بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Bagi ayah, seberapa besar dan dewasanya dirimu, kau tetap putri kecil yang sangat ku cintai."
###Seminggu sudah berlalu, namun Gilang masih sulit untuk Dilla hubungi, semua pesan yang ia kirimkan hanya terlihat centang satu, panggilan juga tak pernah terhubung, bahkan gadis itu hampir setiap hari menyempatkan dirinya datang ke Gista cafe, pria itu juga tidak terlihat batang hidungnya disana. Henry, pegawainya bilang kalau Gilang sedang ke luar Negeri.
Dilla mulai berpikir, apakah Gilang menyerah? Apakah laki-laki itu sudah lelah berjuang untuknya?
"Enggak, Gilang enggak mungkin seperti itu," gumam Dilla meyakinkan dirinya.
Dilla menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan, makanan yang ia pesan, hanya ia aduk dan mainkan dari tadi. Padahal, menu yang dipesan adalah makanan favoritnya, akan tetapi ia benar-benar tak berselera akhir-akhir ini. Gadis itu menaruh kembali pisau dan garpu yang ia pegang ke atas piring, ia hanya meneguk sedikit milkshakenya, kemudian pergi dari cafe tersebut. Dilla ingin datang ke kosan Cantika, tetapi gadis yang gemar memakai jilbab tosca itu sudah tidak tinggal lagi di sana. Akhirnya, Dilla memutuskan untuk pulang ke rumah saja.
"Dari mana saja kamu, Dilla?"
"Bukan urusan Ayah," ketus Dilla.
"Sudah Ayah bilang, berhentilah menjadi seorang model! Untuk apa Magister Ekonomi kamu, jika bukan untuk melanjutkan perusahaan yang telah Ayah bangun?"
"Yang anak laki-laki itu bang Dhani, bukan aku. Dia saja yang melanjutkan bisnis Ayah."
"Dhani itu seorang polisi, mana ngerti dia urusan kantor?"
"Sampai kapanpun, aku tidak mau melanjutkan usaha ayah, dan aku tidak akan pernah sudi menginjakan kaki di tempat terkutuk itu," ucap Dilla makin berapi-api.
"Kamu boleh tidak mau melanjutkan perusahaan Ayah, tetapi Ayah mohon, berhentilah menjadi model. Lihat! Pakaian apa yang kamu kenakan, robek sana sini seperti gembel saja, dan punggung kamu juga terlihat dengan jelas Dilla, Ayah tidak suka," Ayahnya melunak.
"Pakailah pakaian yang tertutup Dilla, sampai kapan kamu mau membuka auratmu?" ayah memberikan paper bag yang berisi satu set gamis lengkap dengan kerudungnya.
"Pakaian seperti itu hanya membuat penampilanku terlihat buruk dan norak. Aku tidak mau memakainya," Dilla melemparkan paper bag yang diberikan ayah, membuat isinya berhambur kemana-mana.
"Dilla!"
"Apa, ayah ingin menjadikanku seperti Ibu hah, agar bisa kau sakiti?"
"Tampar saja aku hingga Ayah puas," Dilla memberikan wajahnya pada Ayah, "tampar aku, pukul aku, asal Ayah bisa mengembalikan Ibuku,"
Dilla setengah berlari saat menaiki tangga, kemudian ditutupnya pintu kamar dengan sangat keras, kenangan yang begitu menyesakkan terus saja berputar dalam kepalanya, kenangan yang membuat Dilla kesakitan luar biasa.
Flashback
Siang itu, Dilla yang masih mengenakan seragam putih birunya baru saja pulang dengan membawa piala, gadis itu merasa sangat senang karena berhasil memenangkan olimpiade matematika tingkat provinsi. Dilla menagih janji orang tuanya jika ia menang, mereka akan liburan ke puncak. Dilla yang sudah tidak sabar, menarik gamis ibunya untuk segera memberitahu ayah kalau ia berhasil menjadi juara pertama. Tak ingin membuat putrinya kecewa, Rani langsung mengantar Dilla ke kantor suaminya.
"Ibu aku ingin pipis," ucap Dilla
"Nanti saja pipisnya, bentar lagi kita sampai ruangan Ayah."
"Dilla sudah enggak kuat,"
"Sisil, antar Dilla ke toilet ya, saya mau ke ruangan bapak duluan,"
"Iya Bu, ayo cantik," ajak Sila pada Dilla.
Namun, saat sampai di ruangan, dengan kedua matanya sendiri Rani melihat seorang wanita duduk di atas tubuh suaminya, kedua orang itu sempat melihat Rani sebelum Rani keluar dari sana. Dilla yang baru saja sampai, kebingungan saat melihat Rani menangis, di usianya yang baru menginjak remaja, Dilla cukup mengerti apa yang terjadi saat melihat sang ayah mengejar ibunya, dan ia juga melihat wanita lain yang ada di belakang ayahnya.
Dilla berlari mengikuti kedua orang tuanya, sepanjang hidupnya, baru kali ini ia melihat ayah dan ibunya bertengkar dengan hebat. Rani menarik tangan Dilla untuk masuk ke dalam mobil, kemudian segera melajukan mobil meski suaminya terus mengetuk pintu kaca mobil dan menghalangi jalannya.
Sepanjang perjalanan, tak hentinya air mata mengalir dipipi Rani, sesekali ia menghapus air matanya dengan kasar sembari terus menyetir.
"Bu, jangan menangis!"
"Ibu tidak menangis sayang," elak Rani.
Saat dipertengahan jalan, sebuah truk pengangkut barang berada tepat di belakang SUV hitam yang Rani kemudikan kehilangan kendali. Truk kuning tersebut mencoba menghindar, namun sayang, kecelakaan tidak bisa dihindari. Truk tersebut menghantam mobil yang ada di depannya dengan keras, hingga kendaraan roda empat itu terpental sangat jauh.
Akibat hantaman itu, Rani dan Dilla terus berguling bersama mobilnya. Rani setengah sadar saat kepulan asap keluar dari mobilnya. Ia menjerit saat melihat dahi milik Dilla penuh dengan darah, padahal keadaannya juga tidak jauh berbeda dengan putrinya itu. Rani meminta pertolongan meski ia tidak yakin akan ada yang bisa mendengarkannya, apalagi lokasi di jalan ini cukup sepi.
Orang-orang mulai berdatangan dan berusaha mengeluarkan Dilla serta Rani dari dalam mobil.
"Selamatkan anak saya Pak, selamatkan anak saya!" pinta Rani sebelum ia kehilangan kesadarannya.
Sementara di tempat lain, Reza sangat terkejut saat mendengar istri dan anaknya mengalami musibah. Lelaki tersebut langsung melajukan mobilnya, saat polisi mengatakan bahwa Rani dan Dilla ada di Medica Hospital.
Kecelakaan itu membuat Dilla koma selama tiga bulan lamanya. Sementara, ibunya hanya dapat bertahan seminggu setelah peristiwa naas itu terjadi , dan meninggalkan Dilla untuk selamanya.
Dilla sangat terpukul, ia tidak menerima kehilangan ibunya, setiap harinya ia hanya menangis dan menangis. Gadis itu tidak ingin makan, minum, ataupun keluar dari dalam kamarnya. Kalaupun keluar gadis itu hanya pergi ke makam Rani dan menghabiskan waktunya di sana. Dilla sering berbicara sendiri dengan tatapan kosong, bahkan terkadang menjerit saat mengingat kecelakaan tersebut.
Atas bujukan Dhani, akhirnya Dilla mau untuk datang kepada psikiater. Kondisi mental Dilla mulai membaik, namun seiring itu juga Dilla melimpahkan semua amarahnya pada sang ayah, bagi Dilla orang yang sangat patut disalahkan adalah ayahnya. Karena pria itu lah, gadis belia seperti dirinya harus ditinggalkan ibu yang sangat dikasihinya.
Reza memang sakit ketika putri yang begitu ia cintai membenci dirinya. Namun, itu tidak seberapa sakit untuknya, dari pada harus melihat Dilla hancur dan kehilangan harapan hidup.
Baginya, biarlah ia yang hancur lebur dan menjadi abu, asal jangan putra dan putrinya.
...
![](https://img.wattpad.com/cover/145640649-288-k887851.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilla
SpiritualTayang setiap Jumat. Aku memang punya mata, tetapi penglihatanku hanya silau pada gemerlapnya dunia, sedang ia buta akan kebesaran Sang Pencipta. Aku memang punya telinga, tetapi pendengaranku hanya berfungsi pada inga7r bingar kebisingan dunia, se...