Dia Manis Sekali

1.4K 58 14
                                    

Semenjak pertemuan Guanlin dengan Seongwoo, aku tak pernah melihat ataupun berhubungan dengan Guanlin lagi. Dia bahkan jarang mengirimiku pesan, dan kupikir itu adalah hal yang biasa karena memang Guanlin lebih senang membicarakan hal secara langsung daripada melalui pesan singkat.

Seperti biasa, aku menggambar di ruanganku ditemani keripik kentang juga es teh kesukaanku, sama seperti Rina yang juga sedang membantuku. Aku meregangkan tubuhku yang terasa kaku. "Rina-ya istirahatlah dulu, kau mau makan siang bersama?" Tanyaku.

"Nee eonni,"

Rina mengekoriku keluar dari ruanganku. Ibu sudah menunggu di meja makan dengan hidangan rumah buatan ibu yang menggugah selera orang yang melihat.

"Duduklah Rina-ya," ucap ibuku lembut.

Rina duduk di sebelahku, dan kami mulai menyantap makanan kami sampai bel pintu berbunyi.

Aku menahan ibuku yang hendak berdiri. "Biar aku saja bu,"

Aku mendekatkan wajahku ke layar interkom yang terletak di samping pintu. Pemandangan yang kulihat di luar pagarku adalah wajah tampan seorang Ong Seongwoo.

"Seolji-ya~ buka pintunya~" pintanya dengan aegyo.

Aku mengusap kasar wajahku. "Astaga Seongwoo-ssi, mau apa kau ke sini?" Tanyaku ketus.

"Aih~ aku kan hanya ingin menemui calon istriku, lagipula kau tidak merindukanku? Kau sendiri bukan yang kemarin berkata sudah mulai mencintaiku? Kenapa kau masih ketus padaku? Eung~" dia dengan sok imutnya memegang dada kirinya. "Aku tersakiti~"

"Tidak usah berlebihan," karena tidak tahan dengan sikapnya yang sok imut itu aku langsung menekan tombol agar pintu gerbang rumahku terbuka.

Dia membuka pintu depan rumahku, dan aku masih di depan interkom. "Seolji-ya~" Seongwoo merentangkan tangannya untuk memelukku. Aku langsung menghindarinya.

"Cepatlah, aku sedang makan siang dengan ibu,"

Bibir Seongwoo melengkung ke bawah. "Aku membawakanmu ayam," ia mengangkat kantung plastiknya di depan wajahku.

"Aigoo~ kupikir kenapa Seolji lama sekali membuka pintu, ternyata menantuku datang," ibuku kembali muncul tiba-tiba.

"Ibu kami masih belum menikah," elakku.

Ibu mengibaskan tangannya di depan wajahku. "Sebentar lagi kau juga akan menikah dengannya,"

"Eomonim aku membawa ayam," pamer Seongwoo.

"Mari kita makan,"

"Tapi bu aku belum selesai makan siang,"

"Sudahlah kita bisa memakannya nanti, pangil Rina sekalian. Kasihan dia makan sendirian,"

Aku hanya memajukan bibir, dan menghentakkan kakiku sebal. Kenapa ibu selalu memihak Seongwoo? Siapa sebenarnya yang anaknya itu?

"Rina-ya ayo makan," ajakku ramah. Kenapa aku berubah ramah? Tentu saja karena Rina tidak ada hubungannya dalam perjodohan ini, jadi untuk apa aku melampiaskan amarahku padanya. Nae style aniya.

"Duduklah Seolji-ya," ucap ibu saat aku tiba di ruang santai rumahku. Aku menuruti kata ibuku untuk duduk.

Seongwoo di depanku terus tersenyum, dan menatapku sembari memakan ayam. Dia gila, kuulangi dia gila.

"Kau jatuh cinta pada orang gila," ucapnya tiba-tiba.

Ibu, dan Rina langsung menatapku, dan Seongwoo bergantian. Mereka menatapku heran.

"Jangan membaca pikiranku Seongwoo-ssi,"

Seongwoo menyeringai. "Aku tidak membaca pikiranmu, ekspresimu menunjukkan bahwa kau bilang aku gila,"

"Aih kalian romantis sekali," puji ibuku.

"Cih," aku berdecak sebal.

"Aku harus pintar membaca ekspresi istriku agar aku tahu apa yang diinginkannya,"

Ingin rasanya aku mengomelinya, tapi aku menahan diri jika tidak ingin dipukul oleh ibuku yang selalu membela calon menantunya.

***

"Seolji-ya," rengek Seongwoo.

"Hm?" Sahutku seadanya, aku sedang menggambar saat ini.

Ia memelukku dari belakang, dapat kudengar suara kekehan Rina dari belakang sana. "Sudah dulu bekerjanya, ayo mencari perhiasan untuk pernikahan kita, aku juga lapar," rengek Seongwoo terus-menerus.

Karena sebal mendengarkan rengekannya yang tanpa henti itu, aku langsung mematikan komputerku setelah aku menyimpan hasil kerjaku. "Baiklah-baiklah, tapi antar Rina pulang dulu,"

Seongwoo mengecup pipiku cepat, ia tersenyum lebar. "Baiklah," ia kemudian keluar dari ruanganku.

"Aigo eonni, aku iri," Rina kembali terkekeh.

"Diam kau!" Balasku ketus.

Seongwoo melajukan mobilku ke arah rumah Rina. Dia sibuk berbincang dengan Rina, sedangkan aku hanya memandang keluar jendela.

"Seolji-ya," panggilnya, tapi aku tidak menjawab. Sengaja.

"Seolji-ya," panggilnya sekali lagi. Aku juga masih tidak menjawab.

Tiba-tiba Seongwoo menghentikan mobilnya, dan kulemparkan tatapan bertanya padanya. Dia tidak berbicara apapun, tapi ia hanya menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Kemudian ia mengecup kening, hidung, dan kedua mataku. Oke aku ambyar.

"Kau kenapa?" Tanyanya dengan suara lembut.

"Tidak apa-apa," aku memalingkan wajahku agar pipiku yang memerah ini tidak diketahui olehnya.

"Jangan cemburu, aku hanya milikmu, dan kau hanya milikku," ia kemudian memeluk tubuhku erat-erat.

Aku melirik ke jok belakang, Rina sedang tertawa dalam diam, aku melemparkan death glare andalanku untuk membuatnya diam.

Seongwoo melepaskan pelukannya, sedikit terbesit rasa kecewa saat ia melakukannya. Ia mengusak rambutku, dan kembali melaju.

***

"Terima kasih tumpangannya Seongwoo-ssi, eonni. Aku masuk dulu, sampai bertemu besok," Rina membungkuk hormat padaku, dan aku hanya mengangguk. Kemudian gadis itu masuk ke dalam rumahnya.

Aku menutup jendela yang tadi terbuka, begitu jendela tersebut tertutup rapat, Seongwoo langsung mengunci tangan kananku di kaca mobil di belakangku.

"Tatap mataku Seolji-ya," ucapnya dengan suara yang berar, oke dia mulai serius.

Aku tidak menurutinya, aku hanya menatap jendela di belakangnya. "Kubilang tatap mataku," ucapnya sekali lagi. Tapi aku masih saja menolak sampai tangan kirinya menyentuh daguku, yang terpaksa membuatku harus menatapnya.

"Aku tidak akan marah karena kau cemburu dengan hal sepele seperti itu karena itu artinya kau takut kehilangan aku. Tapi kuingatkan, hatiku sudah lama kututup untuk orang lain, dan aku baru saja membukanya untukmu, hanya untukmu," jelasnya.

Mataku mulai berkaca-kaca. "Percayalah padaku, hanya kau wanita yang aku cintai Seolji-ya," ungkapnya lagi, sejurus kemudian aku menangis. Aku menangis di hadapannya.

Air mataku mengalir dengan deras, tapi bibirku masih terkatup rapat. Seongwoo memelukku erat. "Aigoo uri Seolji menangis,"

Ia menghapus air mataku yang tidak berhenti turun. Ia juga berulang kali mengecup keningku hanya untuk menenangkanku. "Aku tahu aku tampan, tapi aku tidak suka melihatmu memangis,"

Aku langsung memukul dadanya. "Apa hubungannya bodoh,"

Seongwoo terkekeh. "Tidak ada," ia tersenyum lebar yang membuatku menangis semakin keras.

"Aaaa mianhae,"

~TO BE CONTINUE~

My Unexpected Wedding Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang