20

5K 235 8
                                    

Kebahagiaan itu harus diperjuangkan.
******

Pagi mulai datang kembali. Terlihat dua anak manusia masih terlelap dibalik selimut yang sama. Keduanya tampak sedang berpelukan dengan mata terpejam. Sunggug aneh kedua anak manusia ini, mereka justru terlihat bahagia saat sedang dalam keadaan tidak sadar.

Vanya perlahan membuka matanya, merasakan adanya tangan kekar yang melingkari perutnya. Dia menajamkan pengelihatannya, menatap sosok priya yang sudah membuatnya terpesona. Dia tersenyum lalu kembali menyandarkan kepalanya pada dada bidang suaminya, menghirup aroma maskulin yang berasal dari tubuhnya. Menghirupnya dalam-dalam seolah ingin menyimpannya dalam ingatan.

Vanya kembali memejamkan matanya, saat merasakan pergerakan dari tubuh disampingnya. Ya, Malvin kini mulai membuka matanya. Dia terkejut mendapati tubuhnya yang berhimpitan dengan tubuh Vanya. Dia menghela nafas dalam dan mengalihkan tangannya yang melingkar diperut Vanya.

"Aku benar-benar sudah gila. Bagaimana bisa aku tidur dan tanpa sadar memeluknya." Gumamnya pelan lalu menurunkan kakinya dari ranjang dan berjalan kearah kamar mandi.

Vanya yang mendengar gumaman suaminya itu hanya bisa menahan tawa. Jika sampai dia tertawa, maka terbongkar sudah aktingnya untuk berpura-pura tidur.

Setelah mendengar suara pintu kamar mandi yang tertutup. Vanya perlahan membuka sebelah matanya untuk memastikan jika suaminya itu sudah tak terlihat. Dan setelah memastikan semuanya, dia mulai melebarkan matanya. Dia bangun dengan hati yang cukup bahagia, dan semua kebahagiaannya itu membutuhkan banyak perjuangan.

Beberapa menit berlalu, keduanya kini sedang menikmati sarapan bersama dimeja makan apartementnya. Vanya hanya menyiapkan menu roti isi dan juga segelas susu untuk sarapan mereka. Dia tak sempat memasak sarapan, karena terlalu asik menikmati pelukan hangat suaminya tadi pagi.

Setelah menyelesaikan sarapan, keduanya kini keluar dari apartement dan berjalan menuju tempat parkir. Mobil yang mereka tumpangi kini sudah melaju membelah jalanan Ibu kota dipagi hari. Jalan pagi ini masih seperti biasanya, padat merayap. Butuh waktu setengah jam untuk bisa sampai digedung perkantoran Hugo Entertainment.

Mereka mulai memasuki gedung perkantoran tersebut. Dan Vanya yang sedang melancarkan aksi pendekatannya, tidak sedikit pun menyia-nyiakan adanya kesempatan tersebut. Dia dengan posesifnya melingkarkan tangannya pada lengan Malvin yang tampak malas melihat tingkahnya itu.

"Singkirkan tangan sialanmu itu dari lenganku, Vanya!" Bisiknya lirih tepat ditelinga Vanya.

"Tidak akan! Biarkan tetep begini atau aku akan mengadukan sikap burukmu terhadapku kepada Kakek!" Balas Vanya tak mau kalah, dan diakhiri dengan kedipan mata.

Malvin mendengus mendengar ancaman Vanya. Lagi-lagi gadis itu bisa membungkam mulutnya dengan cara yang sama. Dia benar-benar tak menyangka jika gadis disebelahnya ini sudah berani melawan, bahkan mengancam dirinya. Dan dengan terpaksa, dia pun membiarkan gadis itu bergelanyutan manja dilengannya.

Beberpa karyawan yang melihat kedatangan mereka tampak heran. Bagaimana tidak, semenjak menjadi sepasang suami-istri, mereka memang belum pernah menunjukkan kemesraannya seperti saat ini. Dan ini merupakan pemandangan langkah yang terlihat oleh setiap pasang mata karyawan Hugo Entertainment.

Vanya tampak mengumbar senyum pada setiap karyawan yang tanpa sengaja berpapasan dengan mereka. Sepertinya dia sangat bahagia hari ini, hingga mengacuhkan reaksi priya disampingnya yang tampak tertekan.

Keduanya kini sudah berada didalam lift khusus untuk para petinggi. Karena ini adalah lift khusus, maka hanya ada mereka berdua saja didalamnya.

"Apakah kau salah meminum obat? Sejak kamrin malam tingkahmu benar-benar aneh." Ucap Malvin yang kini masih belum bisa melepaskan diri dari tangan Vanya yang melingkari lengannya.

"Tidak. Aku bahkan tidak meminum obat apapun." Jawab Vanya santai dengan seulas senyum.

Malvin memutar bola matanya malas mendengar jawaban Vanya. Dari mana datangnya keberanian yang miliki istrinya saat ini. Bagaimana bisa dia berubah hanya dalam waktu semalam, bahkan diawal pernikahan saja dia masih tak bisa berkutik untuk melawan kekejaman Malvin.

Pintu lift sudah terbuka, mereka kini tampak keluar dari dalam lift dan berjalan bersama kearah meja kerja Vanya. Vanya memberhentikan langkahnya saat sudah sampai dimeja kerjanya, dia menahan lengan Malvin dan membuat priya itu menghentikan langkahnya yang hendak berjalan menuju ruangannya. Dia memberikan satu kecupan basah pada pipi kiri suaminya.

"Selamat bekerja suamiku." Ucapnya malu, lalu melepaskan cekalan tangannya dan berjalan cepat mendudukan diri dibalik meja kerjanya.

Malvin kembali mendengus mendapati tidakan tiba-tiba Vanya yang mencuim pipinya. Apa yang sebenarnya sedang direncanakan oleh gadis pembangkang ini? Kenapa setiap tindakan menyebalkannya itu tidak bisa dilawan oleh Malvin?

🍃🍃🍃🍃🍃

"Ada apa denganmu, Malvin? Kenapa kau tampak tidak bersemangat hari ini?" Tanya Alif yang sejak tadi memperhatikan raut wajah Malvin yang tampak malas.

Mereka kini sedang duduk disoffa ruang kerja Malvin. Keduanya baru saja selesai membahas proses pembuatan iklan untuk produk WE Corporation. Dan karena sejak tadi Malvin tampak tidak fokus, maka Alif pun berinisiatif untuk bertanya.

"Aku sedang memikirkan bagaimana caraku terlepas dari semua ancamannya." Malvin menajamkan pandangannya pada langit-langit ruangannya. Dan saat dia sadar akan ucapannya itu, dia langsung mengalihkan pandangannya kearah Alif yang tampak sedang mengerutkan keningnya.

"Siapa yang berani mengancammu?"

"Sudahlah lupakan! Semua sudah selesai kan? Keluarlah, aku sedang banyak pekerjaan!" Mengibaskan tangannya keudara, mengusir keberadaan Alif yang ada diruangannya.

"Jangan mengalihkan pembicaran! Apakah orang yang kamu maksud adalah Vanya?" Alif memfokuskan tatapannya kepada Malvin, mencoba meneliti setiap ekspresi yang ditunjukkan oleh priya dihadapannya itu.

"Iya. Dia sudah berani melawanku sekarang. Bakan tadi pagi, tangannya itu tak mau lepas dari lenganku. Rasanya seperti ada ular piton yang melilit dilenganku ini."

Alif terkikik geli mendengar ucapan sahabatnya itu. Bagaimana bisa Malvin mengibaratkan tangan mungil Vanya layaknya ular piton yang sangat besar.

"Sepertinya dia mulai tahu bagaimana cara mengatasimu." Gumam Alif pelan, namun masih bisa terdengar oleh telinga Malvin.

"Apa maksudmu?"

"Tidak ada, lupakan! Aku harus segera kembali kestudio pembuatan iklan untuk menemani Bastian." Berdiri dari posisinya, lalu berjalan keluar dari ruangan Malvin.

Alif keluar dengan menunjukkan seringainya, membiarkan Malvin yang masih berkutat dengan rasa bingungnya. Dia berjalan menghampiri meja Vanya, lalu tersenyum saat gadis itu menatap kearahnya.

"Kamu tampak senang hari ini. Sepertinya kamu sudah tau semuanya." Ucap Alif mengulas senyum kearah Vanya.

Vanya mengangguk sambil tersenyum, lalu berucap, "terimakasih, Tuan Alif. Anda sudah banyak membantuku, dan secara tidak langsung memberiku semangat untuk tetep berada disisinya."

"Kalian berdua adalah orang yang baik. Dan sudah sepatutnya kalian hidup bahagia bersama. Jangan pernah lepaskan dia, Vanya. Aku yakin hanya dirimu lah yang bisa menyembuhkan lukanya." Terlihat ada senyum kegundahan diakhir kalimatnya. Dia takut jika sahabatnya itu tidak bisa lepas dari kepahitan masa lalu.

"Aku akan terus berusaha."

Alif berjalan menjauh dari meja Vanya. Tubuhnya kini sudah menghilang seiring dengan pintu lift yang tertutup rapat.

Vanya kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan berkas dihadapannya. Dia mengechek kembali berkas-berkas penting yang belum disentuhnya. Sampai terdengar bunyi dering ponselnya, yang membuatnya kembali mengalihkan fokusnya.

"Hallo."

"....."

"Baiklah, aku akan segera kesana." Menyambar tas kerjanya, lalu berjalan cepat meninggalkan meja kerjannya dan memasuki lift dengan terburu-buru.

To Be Continued.
Maaf banget baru update, LC juga ada kesibukan didunia nyata 😊
Masih penasarankah sama kelanjuannya? Vote dan komentnya jangan lupa!

Look At Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang