ENAM

69 17 17
                                    

Terimakasih karena  egois.

Aku akan memporakporandakan masa itu sampai hancur berkeping. Tapi,

sepertinya ini bukan jalan yang mudah.

.

Bus melaju sedang.

Taka duduk di salah satu kursi dekat jendela. Tangannya bergerak menarik kabel earphone dari dalam tasnya. Memasang ujung earphone ke ponsel dan ujung lainnya ia tempelkan di telinga. Jarinya bergerak di layar ponsel kemudian suara menyeruak di pendengarannya.

Lagu Stevie Wonder, To Feel The Fire.

Entah berapa kali dia memutarnya berulang sampai mengakar di otaknya. Dia tidak tahu sejak kapan pertama kali mendengarkan lagu yang dinyanyikan penyanyi lawas dari Amerika serikat tersebut. Selain lagu itu, beberapa judul lainnya juga tersimpan di palylist ponselnya, seperti Sir Duke, Superstition, Isn't She Lovely dan masih banyak lagi.

Lagu itu seperti dirinya, jika ia tidak bisa mengatakan apapun,maka lagu itu yang mewakili hatinya.

Cause when I look inside my heart and I tell the truth to me

Loud and clear my soul cries out with total honesty

I need the fire, fire, fire to keep me warm

I got to feel the fire.

Kepala pemuda itu menoleh. Di luar hujan masih mengguyur deras rupanya, membuat kaca bagian dalam berembun menghalangi pandangan. Jarinya ia angkat mendekati kaca jendela, lalu ia mulai bergerak menulis huruf kanji dengan telunjuknya.

'Hi' yang berarti api, itu arti kanji yang baru saja ditulisnya. Tangannya ia turunkan. Wajahnya mengukir senyum lemah sarat akan harapan pada sesuatu.

Ia tahu, seberapa jauh dirinya pergi. Tak lantas membuat dirinya terbebas dari orang-orang yang sebelumnya sangat berpengaruh untuk hidupnya, mungkin begitu, mungkin juga bukan begitu.

Namun di hari pertamanya sekolah yang baru, ia mendapatkan sesuatu yang menarik. Ia hanya perlu menekan tombol reset dan semuanya akan kembali dari awal.

Bahwa Taka tidak akan mengorek yang lalu tapi dia akan menghapusnya. Bahwa ia akan hidup seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Bahwa ia juga akan melupakan kenangan miliknya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena untuk sekarang biarkan dia bertindak egois untuk dirinya sendiri.

.

.

Musim gugur datang lebih awal, dibanding dengan kampung halamannya yang terletak di bagian selatan, Tokyo jauh lebih dingin sekaligus hangat.

Musim gugur itu identik dengan daun ginko yang meranggas cepat dan warna senja yang lebih pekat. Udara pun melembab dan malam yang datang melambat. Kini rintik hujan pun mulai mengendap.

Taka turun dari bus, berjalan melewati deretan ruko perbelanjaan, berbelok lalu berhenti di depan bangunan kecil berwarna merah bata, papan besar berwarna senada sebagai background dan berwarna putih bertuliskan Le Ciel  dipasang di atas pintu depan.

Beberapa orang tampak berlalu lalang, berseragam putih dengan apron yang dililit pada bagian bawah berwarna hitam. Seorang pemuda  berhenti dihadapannya, lalu bertanya,

"Takahiro Moriuchi?"

Taka terdiam, menatap bertanya.

"Bagaimana kau bisa tahu namaku?"

Bahkan ia belum berkenalan dengan siapapun di kota ini kecuali dengan wali kelas dan gadis berkacamata itu, tapi orang yang ada dihadapannya ini, Taka sama sekali belum pernah berhubungan  selama ia mengingatnya. Karena memang hanya sedikit orang yang berhubungan dengan dirinya.

Je t'AimerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang