Perpisahan Itu Menyakitkan (2)

721 44 7
                                    

I may regret leaving you but it’s because I love you
Because I Love You-Wendy OST. Mimi

Aku menatap latte hangat yang asapnya masih mengepul di depanku. Aku tertunduk, takut menatap Guanlin. Tidak, bukan karena Guanlin marah atau yg lainnya, lebih kepada apa yang akan kukatakan kepadanya nantilah yang akan menyakiti kami berdua, khususnya Guanlin. Aku melirik sedikit ke arahnya yang sedang memainkan ponsel.

"Ada apa?" Tanyanya.

Aku berjengit terkejut, padahal tadi dia fokus pada benda panjang di tangannya tapi ia tahu apa yang kulakukan. "Tidak ada."

Guanlin meletakkan ponselnya. "Ada apa? Kau terlihat murung."

Aku masih enggan untuk bicara. Aku tidak ingin menyakitinya tapi jika aku tetap diam itu juga sama saja.

"Kau mengatakan bahwa kau menungguku bukan?" Guanlin mengangguk mantap. "Kumohon berhenti menungguku Lin-a, kau juga behak bahagia."

Binar mata Guanlin meredup. "Kenapa? Aku rela menunggumu selama apapun, tolong jangan dorong aku menjauh," Guanlin menggenggam erat tanganku.

Aku hampir saja meneteskan air mata saat melihat wajah Guanlin yang begitu putus asa, ucapannya selanjutnya semakin membuatku merasa bersalah. "Kau adalah kebahagiaanku."

Akhir-akhir ini aku menjadi cengeng, tak tahu kenapa. Aku menjadi sangat emosional.

"Maaf, tapi dengan memintamu menungguku sama dengan membunuhmu secara perlahan. Aku tidak ingin melihatmu seperti itu," potongku. "Dan juga, sepertinya akan membutuhkan waktu cukup lama untuk melupakan perasaanku padanya karena aku begitu mencintainya. Aku tidak bisa bersamamu saat hatiku berada di tempat lain Lin-a, aku seperti sedang melakukan kejahatan."

Genggaman tangan Guanlin semakin erat. "Aku tidak apa-apa Seolji-ya."

"Tapi aku tidak Lin, aku merasa bersalah saat melihatmu yang begitu menyayangiku, dan aku bahkan tak sanggup membalas perasaanmu." Aku menunduk lebih dalam, aku tak berani menatap mata Guanlin. "Tidak adil buatmu yang terus membuatku bahagia tapi kau terus tersakiti karenaku."

"Aku tidak yakin bisa membahagiakanmu Guanlin."

Guanlin meraih daguku. "Melihatmu hidup dan bahagia saja sudah membuatku bahagia," mau tidak mau aku menatap mata Guanlin. Sorot matanya menggambarkan ketulusan, dan hal itu membuatku bersedih. Sedih karena aku belum bisa mencintainya dengan tulus.

Aku memalingkan wajahku. "Aku tahu itu tidak cukup Guanlin. Kau pasti akan merasa sedih saat aku bersamamu tapi pikiranku ada bersama pria lain."

Guanlin menghela nafas, senyuman terulas di bibirnya. "Baiklah, jujur saja. Walaupun aku tersakiti tapi aku tidak sanggup melihatmu yang tidak bahagia karena harus bersamaku. Aku melepaskanmu Seolji-ya."

Tiba-tiba air mataku menetes begitu saja, aku langsung berhambur memeluk Guanlin sambil menangis tak peduli pada penghuni kafe yang lain memandangiku aneh.

"Maafkan aku, dan terima kasih karena sudah mau menguatkanku, bersamaku selama ini."

Guanlin mengusap punggungku lembut. "Tak apa, semoga kau selalu bahagia. Semoga kau tidak lagi bersedih karena aku tidak akan ada di sampingmu lagi."

Aku tersenyum manis setelah melepaskan pelukan Guanlin. Guanlin juga tersenyum manis padaku. Semoga kau juga bahagia.

"Baiklah, kurasa aku tak ada keperluan lain. Jadi aku pergi dulu," Guanlin meraih jaketnya kemudian beranjak dari bangkunya. Sebelum pergi keluar, ia menyempatkan untuk menciumku.

Tak lama setelah Guanlin pergi, aku ikut meninggalkan kafe itu. Berjalan menyusuri trotoar ditemani angin malam yang menerpa lembut. Aku semakin mengeratkan mantelku saat kurasa suhu semakin menurun. Tak kurasa ternyata air mataku sudah meleleh.

Third person's POV

Seongwoo mengepak bajunya dengan berat hati. Ia tidak ingin meninggalkan Korea, meninggalkan 'rumah'nya. Seongwoo akhirnya memilih untuk duduk di atas ranjangnya, lelaki itu meraih ponselnya, dan membuka galerinya. Bibirnya tersenyum melihat foto seorang gadis yang tengah tersenyum manis padanya.

Seongwoo enggan untuk pergi, tapi ia juga tidak bisa tinggal. Sebuah pilihan yang sulit ketika tinggal itu berarti menyakitinya atau ketika pergi dan menyakiti diri sendiri.

Ia merebahkan tubuh di samping kopernya yang masih terbuka lebar. Lelaki itu ingin bebas barang sedetik saja. Rasanya sedari lahir ia tak pernah terbebas karena jalan ceritanya seolah dibuat oleh orang lain--ayahnya. Ia ingin menulis kisahnya sendiri dimana ia menikahi wanita yang dicintainya memiliki anak, dan hidup bahagia selamanya hingga mau memisahkan. Tapi sepertinya tak mungkin, keinginannya memiliki keluarga bahagia sepertinya hanya angan yang tak akan terwujud.

Bersama dengan orang yang kau cintai akan menyakitinya maka ia memilih pergi. Itulah apa yang membuat Seongwoo yakin untuk berangkat ke London. Setidaknya dengan begini ia bisa ikut menjaga Seolji dari jauh.

***

Lelaki itu memandang pintu masuk ke bandara, berharap orang yang ia harapkan muncul dan memeluknya erat kemudian menangis agar Seongwoo tidak pergi, lagi-lagi itu hanya angan karena Seolji bahkan tak tahu Seongwoo akan pergi. Lelaki tampan itu menghembuskan nafasnya kesal, perempuan cantik yang duduk di sampingnyalah alasannya. Seo Hajin.

Hajin sibuk bersolek sementara Seongwoo gelisah. Tinggal 10 menit lagi ia akan masuk ke dalam pesawat, dan sebanyak itulah waktunya untuk berpikir memilih tindakan yang benar.

Ujung sepatu merahnya mengetuk lantai dengan tidak sabaran. Jujur saja, ia gelisah. Tidak melihat Seolji sejam saja sudah membuatnya rindu, apalagi jika berbulan atau bahkan bertahun-tahun. Ia tak tahu apa yang akan terjadi padanya. Tidak hanya itu, selama ini Seongwoo diam-diam mengawasi Seolji, menjaga gadis itu dengan jarak aman hingga gadis yang terlewat tidak peka itu tidak mengetahui keberadaannya.

"Astaga, aku tahu kau tak sabar. Tapi tak bisakah kau diam? Suaranya mengganggu Seongwoo-ya," pinta Hajin yang sibuk memoleskan lipstick di bibirnya.

Tak menghiraukan ucapan Hajin, Seongwoo mengetukkan sepatunya makin keras hingga membuat Hajin dalam level yang benar-benar tergaggu sehingga membuat gadis itu langsung duduk di atas paha Seongwoo.

"Minggir jika kau tidak mau masuk ke headline berita besok pagi."

Hajin tak bergeming. "Biarlah, lagipula aku senang ada di halaman depan koran bisnis bersamamu," Hajin melingkarkan tangannya memeluk Seongwoo erat, mencoba membuat pria itu berhenti gelisah tapi gagal.

"Tch! Kau mau dicap sebagai perusak hubungan orang? Aku sudah mengumumkan pertunanganku dengan Seolji, orang-orang akan memandang jelek," jelas Seongwoo sambil menatap arah lain karena pengunjung bandara mulai melihatnya sambil bisik-bisik.

Tentu saja kehadiran seorang CEO muda yang tampan dan mapan merebut perhatian sebagian pengunjung bandara--khususnya wanita--karena lelaki tersebut sudah mengumumkan pertunangannya dengan Seolji. Jadi bukan tatapan atau pujian memuja yang didapatnya melainkan umpatan dan cacian. Walaupun banyak orang menilai jika Seolji terlalu sederhana untuk bersanding dengan pria glamor seperti Seongwoo jika ia diselingkuhi maka netizen yang budiman tetap kasihan.

Hajin mencubit gemas hidung mancung Seongwoo. "Aw, kau peduli. Manis sekali."

Seongwoo menyeringai. "Aku tak peduli jika hanya kau yang ada di headline berita besok pagi. Tapi aku tidak ingin ada wajahku di koran manapun dengan judul yang negatif. Jika kau mau kau bisa sendiri tanpa perlu melibatkanku," Seongwoo memindahkan tubuh Hajin dari pangkuan ke bangku tepat di sampingnya.

Hajin menggeram sebal karena orang-orang lain mulai menertawakannya karena mendengar tutur penolakan dari Seongwoo.

~To Be Continue~

Happy 1k views huhuhu aku terharu makasih buat yg udah mau baca cerita abal yg aku tulis. Makasih buat OshFay yg selalu menuhin notif waktu aku update huhuhu.

Jangan lupa vomment yaaa

My Unexpected Wedding Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang