Tayang setiap Jumat.
Aku memang punya mata, tetapi penglihatanku hanya silau pada gemerlapnya dunia, sedang ia buta akan kebesaran Sang Pencipta.
Aku memang punya telinga, tetapi pendengaranku hanya berfungsi pada inga7r bingar kebisingan dunia, se...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Jodoh, rezeki, dan maut semua itu sudah dalam garis-Nya."
###
"Ika enggak mau nikah Budhe!" tolak Cantika sembari melepaskan cengkraman Martini yang tak lain adalah adik dari mendiang ayahnya.
"Sudahlah Nduk, kita tidak bisa menghindar lagi. Budhe pusing setiap hari dikejar-kejar para penagih. Hutang yang ditinggalkan bekas pengobatan almarhum bapakmu sangatlah besar."
Cantika bukan berasal dari keluarga biasa, ia masih keturunan darah biru di kota kelahirannya. Semua hartanya mulai habis, saat ayahnya harus bolak-balik rumah sakit untuk cuci darah.
Harapan Cantika meninggi saat ada donor yang cocok untuk ayahnya. Hingga ia dan budhenya pinjam sana-sini agar transplantasi ginjal tersebut cepat dilaksanakan.
Namun, takdir berkata lain. Operasi ayahnya gagal, hingga ia harus menjadi yatim piatu.
"Ika janji, pasti Ika lunasin semuanya Budhe. Ika mohon, jangan nikahin Ika Budhe!" jerit tangis Cantika tidak dihiraukan budhenya lagi . Wanita parubaya itu terus menyeret Cantika hingga memasuki ruang rawat yang ditempati oleh Jamal Zauhari.
Tepat di samping bangsal, duduk seorang pemuda yang sangat Cantika kenali.
Semasa putih abu, Cantika memang sempat memendam rasa suka pada badboy bernama Ragilang, si pembuat onar SMANSA saat di Jogja dulu.
Mereka bertemu kembali setelah lima tahun berlalu, saat Dilla membawa pria itu ketika wisuda dan mengenalkannya sebagai kekasih. Asa yang pernah Cantika harapkan harus dikuburnya dalam-dalam, bagaimanapun setelah kepergian kedua orang tuanya, selain kakak, budhe dan pakde, Dilla lah orang yang selalu ada untuknya dalam memberikan dukungan disaat tersulitnya.
Tepat saat cengkramam Martini terlepas, Cantika lebih dahulu keluar dari ruangan sebelum keluarga itu menyadari keberadaannya di sana. Cantika terus berlari sebisanya menyusuri koridor rumah sakit yang sangat luas ini. Langkahnya sia-sia, Martini sudah ada di halaman belakang.
"Mau lari lagi kemana kamu Nduk? Jangan lupa, lebih dari lima belas tahun Budhe bekerja di rumah sakit ini!"
"Budhe, lepasin!" ronta Cantika.
"Percuma Nduk, penghulu dan keluarga pak Jamal sudah menunggu kita," tolak Martini.
"Budhe boleh nikahin Ika dengan siapapun, tapi Ika mohon, jangan dengan keluarga pak Jamal. Ika mohon..."
Martini cepat-cepat membekap mulut Cantika dan bersembunyi dibalik dinding.
"Jangan coba-coba untuk teriak," bisik Martini.
"Kamu lihat Nduk, dua orang tinggi besar yang memakai jaket hitam itu! Mereka adalah orang yang sama, yang kemarin pukul Mas dan Pakde mu. Kamu enggak kasihan Nduk, sama Mas, sama Pakdemu, sama Budhe juga," Martini membalik tubuh Cantika agar berhadapan dengannya.
"Menikahlah Nduk, demi kebaikan kita semua. Agar almarhum Mas Arif juga tenang di sana," Martini menatap mata Cantika lekat.
Cantika pasrah, akhirnya dengan terpaksa ia menyetujui permintaan Budhenya.
Siang itu, tepat di ruang perawatan Jamal Zauhari, dengan dua orang dokter yang merangkap sebagai saksi, juga Farid, sang kakak sebagai wali nikah Cantika, dan beberapa orang dari kantor urusan agama, telah melangsungkan ijab qabul juga pencatatan sipil pernikahan Gilang dan Cantika.
"Terimakasih nak, Papa tahu kamu adalah anak kebanggaan Papa," setelah mengucapkan itu Jamal kehilangan kesadaran akibat pengaruh dari obat yang dimasukkan ke dalam tubuhnya.
"Lang, sebaiknya kamu antar istrimu pulang ke rumah, Papa biar Mama yang temani!" perintah Desi pada Gilang.
Tak banyak bicara, Gilang berjalan lebih dahulu, sedang Martini memberi kode agar Cantika segera mengikuti suaminya.
Di parkiran, saat Gilang hendak membuka pintu mobil, Farid lebih dahulu mencegatnya.
"Meskipun pernikahan ini dilakukan secara terpaksa. Sebagai kakaknya Cantika, saya mohon jangan pernah sekalipun menyakitinya!" setelah mengucapkab itu, Farid memutari mobil dan membawa Cantika beberapa langkah dari sana.
Lelaki itu memeluk adiknya dan tanpa terasa menjatuhkan air mata di punggung Cantika.
"Maafkan Mas, tidak bisa menjadi kakak yang baik buatmu. Ini semua salah Mas, sehingga kamu harus mengalami nasib seperti ini–"
"Psssst, Mas enggak boleh bilang seperti itu, Ika ikhlas Mas."
"Jaga dirimu baik-baik, satu hal yang perlu kamu ingat, masih ada Mas jika dia menyia-nyiakanmu. Mas pergi, assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam, jaga diri Mas juga."
Setelah menghapus air matanya, Cantika masuk ke dalam mobil Gilang. Hening meliputi keduanya, hingga mobil yang Gilang kemudikan sampai di kediaman orang tuanya.
Gilang membawa Cantika ke dalam kamarnya, kemudian menyuruh gadis itu untuk beristirahat, sedang ia sendiri bersiap untuk kembali pergi. Namun, saat Gilang memegang handel pintu, suara Cantika menghentikan tindakannya.
"Mas!" Gilang menoleh ke arah Cantika.
"Maafkan aku, karena aku, Mas harus terjebak dalam pernikahan ini," ucap Cantika lirih. Gilang tidak menjawab, kepalanya terasa begitu pening sehingga ia memutuskan keluar rumah untuk menjernihkan pikirannya.
***
Angin berembus dengan kencang, membuat kerudung yang Cantika kenakan menari-nari dibuatnya. Gadis itu tengah duduk dibalkon sembari memeluk lututnya sendiri, mata yang tengah bercucuran itu kemudian mendongak ke langit yang hitam, begitu pekat seperti perasaannya saat ini.
Cantika tidak bisa memaafkan dirinya sendiri, atas semua ketidak berdayaan untuk menolak pernikahan yang tidak diinginkannya.
Apa daya, ijab telah diikrarkan, dan karena kalimat sakral itu kini ia menjadi bagian dari keluarga Jamal Zauhari.
Dering ponsel membuyarkan lamunan Cantika, terlebih ia begitu kaget saat tahu siapa yang tengah menghubunginya.
"Maafkan aku Dilla, harus ada diantara kalian berdua, ini bukan inginku," gumam Cantika.
Sementara di tempat lain, Dilla tengah gusar, sedari siang perasaannya terus saja mengganjal, ia cemas dan gelisah, pikirannya terus mengkhawatirkan Gilang. Biasanya Dilla merasa agak baikan jika sudah menceritakan keluhannya pada Cantika, tapi gadis itu sama saja susah dihubungi.
"Mungkin Cantika sedang sibuk" gumam Dilla. Gadis itu menaruh kembali handphonenya di ranjang setelah lima kali panggilannya tidak dapat terhubung sama sekali.
Saat gadis itu ingin memejamkan matanya, dering handphone miliknya itu membuyarkan semuanya, apalagi sang penelepon adalah orang yang sangat dicemaskannya, Ragilang.