HARI Sabtu, biasanya hari dimana Gify sangat hyperaktive. Dirinya paling bersemangat tentang apapun yang menghubungkan kata Sabtu-Minggu. Di hari Sabtu, dirinya akan pergi menonton film dengan Naya dan Lani. Dan Minggunya ia habiskan untuk tiduran di kasurnya sampai jam sepuluh pagi. Namun, Sabtu ini Gify rasanya ingin melenyapkan diri. Dia terus-terusan dilema dengan sikap Mamanya tadi malam. Gify terus melamun dengan kepala yang bertumpu di tangan kirinya. Sedangkan pandangannya lurus kedepan. Sempat beberapa kali Lani menanyakan keadaan Gify, tapi dijawab gelengan kepala oleh Gify.
Sedari tadi, pikiran Gify terus berkecamuk. Sampai rasanya kepalanya pusing. Tak kuat, Gify memutuskan ke UKS. Gify berdiri, berjalan loyo ke arah pintu kelas. Disambut pertanyaan oleh Lani.
"Mau kemana Fy?" Gify yang mendengar perkataan Lani langsung menoleh.
Bibirnya seakan kering untuk sekedar berucap, hingga akhirnya hanya satu kata yang terucap, "UKS."
Pandangan Lani kini beralih menatap Naya. Seolah meminta pendapat. Namun, Naya hanya mengedikkan bahunya. "Gue anter ya?" Tanya Naya yang masih setia duduk di bangkunya.
Gify menggeleng pelan, "Gak usah. Gue bisa sendiri. Ijinin ke Pak Romlan aja." Tutur Gify.
Kini Gify berjalan amat pelan. Karena dia merasakan kepalanya yang amat sakit. Apalagi jarak UKS dengan kelasnya lumayan jauh. Dia harus melewati lorong kelas sepuluh olim. Barulah dia sampai di UKS yang sangat sepi. Bahkan langkah kakinya saja sampai terdengar.
Gify kemudian membuka tirai. Dia merebahkan badannya di matras UKS yang empuk. Lalu menyibakkan tirai lagi untuk menutupi dirinya. Gify mencoba menutup matanya agar bisa tidur. Tapi, tirainya di buka oleh seseorang. Mata Gify masih terpejam. Pikirannya jadi parno kemana-mana. Bisa saja yang menyibakkan tirai itu bukan manusia.
Namun pikiran gila Gify akhirnya musnah kala terdengar suara seseorang. "Hey! Lo sakit?" Suara itu. Jantung Gify berdebar cepat. Dengan cepat, dia menguasai dirinya kembali.
Gify membuka matanya, kemudian menolehkan kepalanya ke kiri. "Buat apa gue ke UKS kalo gak sakit?" Cecar Gify. Menurut dia, pertanyaan cowok itu cukup tidak penting. Tapi bagaimanapun, dia harus terlihat tidak salting.
"Ya kirain lo bolos." Jawab cowok itu. Kini Gify dan cowok itu tidur berdampingan tapi berbeda matras. Cowok itu memalingkan badannya menghadap Gify. "Btw, nama lo siapa?"
Kening Gify berkerut samar, "Gify." Jawabnya dengan nada dingin. Sebenarnya, judesnya Gify hanya dibuat-buat. Agar terlihat seolah-olah memang tak kenal.
Ingin rasanya Gify berteriak, OMG DIA NANYA NAMA GUE!
"Oh. Gue Aldo. Aldo Danesgara. Kalo lo mau cari gue, gue di kelas dua belas ipa empat, lantai tiga."
"Masa?"
"Yoi."
"Masa gue nanya?" Mendengar kalimat Gify, raut muka Aldo menjadi masam. Bisa-bisanya seorang cewek mengibulinya.
"Siapa tau lo mau nyari gue." Aldo masih saja dengan raut percaya diri. Melihatnya, Gify berasa ingin muntah, atau lebih tepatnya melambung tinggi.
"Pede banget." Ucap Gify pelan. Namun Aldo tetap mendengarnya. "Diem, jangan ganggu gue!" Gify menutup tirainya. Kemudian mencoba tidur. Tapi, dia tidak bisa menahan senyum di biburnya dan jantung yang berdetak hebat. Sayup-sayup dirinya mendengar ucapan Aldo.
"Gify. Nama lengkap Gify Meradita Joraya. Jabatan sekretaris osis. Mantep juga ya."
"Darimana lo tau?" Tanya Gify tanpa menyibakkan tirainya.
Aldo tertawa, "Narasumber gue di sini banyak kali."
"Dasar tukang kepoan." Sindir Gify.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/144581940-288-k82178.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
Teen FictionTakdir memang tak ada yang tahu. Seberapa keras perjuangan kita untuk merubahnya, takdir tidak bisa dirubah tanpa kehendak Tuhan. Layaknya pertemuanku denganmu dan dengannya. *** Rega si Bad Boy sekolah dengan sifat dingin dan tak acuh dengan sekita...