Prolog

12.5K 1.8K 154
                                    

  بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ  

"Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (QS. Al-Baqarah: 213)   

###


Dilla memeluk erat sehelai kain wolfis di dadanya. Matanya tak berhenti meneteskan butiran kristal bening, hingga hidungnya memerah dan membuat matanya menjadi sembab.

Dulu, ia selalu menolak, hingga memberikan seribu alasan agar tidak memakai kain suci tersebut. Padahal, tak pernah sekalipun, ayah lupa mengingatkan dan menyuruhnya sebagai seorang muslimah untuk menutup aurat.

"Sampai kapan kamu akan membuka auratmu Dilla? Pakailah jilbab ini, Nak, Ayah menyayangimu!"

"Nanti saja Ayah, aku belum siap, memakai pakaian seperti itu membuatku terlihat buruk, tidak modis, apa kata teman-temanku nanti?"

"Ajal tidak akan menunggu kesiapanmu, Nak."

Dulu, telinganya terasa panas hingga pengang dengan nasihat yang ayahnya berikan setiap hari. Muka masamnya selalu ia tunjukan pada Sang ayah jika merasa kesal. Sering cekcok karena keinginannya tidak diindahkan, bahkan tak segan membanting pintu dengan keras dihadapan ayahnya.

Bahkan karena suatu hal yang terjadi, membuat Dilla semakin membenci ayahnya.

Akan tetapi, kini ia begitu merindukan sosok tersebut. Rindu pertengkaran yang sering mereka lakukan, rindu akan belaian tangan pria paruh baya itu dikepalanya, rindu jika ayahnya mengendap-ngendap masuk ke dalam kamar, kemudian mengecup keningnya usai pertengkaran mereka. Dilla tahu kalau ayahnya itu sangat mencintai dan menyayanginya. Kini hanya rasa sesal dan sesak yang menghimpit hati Dilla, karena untuk selamanya, ia tak akan pernah kembali bertemu dengan cinta pertamanya itu.

Dilla turun dari ranjang, dengan perlahan ia melangkah menuju meja riasnya. Gadis itu duduk dikursi dengan pandangan  lurus ke arah cermin.

Sehelai kain yang ada dalam genggamannya itu ia lipat menjadi segitiga, tangannya gemetar saat ia pakaikan kain itu ke atas kepalanya. Saat itu,  ia seperti melihat ibu dan ayah tersenyum kepadanya, sosok itu terlihat begitu nyata, membuat Dilla kembali meneteskan air mata karena begitu merindukan mereka berdua, namun bayangan itu kembali lenyap saat Dilla menghapus air matanya.

Perlahan Dilla menyematkan peniti dijilbabnya. Ditatapanya pantulan cermin, Dilla merasa tidak mengenali dirinya sendiri. Namun, entah kenapa hatinya merasa damai saat ini? Jiwanya terasa tenang, kegersangan hatinya bak tersiram guyuran hujan yang deras, menumbuhkan kembali bunga yang telah mengering dan layu tersebut menjadi savana yang wanginya begitu semerbak, hingga kumbang serta kupu-kupu ikut berterbangan disana.

Dilla mengambil oksigen dengan sekuat tenaga sembari memejamkan mata hazelnya.

"Bismillahirrahmaanirrahiim, istiqamahkanlah aku ya Rabb," ucap Dilla dengan tekad dan keyakinan yang kuat.

...

DillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang