Potongan Kue Terakhir Untuk Ara

113 3 2
                                    

Aku Jon. Nama lengkapku Joni. Aku lelaki dua puluh enam tahun. Tinggiku seratus enam puluh sembilan centimeter, berat lima puluh lima kilogram, mata dua, telingan dua, hidung satu, dan kulit sawo matang.

Aku bekerja dan tidak pengangguran. Aku bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta di kota. Aku bekerja dari hari senin sampai jumat. Pukul enam pagi aku berangkat, dan pukul empat sore aku pulang. Setelah pulang pun aku tak langsung mandi dan tidur.

Sore hari aku bekerja sebagai lelaki panggilan. Aku driver transportasi berbasis online. Aku tak pernah lelah dengan dua pekerjaanku ini. Aku selalu menikmatinya dengan hati riang.

Sebenarnya, gajiku sebagai karyawan sudah sangat cukup untuk memenuhi segala kebutuhanku. Namun pada zaman ini, hidup dengan kata “cukup” saja tak bisa diterima. Apalagi dalam masalah percintaan. Tak peduli seberapa gagah dan kerennya kau, jika tak punya uang, maka kau tak laku.

Aku pernah mengalaminya. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku tak pernah putus asa karena hal tersebut. Aku selalu berfikir positif. Mungkin Tuhan sayang kepadaku. Tak di dekatkannya aku dengan perempuan mata duitan.

Aku selalu bersyukur, karena aku tau rencana Tuhan akan indah pada waktunya.

⏺⏺

Hari ini hari sabtu. Aku libur bekerja sebagai karyawan. Aku juga ingin lepas sejenak sebagai lelaki panggilan. Aku ingin menghirup udara kota lebih lama.

Aku putuskan untuk keluar jalan-jalan. Pukul delapan pagi, kutinggalkan flat kecilku. Kulangkahkan kakiku tanpa arah. Banyak tempat yang telah aku lalui seperti taman kota, lapangan basket, tempat parkir, jejeran toko-toko pakaian, hingga wc umum.

Sekarang, aku sudah duduk manis di salah satu pojokan di dalam mall. Aku lihat banyak orang yang lalu lalang. Mataku bergerak cepat memperhatikan segala bentuk di dalam mall ini.

Akhirnya mataku berhenti pada spot jejeran toko makanan. Aku putuskan untuk mendekatinya. Banyak sekali makanan yang mereka jualkan. Mulai makanan tradisional sampai makanan yang namanya saja sudah membuatku harus kembali lagi ke bangku sekolah.

Aku terhenti di salah satu toko. Nama tokonya Toko Kue. Nama yang simpel tapi pas. Tidak seperti nama toko-toko kebanyakan. Tanpa pikir panjang, aku masuk kedalam. Hal pertama yang kudapati adalah wangi semerbak dari kue-kue di etalase. Wanginya lebih dari parfum sembilan ribu yang kupakai.

Aku lihat satu persatu kue yang “di pajang”. Kue-kue ini seperti memanggil-manggil namaku. Seolah-olah mereka berkata “rogoh uang di sakumu dan bawa aku pulang bersamamu”.

Akhirnya aku terhasut. Aku beli salah satu kue di toko ini. Kue rasa coklat. Rasa makanan kebanyakan. Sebelum aku langkahkan kakiku keluar, pedagang kue  berkata padaku, “jangan terlalu lama kau simpan kue  itu. Jika tak kau makan atau tak kau bagi pada orang lain, maka bakalan basi”.

Aku jawab saja dia dengan kata “oke”.

⏺⏺

Aku pegang dengan  kedua tanganku kue yang kubeli tadi. Kulihat dengan seksama kue ini. Jika di potong, maka cukup untuk empat orang. Aku tak akan sanggup untuk makan semuanya.

Aku putuskan untuk memberikan sepotong demi sepotong kue ini kepada orang yang kutemui disepangjang jalan ke flat kecilku. Tapi muncul keraguan dalam hatiku. Apakah ada orang yang mau makan kue pemberianku?.

Aku coba lenyapkan pertanyaan itu dalam otakku. Aku hanya ingin memberi kue. Suka atau tidak, kita lihat saja nanti.

⏺⏺

Aku bertemu Nia. Nama lengkapnya Tania. Dia perempuan pertama yang kujumpa di dekat lapangan basket. Dia duduk manis sendiri di deretan kursi penonton. Aku beranikan diri untuk duduk disebelahnya. Dan mulai kutawarkan sepotong kue kepada Nia.

Andai Engkau TauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang