Tiba-tiba datang membawa sejuta harapan.
×××
"Lo berdua ngapain sih disini?"
Aku menatap dua orang dihadapanku dengan nada tidak suka. Sementara mereka tak menghiraukan ucapanku sama sekali, masih saja berkutat dengan handphone-nya masing-masing.
"Mendingan lo berdua balik deh ke asal, gue mau ngerjain pr. Emangnya besok Lo berdua nggak sekolah?"
Aku mendorong mereka berdua dari kasur. Namun mereka malah tak peduli. Benar-benar, kesabaran seorang Natasha sedang diuji.
"Nas, mendingan lo nggak usah mikirin pr deh, pr aja nggak mikirin elo"
Bunuh orang dosa nggak?
"Aini, mending lo tarik perkataan lo sebelum gua tarik rambut lo"
"Percuma gue tarik kalo udah terlanjur gue ucap Nas" Dan benar saja, rambut si Aini aku jambak sehingga membuatnya meringis kesakitan.
Aku mendengarnya menggumamkan kata, 'psikopat'. Namun tak ku hiraukan, biarlah dia berimajinasi.
"Daripada itu, ada informasi yang mau gua sampein ke elo" kali ini, perempuan bernama Windy ikut masuk ke topik obralanku dan Aini yang tidak jelas.
"Apaan?"
Windy menyodorkan handphone-nya dan langsung saja aku ambil dengan penuh tanda tanya.
Deg!
Itu... Itu loh, duh susah untuk dijelaskan. Pokoknya, ini tuh membuatku seketika meleleh di tempat.
"Lo... Lo dapet foto ini dari mana?" Tanyaku tidak tahan.
"Duh, duh, duh. Nanas, Nanas. Kasian banget sih lo"
Bisa ku lihat wajah Aini yang merah karena menahan tawa.
Dia ngejek nih ceritanya?
Langsung saja ku pelototi seolah berkata, 'diem lo'.
Sebenernya, aku dan Aini itu mirip sama Rara dan Bianca jika beradu mulut. Emang sih semuanya pada abnormal. Tapi mau gimana lagi, daripada Rara dan Bianca emang Aini yang paling nyebelin!
"Ih, Windy! Gue iri banget tau nggak sama lo... Gue juga mau foto ketos lo... Sumpah, kok dia ganteng sih?"
"Iya Nas, gue setuju banget sama lo. Kak Alvian emang ganteng, coba aja kalo lo sekolah di sekolahan gue, udah move on kali lo sekarang"
Ada satu hal yang membuatku dan Aini akrab seketika, yaitu ketika kita udah ke masa dimana kita udah gosipin cogan.
"Gue udah move on, cuma dia nya aja yang tiba-tiba dateng lagi" gumamku yang kemudian langsung membuat mereka heboh seketika.
"Maksud lo si Reynaldi sekarang sekolah di sekolahan elo?!"
"Nas, lo kok gak bilang sih kalo mantan gebetan gue sekolah disitu?"
Dan mereka bertanya tanpa henti, membuat gendang telinga ku sakit mendengarnya.
"Bisa nggak kalian nanyanya satu-satu?" dengusku menatap sinis mereka.
"Dia emang pindah ke sekolahan gue, gak tau kenapa alesannya. Katanya udah pindah dari beberapa minggu yang lalu, cuma gue gak engeh kalo itu dia, dan gue baru tau baru-baru ini" jelasku yang aku singkat-singkatkan.
"Ih, gue pengen ketemu mantan Nas... Besok pulang sekolah gue sama Windy ke sekolahan elo ya?"
Aini ini gila atau kewarasannya menurun ya?
"Kayaknya jangan deh, lo bisa abis sama anak-anak sekolah gue"
Dari dulu sampai sekarang, sekolah mereka memang menjadi musuh bebuyutan sekolahanku. Entah karena alasan apa, dari dulu kedua sekolahan ini memang tidak akur. Aku juga tidak mau ikut campur, ribet.
"Pokoknya mesti gue cari tau penyebab dia pindah, dan gue butuh bukti yang nyata sebelum nyelidikin kasus ini"
"Aini... Lo gila" gumamku sementara dia hanya menyipitkan matanya.
"Kalo mau reunian gue setuju aja. Tapi lo mesti dapet restu dulu, entar yang punya marah lagi"
Kali ini Windy ikut berkomentar, aku tidak tau apa yang dipikirkan mereka berdua. Namun entah kenapa perkataan Windy membuatku kesal.
"Ekhem... Ekhem... Karena gue mantan yang pengertian, jadi gue mau minta ijin buat ketemuan sama–"
"Terserah"
Mereka tampak berbisik-bisik sambil memperhatikanku. Telingaku yang panas malah aku hiraukan karena tidak mau ambil pusing.
Aku langsung merebahkan tubuhku tanpa mendengarkan celotehan mereka yang terus berlanjut.
"Nas, hape lo bunyi"
Aku merasakan seseorang menggerak-gerakkan badanku, dan..
Brakk!
Mataku terbuka lebar dengan nyeri yang sangat terasa dipunggungku. Aku merintih sedangkan kedua iblis itu hanya menahan tawa.
IYA MEREKA SENGAJA DORONG BIAR JATUH!
"Hape Lo bunyi noh, ada yang nelpon" ucap Windy masih menahan tawanya.
Aku hanya berdecak dan mencari keberadaan handphoneku yang ternyata di atas meja. Tanpa memerhatikan siapa yang menelepon, aku langsung mengangkatnya.
"Halo?"
"Assalamu'alaikum"
Aku langsung mengerjapkan mataku berulang kali, berharap jika ini bukan mimpi.
"Waalaikumsallam"
"Natasha?"
"Iya, itu gue. Ada apa Cho–Rey?"
"Lo tau ini gue?"
"Gue tau–"
Baru saja aku ingin melanjutkan perkataannya, Aini sudah duluan mengambil handphoneku.
"Ini Rey? Reynaldi mantan gue kan?"
"..."
Dasar nggak sopan.
"Iya.. iya... Mantan gebetan doang yaelah, Rey baper aja"
"..."
"Rey, katanya Lo sekolah disekolahan nya Nanas?"
"..."
"Gue besok pulang sekolah mau ketemuan sama elo, sekalian reuni, Windy juga ikut kok. Kalo bisa sekalian sama Nanas sih, biar–"
"..."
"Iya, iya gue kasih ke Nanas. Ngebet banget pengen ngomong dah"
Aini langsung menyodorkan handphonenya kepadaku.
"Kenapa Rey?"
"Gue diamanahin sama Bu Emma buat ngasih tau elo, kalo besok ada seleksi buat olim MTK pas jam pertama. Jadi...–"
Aku mendengarnya menghembuskan nafas. Dia seperti menggantungkan kalimatnya, membuatku bertanya-tanya.
"Jangan lupa belajar, Banana"
•••
Keep vomment!
Salam,
dhaf
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOCO BANANAS
Teen FictionKatanya, kebetulan adalah takdir yang disamarkan. Tapi bagiku, bertemu denganmu adalah takdir yang nyata. . Ceritaku dengan banyak drama! Namun, aku bahagia bertemu dengan mereka. Orang-orang yang tak pernah aku nanti sebelumnya dan tak pernah ku ha...