SATU

145 22 24
                                    


Perasaan ini,
Tak akan pernah tersampaikan.
Hari ini pun,
Meskipun kau mengatakan hal yang sama
Aku mencoba untuk tidak mengingatnya.

Momiji,

Daun berwarna senja, menandai datangnya musim gugur.
Warna yang menyatu kala petang menjelang. Menghiasi setiap sudut kehidupan, seperti kanvas yang baru dituangkan tinta merah, kuning, cokelat, bahkan hitam, berpadu dengan langit musim gugur yang sedikit berkabut.

Ketika helai demi helainya berguguran bersamaan dengan hembusan angin, suatu perasaan nyaman akan membuat siapa saja untuk berhenti sejenak dan mendongak, ikut merasakan. Bagaikan kekuatan yang bisa hadir tiba-tiba, meyakinkan dirimu bahwa langkahmu hari ini akan begitu bermakna.

Itu hanya satu dari sekian sugesti yang terkandung dalam helaian momiji musim gugur.

Pertemuan mereka adalah awal permulaan.

Seseorang melangkah diatas daun momiji yang berserak, beberapa melayang berguguran, bagai sakura dimusim semi.
Langkah itu pelan, seperti sedang menikmati suasana hangat pagi hari, lalu berhenti. Gadis yang lengkap dengan seifuku musim dinginnya itu merentangkan kedua tangannya, sembari memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkan pelan-pelan. Segarnya...


Ia membuka mata, melihat jajaran pohon maple rapi di sepanjang jalan ditambah jalan setapak yang menyerupai karpet bermotif, terbentang di hadapannya.

Gadis itu menyentakkan tali ranselnya pelan, menyiapkan pose seanggun mungkin dan mulai berjalan dengan langkah bak putri kerajaan yang disambut puluhan abdinya. Tersungging lembut senyum di paras putihnya.
Setelah beberapa meter berjalan, dia berhenti. Tangannya terulur untuk memiting ujung rok dikedua sisinya lalu mengangkat sedikit. Ia berputar sekali dan menunduk.

Tanpa sadar, ketika pandangannya terlempar ke seberang jalan, sepasang iris mata sedang melongo mengawasinya. Gadis itu mendadak mematung dengan pose tubuh yang belum diubah dari terakhir kali dia lakukan. Matanya terbelalak lebar, seperti tak cukup dengan hidung saja mengambil napas, mulutnya pun terbuka sedikit karena terkejut.


Manik anak laki-laki  yang berdiri disudut persimpangan jalan itu juga masih enggan berkedip. Keduanya menatap lekat-lekat seakan baru menemukan makhluk asing, tidak bergeming. Bahkan angin yang tiba-tiba berhembus menerbangkan daun momiji pun tak dapat mengalihkan pandang keduanya.

Dua pasang mata yang mengartikan beda makna.

Suara 'kring' sepeda baru saja melaju melewati keduanya. Begitu resonansi itu sampai di pendengaran, keduanya sama-sama mengerjapkan mata untuk menarik diri pada kesadaran. Gadis itu melempar pandang dengan salah tingkah.
Wajahnya terasa dibakar tiba-tiba begitu ia menyentuhnya.

Pura-pura tidak peduli, dia menutupi sebelah wajah dengan tangannya dan berjalan melewati anak laki-laki itu dengan langkah pelan tapi lebar.

Bola mata anak laki-laki itu bergerak mengikuti punggung gadis itu yang kian menjauh. Seperti teringat sesuatu, anak laki-laki itu berseru memanggilnya tapi tidak diindahkan oleh yang dipanggil.

"Hei! Tunggu!"

Rasa malu mengalahkan segalanya, itu yang dirasakan gadis yang kini berlari kecil-kecil guna mengambil jarak sejauh mungkin. Beruntung anak laki-laki itu memakai seragam yang berbeda, itu artinya dia tidak akan bertemu lagi dalam artian sebisa mungkin tidak akan bertemu lagi. Bisa dipastikan pemuda yang terlihat sebayanya itu akan berpikir kalau dia gila dan aneh. Bisa dipastikan lagi dia akan menjadi bahan tertawaan dengan teman sekelasnya nanti.

Gadis itu mengintip dibalik bahunya sejenak, ketika mendengar panggilan dari anak laki-laki tadi.

Begitu melihat anak itu malah mengejarnya, ia berdecak dan buru-buru mengambil ancang-ancang kemudian berlari cepat menuju gerbang sekolahnya.

**

Je t'AimerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang