بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia."
Sayyidina Ali bin Abi Thalib
###
Apapun yang terjadi, hanya kamu yang aku cintai Sasta Dilla Maharanie
Ungkapan Gilang semalam terus saja terngiang di kepala Dilla, karena hal itu pula, tadi sore sehabis bekerja ia memutuskan untuk datang ke apartemen lelaki tersebut.
Nihil, Dilla tidak menemukan Gilang di sana, datang ke apartemennya justru membuat Dilla sedih dan merasakan ketakutan yang amat, saat ibu dari pria yang ia cintai tersebut menyerahkan undangan dan berkata bahwa Gilang sudah menikah.
Kertas undangan yang kini ada dalam genggaman Dilla, gadis itu remas dengan kuat. Dilla menyandarkan tubuhnya ke tembok, wajahnya menengadah ke atas sembari menutup mata.
Dilla menggeleng dengat kuat, keningnya mengerut, gadis itu semakin takut, takut bahwa apa yang didengarnya hari ini adalah sebuah kebenaran. Keyakinan Dilla pada Gilang, sekarang telah berkurang. Sekeras apapun ia menampik, Dilla tak dapat membohongi kalau hatinya kini terasa sakit.
"Aku harap ini semua hanya sebuah mimpi, dan esok hari ketika aku terbangun, semuanya akan kembali normal," Dilla bermonolog.
***
Keesokan malamnya, Dilla bersiap menuju Grand Hotel. Saat turun dari taksi, Dilla segera mencari toilet untuk memperbaiki penampilannya, meski sebenarnya itu tidak perlu dilakukan. Dilla melihat dirinya sendiri di cermin, sementara tangannya yang gemetaran, bertumpu pada pinggiran wastafel. Dilla segera beranjak dari tempat itu, setelah merasa dirinya lebih baik.
Sepanjang perjalanan nenuju ballroom, Dilla terus merapal kalau semuanya akan baik-baik saja. Dalam hati ia berharap, kalau pesta yang terselenggara hari ini bukan milik Gilang.
Semua tamu yang hendak masuk, diminta menyerahkan undangan oleh pria tambun yang memakai pakaian serba hitam.
Dilla sendiri, membuka clutch silver yang dibawanya, dan menyerahkan undangan yang sudah tidak berbentuk itu, sedang pria bertubuh gempal itu mengerutkan dahinya sembari melihat heran ke arah Dilla, namun tetap mengijinkan gadis itu masuk.
Langkah Dilla semakin terasa berat, namun gadis itu tidak mundur barang satu langkah pun. Sampai dalam jarak beberapa meter, Dilla dapat melihat dengan jelas bahwa mempelai pria memang Gilangnya. Detik itu juga, air mata Dilla luruh.
Dilla tidak rela, benar-benar tidak. Hatinya terasa ditusuk belati, panas juga perih.
Bukankah kamu akan terus berjuang Lang
Bukankah hanya aku yang kamu cinta
Tetapi, mengapa kau memberi aku luka?
Pandangan Gilang bertemu tepat dengan netra milik Dilla. Gadis itu bergeming, ia tidak sanggup untuk melangkah lagi. Sebelum ada seseorang yang membawanya pergi, Dilla melihat sosok di samping Gilang, mempelai wanita yang meskipun saat ini wajahnya terhalang oleh cadar, melihat mata dan bentuk tubuhnya saja Dilla tahu bahwa dia adalah sahabatnya sendiri. Dilla sungguh tidak menyangka, tempat berkeluh kesahnya sendiri lah yang menaburkan garam pada luka yang ia terima.
C untuk Cantika
"Lepaskan aku!" perintah Dilla pada seorang pria, tapi pria itu tidak mengindahkannya. Pria itu terus membawa Dilla hingga ke bawah. Ternyata pria yang membawanya sekarang adalah Dhani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilla
SpiritualTayang setiap Jumat. Aku memang punya mata, tetapi penglihatanku hanya silau pada gemerlapnya dunia, sedang ia buta akan kebesaran Sang Pencipta. Aku memang punya telinga, tetapi pendengaranku hanya berfungsi pada inga7r bingar kebisingan dunia, se...