7

2 2 2
                                    

BERMENIT menit sudah Gify lalui. Dirinya hanya diam pasrah. Bahkan dia sama sekali tidak mengubah posisi duduknya di kursi empuk milik guru yang menyebalkan. Sambil memainkan jarinya, Gify berpikir keras untuk mengucapkan alasan apa yang pas untuk dia berikan di Pak Aston. Sedangkan Pak Aston sendiri masih sibuk mengoreksi ulangan anak-anak. Gify yang berada di depannya saja diacuhkan. Diacuhkannya Gify, membuat dia semakin takut. Menurutnya, lebih baik diceramahi daripada didiamkan seperti ini.

Sesekali Pak Aston mendongak menatap Gify. Tapi tatapan itu tidak berlangsung lama. Pak Aston beralih kepada kertas yang ditangannya. Setelah kertas terakhir  yang dia genggam, matanya menatap Gify tajam.

"Gify." Ucap Pak Aston dengan nada yang ditekan. Membuat Gify merinding ketakutan.

Gify mendelik. "I..iya Pak?" Tangan Gify gemetar hanya untuk sekedar menjawab Pak Aston. Gurunya itu lebih menakutkan daripada Bu Puji. Kalau Bu Puji kebiasaan marah dan ceramah. Tapi berbeda dengan Pak Aston, beliau tegas menyikapi sesuatu yang benar-benar fatal.

"Bapak lagi galau!" Serunya. Membuat Gify sangat sangat terkejut. Bagaimana mungkin? Gify kira dia akan dihukum atau dimarahi. Tapi kenapa malah begini?

"Ga...galau Pak?" Tanya Gify memastikan.

Raut muka Pak Aston berubah menjadi sedih. "Saya tuh punya pacar di Aussie. Namanya Adrey. Dia selingkuhin bapak Fy! Padahal saya sudah mati-matian jaga perasaan bapak buat dia. Aiiish! Mana bapak difitnah kalau selingkuh dengan Bu Rosmalina. Gimana Fy?"

Gify meneguk ludah. Dia bingung dengan penuturan Pak Aston yang terlalu mengejutkan. "Menurut saya Pak, kalau orang saling mencintai itu bakal berkorban menghadapi seribu masalah demi kesetiannya. Cuman, dari cerita bapak, saya bisa nyimpulin kalau pacar bapak, maaf ya Pak, dia nggak baik buat bapak." Sesaat kemudian Gify tersenyum. "Ada saatnya rasa percaya kepada orang yang kita cintai itu bisa hangus, Pak. Jangan sia-siain hidup bapak untuk dia."

"Kamu, bikin saya terharu." Pak Aston seolah-olah mengelap air mata di sudut matanya. "Jadi, saya putusin saja Adrey?" Tanyanya.

"Itu keputusan Bapak. Saya nggak bisa ikut campur." Jawab Gify selembut mungkin.

"Gimana hubungan kamu sama Aldo?" Sergah Pak Aston cepat yang membuat Gify bergeming. Dia hanya tersenyum kaku. Tak berani menjawab pertanyaan sakral itu. Apalagi jika menyangkut dengan Aldo. "Kamu pacarnya kan?"

Gify menggeleng. "Nggak Pak. Saya nggak jadian sama Kak Aldo."

Pak Aston tersenyum menggoda. "Kalau suka ya jangan sok menjauh lah. Saya tau kok kalau kamu suka dia. Aldo juga anaknya baik. Walaupun kadang nyleneh ikut-ikut Rega." Pak Aston menyeruput sedikit tehnya. "Mentang-mentang anak pemilik sekolah, gitu kelakuannya." Lanjut Pak Aston.

"Anak pemilik sekolah? Siapa Pak?" Tanya Gify penasaran.

"Itu si Rega. Namanya aja jelas-jelas Alrega Galaksi Robinson." Jelas Pak Aston membuat Gify mematung sejenak memproses kata-kata gurunya.

Oh jadi anak pemilik sekolah, pantesan. Ujar Gify dalam hati.

Gify melihat jam tangannya. "Sudah sore Pak, saya ijin pulang ya Pak? Permisi."

Pak Aston mengangguk. "Hati-hati kalau naik mobil," Gify mengangguk paham. Pak Aston tersenyum. "Jangan bilang orang-orang ya Fy, bapak percaya sama kamu.

"Iya Pak!"

***

"Jadi Rega itu emang anak pemilik sekolah?"

"Iya, lo gimana sih kok baru tau?" Suara melingking Naya memenuhi indra pendengaran Gify. "Darimana lo tau?"

Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang