. Guru muda mata pelajaran Biologi sekaligus wali kelasku. Beliau sangat ramah, cantik, matanya belo, kulitnya putih.Jadi wajar saja murid-murid banyak yang menyukainya. Apalagi murid laki-laki banyak yang menggodanya.
"Ada apa ya, Bu?"tanyaku dihadapan Bu Andin.
"Tolong beritahu ini tugas untuk kelas kamu, saya terlambat ngajar sekitar 30 menit. Nanti saya ke kelas tugas ini harus sudah selesai." Ucapnya sembari menyodorkan secarik kertas berisikan 20 soal yang sama sekali tidak ku mengerti.
"Ini materi baru?"tanyaku sambil mengambil secarik kertas itu.
"Iyaa nak, nanti biar ibu jelaskan. Sekarang coba kerjakan dulu."
Aku mengangguk "Siap,"ucapku.
Aku melangkah menuju kelasku. Lalu memberitahu tugas kepada teman-teman. Bosan rasanya, bergelut dengan tugas yang masih asing bahkan sangat asing.
Untungnya Bu Andin guru yang bertanggung jawab. Meskipun sering terlambat mengajar, beliau tidak lupa menjalankan tugasnya untuk menjelaskan kepada kami materi pelajaran Biologi.
Aku mengerjakan soal itu dengan santai. Kurasa waktuku banyak terbuang hanya dengan memainkan pupen. Memutar-mutarnya, atau sekedar memberi coretan dihalaman terakhir.
Sampai akhirnya Bu Andin kembali datang ke kelas,menenteng buku tebal berisikan banyak teori yang bisa membuat mumet dikepala.
Beliau membahas tugas yang ia berikan. Lalu ia menyuruh murid-muridnya untuk bergiliran menjawab soal.
Saat itu, aku sadar. Ternyata aku belum menyelesaikan seluruh soalku. Aku panik, bertanya-tanya pada teman di samping kanan dan kiriku. Namun belum sempat mereka menjawab, Bu Andin sudah memanggil namaku untuk menjawab soal nomor 18.
Deg!
"Sial!"umpatku dalam hati.
Jantungku berdebar kencang."Senja, bacakan soalnya." Perintahnya.
Suasana kian mencekam seperti menonton film horror rasanya.
Perlahan kata demi kata kuucap. "Sebutkan Virus apa sajakah yang bisa terdapat didalam hati manusia?"
Aku terdiam gugup. Pasalnya bagian nomor ini yang belum kujawab. Lima detik kemudian.
"Virus yang bisa menjalar menuju hati, membutakan akal dan pikiran, membuat siapapun dimabuk kepayang lupa pada dunianya. Lebih parahnya lagi, virus ini dapat membuat hati hancur berkeping-keping." Ucapku, berharap seluruh isi kelas tidak menganggap jawabanku ini serius.
"Virus apa?" tanya teman sebangku.
Celetuk aku menjawab, "Cinta..."
Serentak seisi kelas menertawakan ditambah kesal ingin memaki.
"Eh si gob—"Ucapan Alvian terhenti karena Bu Andin menatapnya dengan sinis.
Aku hanya mampu tertawa kecil
"Haduh Bu, maaf saya belum jawab no.18""Sudah, jangan ribut!"pekiknya sambil menggeleng kepala.
"Ada-ada saja,"lanjutnya lagi.
Aku paham Bu Andin bukan sosok pemarah. Beliau akan memakluminya selama murid itu sudah berusaha mengerjakan tugasnya.
"Sudah, kita lanjutkan membahas soalnya."
***
"Mengapa merelakan adalah bagian dari bukti hadirnya Cinta?"Aku menyisir setiap sudut rumah Bintang. Nampak begitu sepi tidak seperti biasanya. Perasaanku berubah tidak enak, ini tidak seperti biasanya. Perlahan aku pun melangkah menuju ke arah pintu ber-cat putih itu. Aku mengetuknya dengan cukup keras, namun tidak ada satu pun orang yang menyahutnya.
Arah pandangku beralih menuju ke atas pintu itu. Terpampang sebuah tulisan yang menyatakan rumah ini dijual membuat napasku tercekat. "Ga mungkin!"lirihku.
Ya Tuhan!Mengapa dia pergi? Pikiranku sangat kacau. Orang yang selama ini menemani hari-hariku kini beranjak pergi tanpa pamit dari hidupku. Sungguh, aku sangat bingung, aku tidak mengerti mengapa Bintang mendadak pindah rumah dan menjual rumahnya.
Aku mendengus kesal, mengecek ponselku dan segera menelepon Bintang. Satu panggilan tak terjawab olehnya, lalu aku mencoba untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, dan seterusnya sampai tak mampu lagi ku hitung oleh jari.
Hal ini membuatku kesal, air mataku hampir saja turun. Namun, aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak membuang-buang air mataku. Lantas, aku segera bergegas pergi meninggalkan rumah Bintang.
Aku semakin yakin jika Bintang benar-benar pergi, yang dinamakan Cinta dari seorang manusia, mustahil ada pada bagian kehidupanku. Semua orang hanya mampu mengecewakanku. Berkhianat atau bahkan pergi tanpa alasan yang jelas.
Ya, pergi tanpa pamit lebih jelasnya.
Bodohnya aku percaya, bahwa Bintang adalah satu-satunya orang yang bisa aku percaya dan menyayangiku seperti saudara kandungnya sendiri. Tapi kini, nyatanya ia meninggalkanku.Sungguh, kini aku menyadari bahwa kita tidak pantas berharap pada sesama manusia, karena apabila menyimpan harapan, kita akan mudah merasa kecewa. Seharusnya, aku tidak buta karenanya.
Tiada lagi harapan selain harapanku kepada Sang Pencipta Allah Swt.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Cerita Rindu untuk Senjani[Terbit||GuePedia2019]
RomanceBeberapa kali highest rank in #puitis [Terbit oleh Guepedia] [Sebagian cerita ini belum di revisi, harap maklum apabila ada kesalahan ketik] Maaf. Hanya kata itu yang selalu terucap dari bibirku. Hanya kabar dari senja yang kuberikan untukmu. Caha...