Rumah yang di tinggali Taka bersama pamannya saat ini tidak jauh beda dengan rumah yang ada dikomplek itu. Bangunan lantai dua dengan cat putih, mengelupas sana sini dan atap berwarna merah. Pekarangan kecil didepan rumah itu terlihat kurang terawat. Macam-macam tumbuhan dalam pot tampak layu dan pohon yang berukuran sedang mulai mengering cabangnya. Rumput liar dibiarkan tumbuh meninggi. Cat pagar terkelupas dibeberapa sisi.
Taka membuka pintu dengan kunci. Lampu rumah belum dinyalakan, tangan pemuda itu terangkat meraba dinding demi menemukan saklar lampu. Begitu nyala lampu terang, seluruh sudut ruangan terlihat.
Rumahnya hampir bukan mirip rumah lagi. Ketika ia berjalan menuju kamarnya di lantai dua, Taka bisa melihat gunungan plastik sampah yang belum di buang teronggok di dekat tangga. Meja makan, dapur dan tempat santai menjadi satu bagian di sisi kanan begitu ia memutar kepalanya. Botol minuman, kaleng dan plastik cemilan dengan remah-remah yang masih tersisa berserak di atas meja. Wastafel dapurnya penuh piring dan gelas yang belum dicuci.
Taka menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kasar. Pandangannya beralih kedepan pintu sebelah kirinya. Orang dibalik pintu itu pasti tidak menghiraukan keadaan rumahnya sendiri. Dia adalah pamannya yang berusia akhir dua puluhan. Memutuskan menjadi hikikomori sejak dirinya dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja. Dia hanya akan keluar ke konbini terdekat jika stok makanan habis, membeli barang lain secara online dan sisanya menghabiskan waktunya di depan komputer bermain game virtual. Kepercayaannya pada orang-orang di tempat bekerjanya dulu sudah runtuh begitu ia dikhianati teman sendiri. Membuat trauma bercokol di otaknya. Akhirnya dia memilih untuk menjauh dan menemukan dunianya yang lain di dalam game virtual itu.
Taka hendak meraih gagang pintu kamar pamannya lalu membukanya tapi urung. Akhirnya dia menaiki tangga menuju kamarnya.
Kamar yang disinggahi Taka adalah sebuah ruangan sedang dengan satu kasur single dan lemari geser serta satu set meja kursi disamping jendela, lengkap dengan lampu belajar yang sudah lama tidak dinyalakan tapi terlihat masih layak. Beberapa box berisi barang-barang Taka dari desa belum sempat dirapikan. Dia terlalu lelah hari ini. Tubuhnya dihempaskan kasar ke atas kasur.
Kamarnya hening, hanya suara napasnya sendiri yang terdengar beraturan. Kedua matanya menerawang jauh lewat langit-langit putih di atasnya. Pikirannya berkecamuk. Ingatannya melayang dihari ia mengatakan ingin pindah sekolah di Tokyo saat makan malam bersama. Keluarga yang terdiri dari lima orang termasuk dirinya terdiam begitu mendengarnya. Ayah langsung menyutujui tanpa alasan dan Ibu hanya mengangguk tanpa suara sedangkan Hiroki, adik pertamanya diam saja. Hanya Riri, anak bungsu yang masih berusia enam tahun memperlihatkan ekspresi sedih lalu beringsut untuk memeluknya sambil mengatakan 'jangan pergi'.
Alasan Riri tidak menjadikan niatnya untuk pergi terhenti begitu saja, karena dia hanya anak kecil yang mudah melupakan sesuatu, terlebih lagi ibu sangat menyanyanginya. Jadi waktu itu Taka hanya memberikan sebuah boneka koala untuk Riri dan mengulum senyum meninggalkan mereka. Bahkan Taka tak mendapatkan salam perpisahan barang hanya sebatas pelukan hangat sebentar. Tidak. Dia harusnya sadar, bayangan tidak akan pernah bisa menyentuh sosok aslinya.
Pindah ke Tokyo juga tak jauh beda, dia tinggal dengan seorang hikikomori yang tidak bisa diajaknya komunikasi, sama seperti dia tinggal bersama keluarganya.
Sebelah tangan Taka terangkat lalu meletakkan punggung tangan di atas keningnya. Matanya memejam. Ia hanya ingin segera tertidur sampai berganti hari.
Tiba-tiba bunyi ponsel memaksanya untuk kembali terjaga. Ia merogoh saku celananya dan mengangkat layar di depan mata. Nomor telepon rumah tertera di layar ponsel. Ia menekan tombol hijau lalu menempelkannya di telinga.
"Nii-san."
Suara tidak asing di ujung sana membuat Taka tersentak dan secara otomatis mengambil posisi duduk.
"Riri? Ada apa ? kenapa belum tidur? Apa terjadi sesuatu?" suara Taka terdengar gelisah karena menerima telepon di hampir tengah malam oleh seorang anak yang seharusnya sudah tidur.
"Riri merindukan Taka nii-san," ujar Riri, terdengar polos.
Taka mengulum senyum lalu tertawa kecil. Kegelisahannya terganti dengan kalimat polos dari bibir kecil Riri. Taka sempat berpikir tidak akan ada satupun dari keluarganya yang mengatakan kalimat itu, kecuali Riri. Bahkan untuk seorang anak seusianya sudah tumbuh perasaan kepeduliaan. Taka hampir tidak bisa menyembunyikan tangis bahagianya. Seorang anak kecil bernama Riri Moriuchi baru saja menyadarkan dirinya bahwa keberadaannya masih diharapkan. Harapan kecil saat dia ingin melepaskan marga Moriuchi dari dirinya.
"Nii-san juga merindukan Riri." ia berkata, sebisa mungkin untuk tidak terdengar bergetar.
"Taka nii-san, sayang sama ayah, ibu, Hiro nii-san dan Riri?"
Taka terdiam sejenak. Membayangkan wajah-wajah mereka yang berpaling setiap kali berhadapan dengannya.
"Tentu saja nii-san sayang." Tenggorokannya terasa panas saat mengatakan itu.
"Tapi kenapa Taka nii-san meninggalkan kami. Riri sedih."
Sesaat jantung Taka tersekat. Dadanya seperti baru dipukul, sakit. Terlepas dari kenyataan yang terjadi. Pemuda itu masih berusaha mencoba bertahan, namun egonya sudah berbisik kencang merintih kesakitan. Kala itu dia mencoba menawarkan diri dengan berani, berteriak di tengah makan malam. Menangis dan meraung meminta penjelasan tapi tak ada kata sepatah pun. Mereka tidak mengumpat benci, pun juga tidak meluruhkan bentuk kasih. Lalu Taka siapa sebenarnya di dalam keluarga itu.
Taka mengangkat kepalanya. Menatap langit-langit yang terlihat semakin kabur. Ia mengambil napas dan mengembuskannya pelan berkali-kali agar ia bisa menenangkan emosinya dan agar cairan yang sudah berdumul di pelupuknya tidak lolos dari sana.
"Nii-san? Nii-san baik-baik saja?" suara di ujung sana terdengar ragu bercampur gelisah.
"Nii-san baik-baik saja, Riri sebaiknya tidur nanti ibu khawatir, ya?" pinta Taka lirih. Tenggorokannya benar-benar sakit sekarang.
"Iya, tapi Riri boleh menelpon nii-san lagi kan?"
"Hmm."
"Oyasumi."
"Oyasumi."
Taka menurunkan ponsel. Sambungan terputus. Ia terdiam lama, memandang kosong kedepan. Tidak berapa lama kemudian bahunya bergetar hebat dan tangisnya pecah begitu saja. Seakan semua bebannya baru saja terlepas tapi justru beban itu bertambah berat. Isakannya memecah ruangan sunyi itu.
Tidak ada satupun yang datang, tidak ada satupun yang mendengar, tidak ada satupun yang akan peduli. Tubuhnya merosot ke sisi tempat tidur. Wajahnya tersembunyi dibalik kedua lututnya, tangannya memeluk diri sendiri.
Hingga waktu bergulir dan dia tertidur dengan posisi menelungkup sendirian diatas lantai yang dingin tanpa sadar.
Saat dinding mulai dibangun, beberapa bata merah itu tiba-tiba pecah.
Tangannya gemetar merangkai kembali,meskipun bisa tapi retak itu tidak bisa membuatnya kokoh seperti sedia kala.
Terimakasih sudah berkenan membaca dan meninggalkan jejak.
Kritik dan saran yang membangun.
---Ryuu---
KAMU SEDANG MEMBACA
Je t'Aimer
Fanfiction. . Jika dua diantara kita Bertemu dalam kesempatan Seperti apa jalan yang harus dilalui . .