9. I Can't ask Why

125 55 16
                                    

KETULUSAN DALAM RASA

Tak perlu aku bingung merangkai kata
Seribu bahasa ku ucap sebagai penjelasan
Tak perlu bersusah payah agar dia merasa
Jika tidak sama, maka aku lepaskan

Ini tentang apa yang dia rasa
Bukan sekedar penjelasan
Bukan pula usaha-usaha tak bermakna
Yang tak dibangun oleh ketulusan
🌠🌠🌠🌠🌠🌠🌠🌠🌠🌠🌠🌠🌠

Manik mata hitam pekat dengan sorot menusuk tajam, serta menenggelamkan jika menyelam. Degup jantungku berada dikecepatan rata-rata membuatku tak mampu ucap sepatah kata.

Aku menunduk, tatapanku sayu setelah beradu dengan manik mata hitam pekat pemilik seseorang gagah yaitu Ayahku.

"Emm... Biar aku jelaskan."

Kalimat itu lolos dari bibirku. Kulihat seisi rumah menjadi saksi bisu antara aku dan Ayah. Meski Bi Resti adalah orang yang baik, namun ia tak bisa menyelamatkanku dari kejamnya Ayah.

"Kamu itu bandel!"ia menyetak diriku, telunjuknya tepat dihadapan wajaku.

Ibuku melirik kearahku dari sofa, tadinya ia sedang merebah kini beranjak mendekatiku.

"Kamu ga benar ngurus anak! Masa ngelarang dia ketemu si sialan itu aja ga bisa?!"Ayah seketika memarahi Ibu ketika ia masih dengan kondisi lemasnya.

Aku meringis, terdiam. Tak tahu lagi akan berucap apa. Merasa serba salah jika aku jelaskan, mereka terlalu keras satu sama lain, membuat suasana rumah seperti kapal pecah yang hendak akan meledak-ledak.

"Kok kamu jadi nyalahin aku sih?! Kamu tuh mikir dong, ini kan juga salah si Satpam juga, ngapain dia ngizinin mereka masuk dan ini juga salah Senja seharusnya dia tau diri!" bentak Ibu pada Ayah dan aku.

"Bu, aku udah bilang sama Bintang supaya-" Ucapanku terpotong.

"Supaya antar kamu sampai masuk ke dalam kamar, gitu?"

"Ga, Ayah." Lagi-lagi aku tak mampu menjelaskan, air mataku hampir terjatuh dihadapan mereka. Namun aku tahan, sekuat yang aku bisa.

"Sudah cukup! Ibu peringatkan kamu sekali lagi, jangan coba-coba kamu dekat dengan Bintang." Ibuku berkacak pinggang. Aku menggangguk mengiyakan.

"Awas kamu!" sentak Ayahku, kemudian ia pergi dari hadapanku.

Kulihat Bi Resti melirik ke arahku, memberiku isyarat agar kembali ke kamar dari pada menentang perkataan kedua orang tuaku, yang ada hanya beban dan menambah dosa saja.

Aku berjalan gontai menuju kamarku, hatiku masih dengan keadaan kacau balau. Aku ingin menangis, menjerit sejadi-jadinya, dan bertanya 'kenapa?'

Tapi...itu semua tak bisa kulakukan.

Saat ini aku hanya bisa bersabar, selalu begitu, lalu aku berandai-andai. Semoga suatu saat kedua hati orang tuaku akan luluh dan lembut seperti keluarga yang lainnya.

Aku sampai di depan pintu kamarku. Klek! Kubuka perlahan, kunyalakan lampu. Lalu aku merebah diatas kasur.

Tak sadar, tetes demi tetes membasahi pipi lembutku, senggukan kepedihan pun turut menyertai suasana malam yang kian terlalu lama untuk menyendiri dalam kesedihan.

"Kenapa Ayah seperti itu?"batinku.

Aku menyeka air mataku, lalu beranjak mengambil ponselku untuk mengirim pesan pada Bintang karena aku tidak bisa menemuinya tadi sore.

Ya, aku ingkar. Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri, karena aku tidak ingin membuat Bintang kecewa. Padahal, Bintang selalu saja membuatku senang, dia juga selalu ada disaat aku membutuhkan pada waktu yang tepat.

Senjani
Malam, maaf aku ga bisa ketemu, aku benar² ga enak badan.

Pesan itu terkirim, tak butuh waktu lama Bintang membalas pesanku. Hal itu membuatku merasa senang meskipun hanya beberapa kalimat, setidaknya ia membalas dan tidak marah karena aku mengingkarinya.

Bintang
Malem juga, gapapa Senja. Oh iya, jangan lupa minum obat, istirahat yang cukup sekarang gihh... Udah malem

Senjani
Aku ga ngantuk

Bintang
Aku tau ada sesuatu yang bikin kamu ga bisa tidur, kalau kamu mau cerita boleh kok

Dengan pemikiran berkali-kali aku membalas pesan pada Bintang. Berharap aku tak membuat hatinya sakit.

Senjani
Sebaiknya, kamu jangan ke rumah aku lagi.

Send...

"Ya ampun... Aku ga sanggup bilang ini sama Bintang, kenapa ya?"batinku.

Bintang
Kenapa?Ayah marah lagi?:(

Huft, aku mendengus pasrah. Sekarang, aku bingung dari mana aku harus menjelaskan pada Bintang.

Ternyata setiap orang itu ada saja kemauan keras untuk mendapatkan sesuatu seperti Ayah,Ibuku, dan Bintang.

Senjani
Maaf Bintang, aku ga bisa jelasin, kapan² aja ya...

Bintang
Aku mau minta maaf soal tadi. Seharusnya aku tau diri, aku ga perlu maksa untuk selalu bersama kamu. Sekarang yang udah aku lakuin malah nambah beban pikiran kamu, malah buat kamu sedih-sedihan, aku salah :( seharusnya aku buat kamu senang, aku ingkar sama diriku sendiri.


Air mataku jatuh tak tertahankan. Aku mencoba menguatkannya, menyeka air mataku, membaca kata demi kata yang Bintang ucapkan padaku.

Lalu aku membalasnya...

Senjani
Ini bukan saatnya kamu nyalahin diri kamu, semua orang punya hak untuk dekat dengan siapapun, termasuk aku dan kamu.

Send...

Setelah itu Bintang tak lagi membalas pesanku, aku hanya terdiam menunggunya namun ia tak jua membalas. Kali ini aku yang kecewa, namun aku tak berani berkata kenapa lagi? Ini sudah terlalu monoton dihidupku. Pasalnya selalu saja tentang orang tuaku yang membuat kami semakin jauh.

Jika saja Bintang orang yang mudah menyerah, mungkin aku adalah orang yang kurang beruntung karena tak kenal dekat dengan orang sebaik Bintang.

"Non..."suara yang tak asing lagi bagiku terdengar dari luar pintu kamarku.

"Ya, Bi? Masuk aja..."

Bi Resti membukakan pintu kamar. "Biasanya non minum air hangat, ini saya bawakan buat minum obatnya juga."

"Iya Bi makasih."

"Sama-sama,"jawabnya.

"Oh, iya non kata Ayah non besok di antar Pak Reno ke dokter, ga usah sekolah dulu ya biar pulih dulu aja,"ucap Bi Resti, aku mengangguk menuruti perkataan Ayahku.

"Pagi jam 9an aja ya,"ucapku. Bi Resti menggangguk

"Ya, nanti saya kasih tau,"ucapnya kemudian ia berlalu dari hadapanku.


Tbc...
Haiii!!! Jangan lupa vomments yaa! Maaf slow updates 🙏

Sebuah Cerita Rindu untuk Senjani[Terbit||GuePedia2019]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang