Bantuin Bibi

72 22 13
                                    

"Woy. Bengong mulu lo." Rio menepuk bahu Revan, menyadarkan sahabatnya untuk kembali ke dunia nyata.

Sebab dari tadi Revan hanya mengaduk-ngaduk minumannya, menatap ke depan dengan tatapan kosong. Bahkan minumannya pun belum diminum sejak ia beli.

Mereka bertiga sekarang berada di kantin bu Yaya, salah satu tempat tongkrongan terbaik mereka.

"Mikirin apa lo? Mikirin gue ya? Udah gak usah terlalu dipikirin kali kan sekarang gue di samping lo. Ya gak yo?" ucap Arif sembari menaik turunkan kedua alisnya

"Au ah."

"Di aduk mulu tuh minum puyeng dianya woy, udah ah siniin biar gue aja yang minum."
Rio merebut minuman dari genggaman tangan Revan membuat Revan tersadar ke dunia nyata.

"Eh, sejak kapan lo berdua disini?"

"Lah buset.... Dari tadi kita ngomong kagak lo dengerin. Bermasalah ni anak. Rif, biasa."

Merasa mengerti dengan kode yang diberikan Rio, Arif dengan sigap sedikit memajukan dirinya untuk mendengar lebih jelas.

"Gara-gara siapa? Si Sania itu ya?"

"Jelas lah Rif, siapa lagi kalau bukan dia."

"Apaan sih lo gak jelas banget. Siniin minuman gue."

"Yah, belum gue minum tuh. Enak banget ngambilnya."

"Enak, enak... Ini punya gue. Beli sendiri noh."

"Mager gue."

"Kembali ke topik." tukas Arif mengingatkan sahabatnya.

"Jadi?"

"Jadi apa?" Revan mulai merasa tatapan kedua sahabatnya itu semakin mengintimidasi.

"Ya elah ni orang emang susah banget lo peka coba kalau sama cewek yang lain cepet banget. Si Sania gimana? Ada kabar baru belum?"

"Gak ada." bahu Revan ikut naik ketika ia mengatakan jawaban yang ia berikan.

"Udah lo chat kan?"

"Udah sih cuman singkat bener jawabannya, masih penasaran gue ama tuh anak." Revan meneguk minuman yang ia beli untuk yang pertama kalinya.

"Penasaran mulu, terjun ke lapangan langsung dong. Lo berani buat baper cewek lain masak gak berani deketin Sania."

"Masalahnya lo pada gak tau keadaan dia gimana. Gue mau aja deketin tapi gue juga gak bisa ngerapuhin perasaan cewek gitu aja. Gimana kalau dia belum bisa bangkit dari masa lalunya?"

"Tumben lo bijak. Gak salah makan kan? Kalah gue bijaknya." Arif menggelengkan kepalanya mendengar  perkataan Revan akhir-akhir ini.

"Lo bilang gak mau ngerapuhin perasaan cewek? Terus nasib cewek-cewek yang lain waktu lo tinggalin gimana?"

"Gue gak pernah tinggalin mereka. Gue kan cuman bercanda, mereka aja yang kepedean. Lagian gak ada niat juga untuk macarin cuman iseng doang."

"Ehhmm... Berarti sama Sania itu niat iseng apa pacaran?"
Arif berdeham menatap Revan yang berada di sampingnya, meminta penjelasan dengan memberi tatapan mengintimidasi.

"Apaan sih. Gue cuman penasaran aja sama dia gak lebih."

"Hati-hati loh dari rasa penasaran bisa berubah menjadi rasa pacaran." Revan merasakan bahu Rio menyenggol bahunya dengan sedikit keras. Tapi, tidak terlalu terasa sakit karena ia mempunyai lemak dan otot yang cukup untuk melindungi tubuhnya.

"Tapi serius untuk sekarang gue cuma ada rasa penasaran gak lebih. Karena untuk yang pertama kalinya gue ketemu sama dia, menurut gue itu dia beda dibanding gadis-gadis yang lain."

Miracle When SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang