Diari ini kutulis untuk perempuan yang mati tadi pagi.
Kring, Kring, Kring, itu bukan bunyi sepeda. Itu bunyi jam waker bututku. Sengaja kusetel jam 6 pagi untuk membangunkanku dari kasur berliur ini.
Aku jarang sekali bangun sepagi ini. Biasanya tidak cukup jam waker saja membangunkanku, tapi juga butuh suara ibu yang bisa menggetarkan seluruh alam raya ini.
Aku sengaja bangun sepagi ini untuk lari pagi di gelanggang olahraga dekat rumahku. Aku merasa badanku sudah tak sexy lagi. Ada sebongkah lemak yang mulai muncul diperutku. Itu membuatku risih. Maka lari pagi kuanggap solusi untuk menghilangkannya.
Dan disinilah aku sekarang, gelanggang olahraga dekat rumah. Kupikir aku sanggup lari keliling lapangan bola ini 7 kali. Tapi apa yang terjadi, baru setengah putaran saja, nyawaku sudah hendak mau pergi dari tubuh payah ini.
Tak mau kupaksa tubuh ini berlari, kucoba cari tempat duduk untuk istirahat barang sejenak.
⏺⏺
Dengan penglihatan yang mulai kabur, akhirnya kutemukan tempat duduk di pinggir kali. Kebetulan galanggang olahraga ini dekat dengan kali yang sering dijadikan tempat lomba balap dayung sampan.
Nafasku hilang timbul. Kupikir apakah ini akhir hidupku?. Kurasa tidak. Baru kuingat aku lupa sarapan dirumah tadi. Mungkin ini penyebab kenapa tubuhku lemah.
Kusandarkan tubuhku dikursi. Mulai kutemukan ritme nafas yang normal. Udara pagi yang sejuk datang menghampiriku. Aku seperti hidup kembali.
Baru saja kudapat nyawaku kembali, aku dikejutkan dengan sesosok perempuan yang duduk diam disampingku. Aku tak menyadari kehadirannya. Apa karena tadi penglihatanku tidak jelas?. Aku penasaran.
⏺⏺
Dua menit berlalu sejak keterkejutanku tadi. Perempuan ini tidak bergerak sedikitpun. Maksudku dia hanya diam terpaku saja. Pandangannya tertuju lurus kedepan. Entah apa yang sedang dia pandang. Sehingga dia diam membisu dan tak menganggap aku disampingnya.
Kuperhatikan perempuan itu dengan seksama. Usiannya tak jauh berbeda denganku. Mungkin sekitar angka 18san. Rambutnya hitam lurus sebahu. Kulitnya kuning langsat. Tapi kali ini kuning langsat yang terlalu pucat.
Dia memakai baju kaus warna biru gelap dengan rok hitam sampai menutupi tulang keringnnya. Hendakku melihat bola matanya. Tapi aku tak berani. Belum sempat niatku terwujud, dia menoleh kearahku tanpa aba-aba sedikitpun. Itu membuatku sedikit terkejut.
Mata kami saling pandang sekitar satu menitan. Tak ada sepatah katapun terucap. Entah mengapa bibirku tak bisa kugerakkan. Pandangan matanya seolah-olah menghipnotisku.
Damn, aku lumpuh oleh bola mata coklatnya.
⏺⏺
Butuh tenaga lebih untuk kembali sadar. Kuberanikan untuk menyapanya. “Hai”, hanya itu yang bisa kukatakan. Lamaku menunggu, tapi tak ada respon darinya. Sempatku berpikir apakah dia bisu atau tuli.
Kucoba sekali lagi menyapanya. “Hai, namamu siapa?”, itu pertanyaanku. Dia seperti menelan ludah sejenak, lalu berkata, “Mawar”. Suaranya begitu lembut. “Mawar?, namamu Mawar?”, balasku. Dia mengangguk.
Namanya seperti nama-nama samaran dalam acara kriminal di televisi. “Kamu sakit?”, tanyaku lagi. Dia mengabaikanku dan mengalihkan pandangannya kembali lurus kedepan.
Aku bingung. Sempat kuputuskan untuk kembali lari pagi lagi, tapi kursi dan rasa penasaranku padanya meruntuhkan niat itu. Aku ingin tau siapa perempuan ini sebenarnya.
⏺⏺
Hampir setengah jam aku dan dia duduk diam terpaku di kursi pinggir kali. Pandangan perempuan itu masih sama, lurus kedepan. Sudah belasan kali aku lihat dengan teliti gerangan apa yang sedang dia pandangi. Namun aku tak menemukan apapun juga.
Hampir aku putus asa dengan perempuan ini, tapi tiba-tiba dia berbicara, “Kamu tau apa itu cinta?”. Apakah dia bertanya padaku?, tapi pandangannya tidak kearahku. Aku tak menjawab. Aku putuskan untuk diam saja.
Lalu sekali lagi dia berbicara, “cinta itu selalu saja misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya”. Aku sama sekali tak paham maksud dari apa yang dia katakan.
“Kamu lihat pohon rindang diseberang jalan sana?”, tangannya menunjuk. “Aku dan kekasihku sering menghabiskan malam berteduh dibawahnya. Kekasihku baik. Dia sangat cinta akan aku. Aku pun begitu. Kami sering menghitung setiap daun yang jatuh berguguran. Dan juga, aku sering memberikan milikku yang berharga. Dia selalu menikmatinya dibawah terpaan cahaya rembulan. Tapi tadi pagi dia berbeda. Raut wajahnya berubah takkala kuceritakan padanya bahwa Tuhan titip benih dirahimku. Terakhir kuingat, dia pegang rambutku dan, dunia seakan gelap setelahnya”.
⏺⏺
Seluruh perhatianku seolah terkunci oleh cerita perempuan itu. Belum sempat aku berkata, dia menyela, “Kamu tau, orang pernah bilang”, “Hanya orang yang paling mencintaimu, yang mampu membunuhmu”.
Aku semakin bingung dengan semua yang dia katakan. Belum sempat kebingunganku memudar, perempuan itu menunjuk kearah pohon rindang tadi.
Kemudian kucoba menuruti dia untuk melihat pohon itu. Ada yang berbeda disana. Kulihat sudah ramai orang berdiri disekitar pohon rindang tersebut. Tanpa sepatah kata pun, perempuan yang duduk disampingku tadi berdiri dan berjalan perlahan kearah pohon rindang.
Rasa penasaranku tak bisa terbendung lagi. Aku ikuti langkah perempuan itu. Setibanya aku disana, aku coba cari tau tentang apa yang dilihat oleh orang banyak. Yang kulihat, tubuh perempuan muda yang tergeletak dengan banyak darah di wajahnya. Darah di wajahnya, wajahnya, wajah, waaa.....
bulu kudukku merinding.
⏺⏺
Sekarang aku dikamar tidurku. Kutulis diari ini sembari mengingat kembali apa yang kualami tadi pagi. Sudah dua jam saja aku menulis. Kepalaku seakan tak kenal rasa lagi. Mataku perih menatap layar laptop ini.
Kumatikan laptopku. Kuputuskan untuk tidur. Jam menunjukkan pukul 23.34. Angin malam masuk mesra melalui ventilasi jendela kamrku. Itu cukup untuk menggoyangkan kain gorden.
Aku tatap gorden yang bergoyang. Ada yang aneh disana. Kucoba fokus melihatnya. Apa yang kulihat?, bayangan siluet membentuk wajah perempuan dibalik jendela kamarku. tunggu dulu, wajah perempuan, perempuan, perem........
🏴🏴🏴
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Engkau Tau
KurzgeschichtenBuku ini berisi sekumpulan cerita pendek yang berhubungan dengan cinta. Penulis dibuku ini melihat cinta dari sisi gelapnya. Bahwasanya cinta tak selalu berjalan dan berakhir dengan bahagia. Cinta itu kadang kejam, jika kau tak indah dan gemerlap, m...