If

209 23 21
                                    


Saat aku menulis ini, aku baru saja bertemu seseorang yang mampu menyita perhatiaanku untuk pertama kalinya.

Seandainya.
Seandainya hari ini hujan reda lebih cepat,
Mungkin aku tidak akan bertemu dengan manik malam itu.

Katanya, hujan itu anugerah dari alam. Memangsa debu dan memberi kehidupan.
Katanya, hujan itu meresonansikan kenangan lalu. Menari merdu bersama bulir air  yang turun.
.
.

Ada satu bulan dalam satu tahun yang dinamakan tsuyu, hari-hari yang dikuasai oleh hujan. Hari dimana banyak payung berwarna-warni menghiasi jalanan. Hari dimana bau hujan lebih pekat dari malam. Hari dimana terasa lembab dan tidak nyaman.

Sore itu, hujan juga belum menunjukkan akan reda namun sebaliknya, semakin deras. Aku merutuki kecerobohaku yang lupa tak membawa payung. Aku berlari tergopoh menerobos hujan, mencari tempat untuk berteduh.

Halte bus.

Aku benci hujan. Aku benci basah, dan aku benci rasa dingin khas hujan. Bibirku hampir mengeluarkan kata kasar kalau tidak saja melihat seseorang duduk disana. Seorang anak laki-laki yang tidak menyadari kehadiranku. Matanya terlalu fokus pada rintik hujan yang jatuh di jalanan, bukan, sepertinya mata itu terlalu larut dalam lamunan. Kedua tangannya memeluk tubuh sendiri. Ada sebuah gitar bertengger di punggung. Rambutnya tertata acak. Seifuku di balik jaketnya, mengatakan bahwa dia setara dengan usia tingkat sekolahku, tapi seragamnya berbeda dengan seperti yang sedang kukenakan saat ini. Sepertinya dari prefektur seberang.

Sekilas, aku melihat hidungnya yang cukup runcing, yang berbeda dengan kebanyakan orang Jepang lainnya. Matanya bulat memandang kosong ke arah depan.

“Hujannya turun tiba-tiba, ya.” Tiba-tiba saja dia bersuara.

Dia menyadari keberadaanku dan secara tidak langsung dia tahu kalau aku sedang memperhatikannya. Mendadak rasa panas menyambar pipiku karena malu. Meski begitu, pandanganku  tetap tak bergeming.
Anak itu memalingkan muka sehingga iris kami bertemu. Iris kelamnya seperti bola mata seekor kucing dimalam hari. Perlahan senyumnya mengembang. Dan entah mengapa, untuk sesaat waktu serasa melambat, suara tetesan air hujan teredam oleh sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Hiruk pikuk menjauh, menyisakan aku dan dirinya.

Senyum itu seperti magis, menyeretku jauh ke dalam manik kelamnya. Ada sesuatu disana, yang meyakinkanku bahwa ini bukan terakhir kalinya kami bertemu.
Tanpa sadar, aku tersenyum. Dan suara kehidupan fana kembali menyeruak lebih nyaring.

Semoga minna san terhibur,
jika ada krtiik saran, saya sangat senang menerima. 😊

Terinakasih😊😊

Je t'AimerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang