"Aku memang nggak secantik Kakak, mah. Mamah selalu banggain Kakak, sedangkan aku di sini dijadikan kambing hitam!" teriak gadis itu marah. Dirinya sudah tidak kuat mendengar cemoohan dari orang yang dia sayang.
Sedangkan yang dimarahi berdecak malas. "Mama selalu turutin apa maumu! Jelas mama banggain Intan! Dia lebih baik daripada kamu, Fela!"
"Mana ada orang yang nggak sakit hati saat dirinya dibandingkan?! Tuhan menciptakan manusia itu berbeda Ma. Aku nggak bisa sama kayak Kakak! Iya, aku emang nggak secantik Kakak, nggak sepinter Kakak. Lalu apalagi alasan mama buat bedain aku sama dia?!" teriak Fela marah. Dia sudah masa bodo dengan siapa dia berteriak. Hatinya terlalu sakit untuk memendam semua.
"Satu lagi. Intan nggak pernah ngambil uang mama!" Sindirnya. Fela tertawa. Semakin lama semakin keras.
"Tetap aja. Mama selalu mikir kalau aku yang ngambil kan? Coba deh, jangan negative thinking mulu. Lalu, kalau mama bisa bertanya seperti itu. Kenapa aku tidak bisa bertanya?" Fela tersenyum licik setelahnya. "Mama adalah orang ketiga dari rumah tangga Om Han kan? Jujur aja! Orang buta aja pasti tau ma!"
Mamanya terlihat mati kutu. Bahkan sampai berdiri kaku. "Setiap kalimat yang keluar dari bibir mama tentang Om Han, selalu aja mama banggain dia. Bahkan sampai mama njelekin Papa. Aku tau, Papa emang nggak sekaya Om Han. Tapi apakah mama tau? Dengan papalah mamah pertama kali. Sampailah hadir aku dan kakak. Lalu setelah bertemu Om Han sialan itu mamah beralih haluan? Cih!" Ejekan Fela ternyata memancing emosi mamanya. Tapi bagi Fela, memang benar itu faktanya. Toh, dia sudah bodoamat.
"JAGA BICARAMU! NGGAK INGAT? PAPAMU ITU NGGAK ADA DUIT! YANG NYEKOLAHIN KAMU SIAPA? APA PAPA KAMU HAH? MAMA KAN?!"
"Iya. Mama yang nyekolahin aku. Mama yang selalu beliin aku semuanya. Mama yang selalu nurutin keinginanku. Tapi, semakin ke sini. Aku jadi tau. Papa yang gak pantes sama Mama! Bukannya mama yang gak pantes sama Papa! Mama itu egois. Selalu merasa sok cantik, sok muda, sok paling wah. Sampai Mama ngerendahin orang lain demi pujian buat diri Mama sendiri. Yakan? Itu sama aja menjijikan. Terlebih lagi Mama terlihat menyedihkan," ucap Fela sinis.
"FELA! Kamu sendiri yang bilang mama cantik!"
"Kalau aku bilang nggak, mama bakalan tetep maksa kan? Cuman, kurang-kurangi deh mah, rasa sombongnya. Bikin orang muak. Maaf juga kalau Fela jadi kayak gini," matanya beralih menatap mama dengan pandangan meminta maaf. Sedangkan mamanya hanya meliriknya sekilas. "Mama gak perlu khawatir. Kali ini Fela bakalan mandiri, sambil cari keberadaan Papa." lanjutnya.
"Maksut kamu apa, Fela?" tanya Mamanya yang setengah membentak.
"Aku bakalan pergi dari rumah ini. Sambil nyari Papa. Fela juga pingin belajar mandiri. Biar ada yang Mama banggain sama diri Fela."
Belum sempat Mamanya menjawab, Fela langsung masuk ke dalam kamar. Dirinya mengemasi pakaian-pakaiannya ke dalam tas besar miliknya yang biasa digunakan untuk acara camping. Sambil membawa handphonenya, Fela keluar kamar. Mama yang awalnya duduk di sofa langsung berdiri. Fela menyalimi tangan kanan Mamanya.
"Fela pergi dulu. Untuk saat ini, beri Fela waktu. Jangan pernah cari Fela," tuturnya lirih. Mamanya mengangguk paham sambil meremas ujung kaosnya. Mungkin mamanya baru menahan tangis yang akan keluar. "Kartu ATM aku tinggal."
Setelah itu Fela melangkah pergi. Dia kira mamanya akan menahannya untuk tidak pergi. Tapi dugaannya salah. Mamanya sama sekali tidak menahan. Bahkan langsung memasuki kamarnya. Hati Fela rasanya seakan teremas. Dalam hati Fela membenarkan, bahwa yang berada di hati mamanya hanyalah Intan. Tidak ada dirinya di sana. Apalagi saat satu persatu masalah datang yang mengambing hitamkan dirinya. Mamanya bahkan tidak percaya sama sekali dengan dirinya.
"Bahkan di saat seperti ini, dia tidak menahanku untuk tetap tinggal." Batin Fela dengan menahan tangisnya.
***
"Fela? Lo abis darimana bawa tas segede ini coba?!"
Fela menggaruk bagian belakang kepalanya. "Eum sorry Fy. Gue pergi dari rumah. Yah, yang ada di otak gue cuman lo. Apalagi gue paling akrab sama lo doang."
Gify berdecak. "Ya ampun Fela! Lo bikin gue khawatir aja. Yaudah yuk masuk." ujarnya. "Kalo lo ada masalah, cerita sama gue. Lagipula juga ada Naya sama Lani kan? Kita siap bantu lo."
"Gue gak enak Fy. Sorry kalau gue ngerepotin. Gue boleh ya nginep di sini sampai gue dapet pekerjaan?"
"Yaboleh lah. Kenapa nggak, coba?"
Mereka berjalan menaiki anak tangga. Gify yang memimpin jalan ke arah kamarnya. Sedari tadi yang dilakukan Fela hanya menunduk dengan sesekali melihat ponselnya. Fela terlihat sangat gelisah.
Bahkan di saat seperti ini, Gify ragu untuk menanyakan apa masalah Fela. Sepertinya masalah Fela sungguh berat sampai-sampai dia memilih pergi dari rumah. Yang dilakukan Fela setelah sampai di kamar Gify adalah duduk di sofa sambil melamun menghadap ke arah TV.
Gify sampai mendengus. Mungkin dengusan halu Gify terdengar oleh Fela.
"Gue ada masalah," katanya tiba-tiba. Gify terperangah sesaat. "Sama nyokap gue," lanjutnya.
"Kalo lo belum siap cerita, jangan cerita dulu. Gue di sini bantu lo sebisa gue. Jadi kalau lo belum memutuskan untuk cerita. It's oke."
Fela menggigit bibir bawahnya tampak terlihat resah. "Lo terdengar kayak bukan Gify, tau?"
"Beda spesies ah."
"Mana ada bego!" Fela menimpali Gify dengan tawanya yang sedikit dipaksakan mungkin? Melihat Fela yang kembali tertawa, Gify pun ikut tertawa. "Gue bingung darimana gue cerita. Intinya gue berantem sama nyokap. Dia selalu belain kakak gue. Gue di anggep sebelah mata. Lo mungkin juga gak tau gimana rasanya."
Gify meringis sebentar ketika Fela mengatakan secara tidak langsung bahwa dirinya tidak memiliki saudara. "Kan emang gue anak tunggal." Gify menanggapinya dengan santai. Dia tidak mau diambil hati. Toh yang dikatakan Fela benar adanya.
"Rasanya sakit, Fy. Gue gak tahan. Gue bisa gila kalau terus-terusan di rumah itu. Makanya gue minta tolong banget sama lo. Lo gak keberatan kan Fy?"
Gify menggeleng. "Gue malah seneng punya temen di rumah kali. Udah have fun aja," kata Gify antusias. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran Fela di rumahnya membuat rumah Gify tidak sepi lagi. Mungkin juga Gify bisa sedikit membantu keadaan Fela.
Entah itu menjadi pelayan di kafe milik mamanya. Berpikir seperti itu membuat Gify teringat bahwa dirinya belum memberitahu mamanya jika Fela datang kemari. Ah, mungkin besok pagi saja.
---

KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
Fiksi RemajaTakdir memang tak ada yang tahu. Seberapa keras perjuangan kita untuk merubahnya, takdir tidak bisa dirubah tanpa kehendak Tuhan. Layaknya pertemuanku denganmu dan dengannya. *** Rega si Bad Boy sekolah dengan sifat dingin dan tak acuh dengan sekita...