Memang benar kata pepatah. Jika penyesalan selalu hadir dibelakang.
******Malvin saat ini sedang berada di rumah sakit. Dia duduk pada bangku kayu yang tersedia didepan ruang penanganan IGD. Vanya masih dalam masa penanganan, dan siapa pun tidak diizinkan untuk masuk kedalam. Hanya ada dokter dan beberapa perawat saja yang berada didalam bersama Vanya.
Marsha tampak mondar-mandir didepan pintu perawatan. Dia sangat mencemaskan kondisi Kakaknya, satu-satunya keluarga yang dimilikinya saat ini. Dia tidak tahu bagaimana kehidupannya nanti jika harus kehilangan Kakaknya juga.
Malvin masih terdiam ditempatnya, mamandangi kedua tangannya yang penuh dengan noda darah. Fikirannya kini benar-benar hanya tertuju pada Vanya, istrinya yang sedang berjuang didalam sana. Dia merasa bersalah, dan tidak menyangka jika kemarahannya itu bisa membuat istrinya celaka. Malvin hanya menamparnya, hingga istrinya itu terjatuh dipinggir soffa. Namun mengapa ada begitu banyak darah yang mengucur dari kakinya? Apakah dia mengalami benturan parah yang membuat kakinya terluka? Atau mungkin...? Entahlah, Malvin tidak mau menduga-duga.
Dokter tampak keluar dari dalam ruang perawatan tersebut. Dan Marsha yang sudah sangat tidak sabaran, langsung saja memberikan begitu banyak pertanyaan.
"Bagaimana kondisi Kakak saya? Apakah dia baik-baik? Dia tidak mengalami luka yang parah bukan?" Tanya Marsha bertubi-tubi.
"Sebentar. Apakah Anda keluarganya?" Tanya dokter itu.
"Saya Adiknya, dok." Jawab Marsha
"Saya suaminya." Jelas Malvin yang entah kapan sudah berdiri disamping Marsha.
"Kondisi pasien masih kritis. Pendarahan yang dialaminya cukup parah. Kami masih berusaha untuk menyelamatkan janin yang sedang dikandungnya."
Deg.
Detak jantung Malvin serasa berhenti seketika, saat mendengarkan penjelasan sang dokter tentang kondisi istrinya. Ternyata benar Vanya sedang mengandung, dan Malvin dengan kejamnya sudah mencelakai janin yang tidak berdosa itu. Jika seperti ini, apa bedanya dia dengan Ibunya? Jika Ibunya dengan tega pergi meninggalkan dirinya. Maka dia dengan teganya hampir membunuh anaknya. Atau bahkan mungkin, dia memang sudah membunuhnya? Entahlah, dia hanya bisa menunggu usaha dari dokter untuk meyelamatkan istri dan calon anaknya.
Marsha menutup mulutnya dengan tangan, saat mendengar penjelasan dokter tentang Kakaknya. Kakaknya sedang mengandung, dan dia sedang berjuang didalam sana. Tanpa terasa air mata itu jatuh membasahi pipi Marsha, dia tidak sanggup menerima kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi nantiya.
Dokter itu menepuk pelan bahu Malvin, lalu memberikan sebuah semangat melalu kata-katanya. "Kami akan berusaha. Dan tolong kalian juga membantu melalui doa, agar Ibu dan janin yang dikandungnya bisa selamat." Ucap dokter itu diakhiri senyum. "Saya permisi dulu." Lanjutnya yang kemudian meninggalkan ruang perawatan tersebut.
Marsha menatap tajam kearah Kakak iparnya. Lalu dengan nada marah dan penuh air mata dia berkata, "Kenapa kau lakukan ini pada Kakakku? Aku sudah mempercayaimu, dan menganggap jika kau sudah menerima Kakakku sebagai istrimu. Namun menagapa kau membuat kepercayaanku hancur? Kau tega mencelakai istri dan juga calon anakmu sendiri! Jika sampai terjadi sesuatu pada Kakakku atau pun janin yang tengah dikandungnya, aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu!" Berlari meninggalkan tempat tersebut dan mencari tempat yang cukup sepi untuk meluapkan segala emosinya.
Marsha berhenti disebuah taman yang ada didalam rumah sakit tersebut. Dia mendudukan dirinya pada salah satu bangku kayu yang ada disana. Dia menumpahkan segala rasa sedih, khawatir, dan juga ketakutannya. Dia tidak ingin merasakan kehilangan lagi. Sudah cukup takdir mempermaikan hidupnya dengan mengambil satu per satu orang yang dicintainya. Dan saat dia masih meratapi rasa sedihnya, tiba-tiba saja ada seseorang yang menyentuh bahunya.
Marsha menolehkan kepalanya, mendapati seorang pria paruh baya yang menatap sedih kearahnya. Marsha yang memang sedang membutuhkan sandaran untuk meluapkan kesedihannya, langsung berhambur memeluk pria tersebut. Dia menceritakan segala kejadian yang sedang dialaminya dengan terus menitihkan air mata. Pria itu hanya bisa mendengarkannya, dan sesekali mengusap punggung Marsha seolah memberinya kekuatan. Sampai saat Marsha sudah bisa mengendalikan dirinya, pria itu pun membawa Marsha pergi entah kemana.
Malvin termenung mendengarkan ucapan Marsha. Dia memanglah suami yang kejam dan jahat, dia pun menyadari itu. Fikirannya kini kembali pada masa-masa awal dimana dia melibatkan Vanya kedalam kehidupannya untuk mencari keuntungan. Bahkan wanita itu tak sedikit pun membalas perlakuan kejamnya, namun justru bersikap baik dan tetap berusaha menunjukkan rasa cintanya.
Malvin sebenarnya sudah bisa menerima Vanya sebagai istrinya. Namun ketika dia melihat Vanya berbincang dengan seseorang yang amat dibencinya, dia kembali menjadi pria yang tempramen. Bersikap kasar, bahkan sampai mencelakai istri dan calon anaknya sendiri. Dia kini tampak mengamati setiap noda darah yang ada ditangannya, lalu mengepalkan tangannya seraya menciumnya. Semoga tidak akan terjadi apa pun pada istri dan calon anak mereka. Semoga semuanya baik-baik saja, dan dia bisa kembali hidup bahagian bersama istri serta anaknya nanti.
🍃🍃🍃🍃🍃
"Kami sudah berusaha sebaik mungkin. Namun maaf, kami tidak bisa menyelamatkan janin yang sedang dikandung oleh Nyonya Vanya." Jelas sang dokter setelah melepaskan masker dimulutnya, lalu berjalan pergi meninggalkan Malvin yang mematung mendengar penjelasannya.
Dunia Malvin seakan runtuh seketika. Hatinya sakit, bagaikan terhunus pedang tajam yang menggoreksan luka mendalam. Namun anehnya luka ini tak mengeluarkan darah, tetapi rasa nyerinya terasa abadi didalam sana.
Malvin menundukkan kepala, meratapi kesalahan terbesar yang sudah dilakukannya. Dia membunuh bayinya, dan mungkin Vanya akan sangat terluka jika mengetahuinya.
"Kau baru merasakan penyesalan itu sekarang?" Suara seorang pria dari balik punggungnya.
Malvin memblikkan tubuhnya, mendapati Kakeknya sedang berdiri disana. Wajahnya tampak memerah menahan amarah, mungkin dia juga sudah mendengarkan ucapan dokter tadi.
"Sejak kapan Kakek berdiri disana?" Menghapus sisa air mata yang ada diwajahnya.
"Sejak dokter itu bilang jika pewarisku sudah tiada." Berjalan mendekat kearah Cucunya. "Ku fikir kau sudah bisa menerima kehadiran Vanya, namun ternyata aku salah. Kau hanya bisa memberinya luka dan kesakitan saja. Memang tak seharusnya aku menikahkan kalian berdua. Aku sudah membuat gadis yang tak berdosa itu hidup dalam neraka yang kau ciptakan. Kita lihat saja, apakah dia masih mau bertahan denganmu yang sudah jelas-jelas melenyapkan bayinya." Lanjutnya dengan penuh ketegasan.
"Aku tidak berniat seperti itu, Kakek. Aku menyesali segalanya, aku mencintainya dan tidak ingin kehilangannya."
"Semoga penyesalanmu itu belum terlambat." Menyentuh punggung Cucunya. "Namun sekarang aku tidak bisa lagi membantumu, mau pun berpihak padamu. Kau bersalah, dan tidak seharusnya aku membelamu." Lanjutnya yang kemudian mendudukan diri pada bangku kayu disana.
Malvin ikut mendudukan dirinya disamping sang Kakek. "Aku akan menyelesaikannya sendiri, Kek. Aku yakin jika Vanya pasti akan memaafkan segela kesalahanku." Ucapnya terlihat tegas, namun ada sedikit rasa keraguan didalam hatinya.
"Kau terlalu percaya diri, Nak! Tapi semoga saja kepercayaan dirimu itu berbuah manis. Jika aku yang menjadi Vanya, mungkin aku sudah menggugat dirimu sejak lama."
Malvin tertunduk lesu mendengar ucapan Kakeknya. Sebenarnya itu juga yang ditakutkannya. Dia takut jika Vanya tidak mau memaafkannya, lalu pergi meninggalkan dirinya.
TO BE CONTINUED.
Beberapa part lagi menuju ending 😊 kalian mau sad ending apa happy ending?💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Look At Me!
FanfictionWAJIB FOLLOW SEBELUM BACA! COMPLETE ✅ HR #72 in Fanfiction 17/05/2018 Ketidak tahuanya akan maksud buruk dari lelaki yang menikahinya, membuatnya harus terjerumus dalam hidup yang penuh drama. Berpura-pura saling mencintai, dan hidup bersama layakny...