8

7.1K 924 44
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Hanya Cinta Allah yang tidak pernah mengecewakan makhluknya."


###


Hari ini Dilla sudah beraktivitas lagi seperti biasa, meski Mira memerintahkannya untuk istirahat saja karena kondisinya belum terlalu fit. Akan tetapi, kekeras kepalaan Dilla membuat Mira tak berkutik, ia akhirnya menuruti Dilla untuk pemotretan hari ini.

Dilla sudah beberapa kali ganti costum, tinggal beberapa shoot lagi dan ia bisa segera pulang.

"Ok, thanks ya Sasta, seperti biasa kamu selalu terlihat sempurna," ucap Dean sang fotografer.

"Kamu berlebihan, oh iya tadi Mira pergi sebentar katanya, tetapi aku mau pulang duluan, kasih tahu dia ya kalau ke sini. Aku lupa bawa handphone soalnya."

"Sip," ucap Dean.

"Ya udah, duluan ya Dean," pamit Dilla.

"Iya, hati-hati di jalan juga."

Saat di parkiran, Dilla merasa seseorang tengah memanggilnya.

"La, Dilla!" panggilan dari suara yang sangat dikenalinya itu, tak membuat langkah Dilla terhenti. Ia malah berjalan cepat-cepat, karena tidak mau bersitatap dengan Gilang. Sia-sia saja, ia hanya seorang perempuan, langkahnya kalah panjang dengan Gilang, dengan mudahnya laki-laki itu mencekal tangannya.

"Lepasin!"

"Setidaknya dengarkan penjelasan aku dulu," ucap Gilang sembari mendudukan Dilla di kursi belakang. Lelaki itu memutari mobil kemudian duduk di kursi kemudi dan segera melajukannya.

"Kenapa semua pesan aku enggak pernah kamu balas La? Aku hubungi kamu, enggak pernah kamu angkat, dan sekarang nomor mu sudah tidak aktif lagi,"

"Enggak kebalik Lang, kemana aja kamu selama ini?" emosi Dilla mulai terpancing. Gilang terdiam, tetapi ia terus melajukan mobilnya hingga sampai ke Gista cafe.

Akhirnya Dilla turun setelah Gilang membukakan pintu mobil untuknya, kemudian gadis itu duduk di meja yang sering mereka gunakan.

Melihat cafe ini dan para pegawainya, justru membuat hati Dilla semakin terasa sakit. Dulu, mereka memandang Dilla dengan hormat, sekarang malah tatapan iba yang ia dapatkan. Mungkin sebagian dari mereka sudah mengetahui bahwa yang Gilang nikahi bukan dirinya, melainkan Cantika yang notabene adalah sahabatnya yang juga pernah ia bawa kemari.

Nama cafe ini saja adalah gabungan namanya dan juga Gilang. Bahkan mereka sempat berencana, akan memberikan nama itu pada putrinya kelak. Sekarang semuanya sudah hancur, jangankan anak ataupun pernikahan, bagi Dilla untuk bersama pun tidak akan pernah bisa terjadi lagi setelah ini.

"Maafkan aku La, semua ini memang salahku. Hanya kamu yang aku cintai La, hanya kamu."

"Cinta! Tetapi kamu malah menikahi sahabatku, bukan, pengkhianat bukan sahabat."

"Aku terpaksa, aku terpaksa La. Papa kritis, dokter bilang Papa enggak bisa bertahan lebih lama lagi, dan permintaan terakhir Papa adalah aku harus menikahi Cantika," Dilla benar-benar sakit saat Gilang menyebutkan nama wanita itu, hingga air matanya luruh.

"Apa kurangnya aku dibandingkan dia Lang? Apa yang enggak aku punya dari dia, hah apa? Kenapa harus dia?"

"Pernikahan ini hanya sementara La, aku akan pergi ninggalin dia. Hanya kamu yang aku inginkan dalam hidup, hanya kamu, satu-satunya wanita yang aku cintai. Aku akan ceraikan dia demi kamu."

Plak

Tamparan keras, mendarat begitu saja dari tangan Dilla membuat pipi Gilang merah seketika.

"Jangan pernah jadikan aku sama seperti Ajeng ataupun perempuan murahan lainnya!"

"Kamu sudah dewasa Lang, kamu bukan kanak-kanak yang dengan sesuka hati merubah keputusanmu kapan saja. Dengan memilihnya, berarti hubungan kita sudah berakhir. Aku dan kamu, kita SELESAI!"

Dilla beranjak dari kursi, kemudian ia berlari, beruntung ada taksi yang lewat dan ia langsung pergi meninggalkan tempat itu.

Gilang adalah orang pertama yang membuat Dilla mempercayainya hingga gadis itu mau membuka hati dan mencintainya. Kini, Gilang juga yang menghancurkan rasa cinta dan kepercayaannya, membuat Dilla lebih membenci cinta daripada sebelumnya.

Bagi Dilla semua ini sudah berakhir. Dalam hidup, cinta memang tidak pernah memilihnya apalagi berpihak padanya.

Sementara Gilang hanya bergeming, ia mencintai Dilla, sangat. Akan tetapi ia tidak bisa menolak permintaan papanya kali ini, ia memang menikahi Cantika tetapi ia tidak bisa memberikan hatinya.

"Maafkan aku La," lirih Gilang.

***

Allaahu akbar Allaahu akbar

Bertepatan dengan kumandangnya adzan, setumpuk kain jatuh ke atas kepala Dilla saat gadis itu sedang membuka lemari. Padahal isi lemarinya selalu rapi, tidak pernah berantakan seharipun, tetapi aneh sekali setumpuk kain ini bisa sampai jatuh.

Satu persatu, baju yang terjatuh itu Dilla letakkan kembali ke tempat semula, tangan Dilla terhenti saat hendak memasukan mukena berwarna dasar pink dengan motif jumputan, mukena ini adalah pemberian dari Ibunya saat ia ulang tahun yang ke empat belas, beberapa bulan sebelum Rani meninggal. Dilla tertawa saat mengingat kejadian itu, dulu mukena ini sangat kebesaran di tubuhnya, sehingga ia tidak perlu memakai rok mukena saat shalat saking panjangnya.

Sudah lama sekali ia tidak pernah memakai mukena itu lagi. Tanpa sadar, Dilla memakai mukena itu ke tubuhnya. Sekarang, mukena ini sudah pas. Dilla melihat wajahnya sendiri di cermin, "Bu, sekarang aku mirip denganmu tidak?" ucap Dilla sembari tersenyum.

"Mungkin kalau Mira yang memakainya, ia yang akan persis denganmu Bu, ah aku jadi semakin iri dengannya," Dilla bermonolog, kemudian melepas mukena yang dipakainya, ia kembali melipatnya dan memasukannya ke dalam lemari.

Akan tetapi, mengapa ada perasaan tidak rela saat ia melepaskan mukenanya itu?

DillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang