4. Kesialan Agatha

115 66 67
                                    

Agatha menatapi layar ponselnya yang telah menghitam. Dalam posisi telentang di kasur tercinta pada jam enam pagi, salah satu dosen mata kuliahnya yang bernama pak Wari menelpon.

Alasannya cukup membuat kesal. Yaitu tidak sengaja terpencet.

Tapi dosennya tersebut pun menyuruh Agatha untuk datang ke kampus. Kata Pak Wari, ada tugas susulan yang belum dikumpulkan Agatha dalam mata kuliahnya. Lagi.

"Gua salah apa sih pak sama lu? Kemaren Anggita, sekarang siapa lagi? Waluyo?" Setelah mencerna ucapan Pak Wari yang sudah mematikan panggilannya dari lima menit lalu, Agatha baru sadar kalau ia tidak ada tugas apapun dari Pak Wari.

Ia melirik ke arah jam digital berwarna putih di nakas samping tempat tidurnya. Dan angkanya baru membentuk angka enam. itu berarti, Agatha baru tidur selama empat jam.

"Demi apa sih baru jam enam?" Kalau saja pak Wari tidak menelponnya dan menyuruh Agatha untuk ke kampus, mungkin anak itu sedang bermimpi indah karna hari ini ia tidak ada kelas.

Agatha bangkit dari kasurnya. Ia menepuk bantalnya sebanyak tiga kali dengan raut wajah yang masih mengantuk. Ia pun masih menguap beberapa kali. "Bangun-bangun, makan nasi pake ayam."

Dengan rambut acak-acakan, serta mata setengah tertutup, Agatha berjalan menuju toilet di dalam kamarnya.

Biasanya, Agatha bangun sepagi ini hanya pada hari Sabtu pada mata kuliah Pak Wari. Namun hari ini, yang tepatnya adalah hari Rabu, Agatha juga bangun pagi karna ---atau lagi-lagi karna Pak Wari.

Tak perlu waktu lama, dalam hitungan lima belas menit, Agatha sudah rapih meskipun matanya masih mengantuk.

Ia melirik meja belajarnya, disana sudah ada sebuah laptop yang masih dalam keadaan on. Ia ingat kalau semalam, ia lupa mematikan benda tersebut.

Dengan cepat, Agatha mematikan laptopnya dan melipat benda tersebut.

Setelah meraih laptopnya itu, Agatha berjalan cepat dan menyambar sepatu apapun yang ia lewati. Karna jujur saja, pagi ini ia tidak ada niatan untuk ke kampus ---apalagi untuk belajar.

Setelah memakai sepatunya, Agatha menuruni tangga ke lantai satu.

Sambil mengetik pesan kepada Naufal, Agatha melewati meja makan yang sudah diisi oleh ayahnya.

"Lah, Tha? Gak salah?"

"Gak, Pa." Agatha sudah tau kalau itu ayahnya yang sedang kebingungan melihat anaknya yang bangun pagi di hari Rabu.

"Mau ngampus apa shooting video?"

Sambil menjatuhkan diri ke kursi, Agatha menatap ayahnya sebentar, lalu mengambil selembar roti. "Kampus."

"Tumben."

"Papa hari ini mau ke ruko yang kemaren?" Agatha mencari topik lain. Ia bukan tipikal anak yang susah mencari obrolan di pagi hari dengan orang tua. Walaupun mereka jarang bertemu meski satu rumah, tapi Agatha akan selalu tau aktivitas ayahnya dari Bi Irma. Sang pengurus rumah.

Faris mengangguk setelah menyeruput kopi hitamnya. Ia baru saja membeli dua ruko bersebelahan beberapa waktu lalu untuk menambah usahanya. "Iya, rencananya Papa mau sewain lagi. Paling nanti mau ngurus ke jasa perantara."

Setelah menelan gigitan terakhir dari roti selai kacangnya, Agatha mengangguk. "Oh yaudah bagus, tapi bukannya di sana rame ya, Pa? Jadi tuh langsung pasang papan disewain juga banyak yang lihat, kan?"

Faris tersenyum kecil mendengar ucapan anaknya tersebut. "Bukan begitu caranya berbisnis Agatha," jawabnya. "Penyewaan properti gak se-gampang kamu jualan kacang di pinggir jalan."

Oh, My Stranger!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang