His Attitude

70 35 8
                                    

Kakinya ia jalankan. Berjalan tanpa arah. Mondar-mandir ke sana kemari dengan kepala yang setiap detik menoleh ke kanan dan kiri secara bergantian.

Raut wajahnya bingung, alisnya bertautan satu sama lain. Sepertinya ia pernah berkunjung ke  tempat ini,tapi mengapa tak ada satupun gambaran kapan dan dengan alasan apa dia kemari.

Selama beberapa menit ia berjalan, kakinya akhirnya ia hentikan untuk bergerak. Berdiam diri di tempat, memandangi bangunan rumah yang berdiri di hadapannya.

Jari telunjuk kanan ia acungkan ke udara menunjuk ke arah rumah di hadapannya.

Ya, dia mendapatkan sedikit memori tentang bangunan ini.
Dari raut wajahnya tampak seperti sedang berpikir memastikan benarkah bangunan ini adalah...

Jika mengikuti rasa harga dirinya maka ia akan tetap berdiri disana seperti sebuah patung yang diletakkan di pinggir jalan. Tapi untungnya ia mengikuti rasa penasarannya dan menggerakkan kedua kakinya masuk ke dalam halaman rumah yang berukuran sedang lalu mulai mengetuk pintunya.

"Permisi, assalamu'alaikum. Permisi..."

"Wa'alaikum salam. " ada sahutan dari dalam. Gagang pintu terlihat berputar, terbuka dengan perlahan menampilkan seorang wanita paruh baya yang berdiri melihatnya dan tersenyum.

"Iya, ada apa?"

"Hmm... Permisi tante mau tanya ini benar rumahnya Sania gak?"

"Iya benar. Kamu siapanya Sania ya?"

"Oh saya temannya tante." ah, Akhirnya alamat dan letak rumah yang ia ingat benar. Seandainya tidak maka ia hanya akan berjalan mengelilingi tempat ini berulang kali.

"Oh, tapi tante kok gak pernah ketemu sama kamu ya?"

'Iya emang belum pernah tante, gue juga baru ketemu tante hari ini.'
Kalimat ini sangat ingin keluar dari mulut sang gadis, tapi ia masih punya akal dan pikiran untuk menjaga sopan-santun di depan orang yang lebih tua. Untunglah Tuhan memberikan akal dan  pikiran  pada setiap manusia, kalau tidak ntah apa yang akan terjadi.

"Mau ketemu Sania?" pertanyaan seorang wanita paru baya itu disambut anggukan gembira oleh sang gadis.

"Oh, silahkan masuk." tangannya berayun di udara dari arah luar rumah menuju dalam rumah, meminta gadis itu untuk masuk.

"Silahkan duduk dulu, biar tante panggil Sania." tak lama setelah ia mengucapkan hal itu pada sang gadis, ia mulai memanggil nama Sania dengan nada yang sedikit kuat dan berjalan mendekati pintu kamar Sania.

"Sania, sayang! Buka pintunya nak." segera setelah menyelesaikan kalimatnya pintu terbuka agak lebar menampilkan seorang gadis dengan kursi rodanya.

"Ada apa ma?"

"Ada tamu tuh."

"Tamu? Siapa? Seinget Sania, Sania gak ada ngundang siapapun ke rumah."

Mama Putri menaikkan kedua bahunya, dan mengangkat kedua tangannya ke udara menandakan bahwa ia juga tidak terlalu tahu tentang si tamu.

"Mama juga gak tau. Tapi katanya dia temen kamu. Mau ketemu. Ya udah jumpain aja dulu, lagi ada di ruang tamu kok."

"Mama temenin ya."

Melihat tingkah gemas putrinya, mau tidak mau  Putri harus mengiyakan permintaan anak gadisnya.

Mereka berdua bergerak menuju ruang tamu. Putri membantu mendorong kursi roda Sania dan berhenti saat sudah berada dimana tempat sang tamu duduk.

"Sania......." sang gadis berteriak histeris  begitu melihat Sania. Dipeluknya Sania dengan erat seolah-olah ia belum pernah bertemu Sania selama lima tahun.

Miracle When SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang